17/05/2023

Tantangan Penyelenggara(an) Pemilu di Era Post Truth

Oleh: Oki Sukirman, S.Sos, M.Si*

Tak salah memang jika tahun 2024 disebut sebagai tahun pesta besar demokrasi Indonesia. Sebagaimana ditetapkan oleh KPU, tahun 2024 akan digelar Pemilu dan Pilkada secara serentak. Jika tidak ada aral melintang, tanggal 14 Februari 2024 akan dilakukan pemungutan suara untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Kemudian untuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yaitu pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota, akan digelar serentak pada 27 November 2024.

Sejatinya harapan besar masyarakat, pelaksanaan Pemilu 2024 bisa terlaksana lancar dan sukses dengan prinsip mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif, dan efisien (Pasal 3 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017).

Salah satu factor yang menentukan hasil Pemilu dengan prinsip sebagaimana disebutkan di atas adalah berkualitasnya penyelenggara Pemilu. Penyelenggara Pemilu menurut Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) terdiri dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)

Penyelenggara Pemilu merupakan garda terdepan dalam memastikan pelaksanaan Pemilu berkeadilan dan berintegritas. Sebab penyelenggaraan Pemilu yang berkualitas bisa terwujud dari penyelenggara pemilu berkualitas pula. Salah satu indicator dari berkualitasnya penyelenggara pemilu adalah adanya sikap professional dan Independen.

Tidak dapat dipungkiri bahwa penyelenggaran Pemilu 2024 ke depan penuh dengan tantangan. Dengan adanya irisan tahapan pemilu yang serentak ini, tentu akan menambah beban penyelenggara pemilu. Dari mulai sosialisasi, pelaksanaan pemungutan suara, proses perhitungan suara dan potensi-potensi lainnya yang akan timbul dalam pelaksanaan pemilu tersebut.

Apalagi tantangan Pemilu 2024 ini semakin berat di mana kehidupan sosial masyarakat kita saat ini dihadapkan pada fenomena post truth. Dalam pandangan dari Giovanni Gobber dalam bukunya The Scarlet Lettert of “Post Truth”: The Sunset Boulevard of Communication (2019:287), Post Truth adalah keadaan di mana factor ojektif kurang berpengaruh dalam membentuk debat politik atau opini public dibandingkan dengan menarik emosi dan keyakinan personal. Sederhananya post truth adalah kondisi di mana masyarakat mengabaikan fakta, etika dan realita yang ada dan cenderung bersepakat pada hal-hal yang lebih dekat dengan keyakinan dan pilihan pribadinya.

Proses pelaksanaan pemilu sendiri sebenarnya sudah bisa dikategorikan sebagai smoldering crisisSmoldering cirisis adalah krisis yang sesungguhnya terjadi dan sedari awal potensi krisis tersebut sudah bisa teridentifikasi. Merujuk pada buku Risk Issues and Crisis Management (2000:48) karya Michael Regester dan Juli Larkin, bahwa krisis tidak serta merta ada, tetapi berjalan dari isu potensial, lalu muncul menjadi actual yang diketahui khalayak luas.

Smoldering crisis pada pemilu 2024 ini sebagaimana sudah ditemui dalam pemilu-pemilu terdahulu misalnya hoax pemilu yang merajalela, kampanye hitam (black campaign), kontestan pemilu yang tidak taat aturan, politik uang (money politic), kekerasan dan intimidasi dan lain sebagainya. Oleh karenanya penyelenggara pemilu sebenarnya sudah bisa memitigasi hal-hal pasti (fix term) dan potensi-potensi yang mungkin muncul yang dapat mengganggu krediblitas penyelenggara(an) pemilu.

Dalam pandangan penulis ada beberapa catatan yang mungkin saja berguna sebagai masukan dan saran bagi penyelenggara(an) pemilu. Pertama, Penguatan sumber daya penyelenggara Pemilu. Penyelenggara pemilu haruslah diisi oleh orang-orang kompeten dan kredibel. Kompeten dan kredibel dalam hal ini adalah memiliki pengetahuan tentang demokrasi, tata negara, kepemiluan, sistem kepartaian, pemerintah daerah dan penegakan hukum. Sebab pengetahuan yang mumpuni tentang kepemiluan ini menjadi dasar bagi penyelenggara pemilu dalam menjalankan program pelaksanaan dan pengawasan, memutuskan kebijakan dan membuat keputusan hukum yang berkeadilan.

Kedua, terbangunnya soliditas dan sinergitas para penyelenggara pemilu. Penyelenggara pemilu baik ditingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota hingga petugas PTS selain diisi oleh personal yang kompeten dan kredibel dalam melaksanakan dan mengawasi tahapan Pemilu, juga harus mampu membangun soliditas dan sinergitas sesama penyelenggara Pemilu. Hal ini dibutuhkan agar terciptanya penyamaan persepsi antarpenyelenggara dari mulai melakukan identifikasi potensi masalah teknis dan hukum sampai kerangka penyelesaiannya.

Ketiga, pemanfaatan dan optimalisasi media sosial. Besarnya pengaruh media sosial saat ini haruslah menjadikan media sosial sebagai kebutuhan utama guna terselenggaranya pemilu yang berintegritas. Penyelenggara pemilu dari mulai tingkat nasional sampai pada tingkat TPS haruslah responsive dan massif dalam pemanfataan media sosial. Media sosial digunakan sebagai alat sosialisasi dan pendidikan pemilih, melakukan konsolidasi dan koordinasi antar stakeholder kepemiluan, dan yang paling penting adalah memerangi hoax-hoax dan opini yang menyesatkan yang bisa merusak marwah dan independensi penyelenggara pemilu.

Namun Tentu saja pemilu 2024 ini bukan saja kerja dan tanggungjawab penyelenggara pemilu semata, ini adalah kerja dan tanggungjawab bersama. Artinya kesuksesan penyelenggaran pemilu merupakan kewajiban dan tanggungjawab semua komponen masyarakat. Semua elemen masyarakat harus mampu menciptakan situasi politik yang kondusif, tidak terjebak pada pragmatisme politik kekuasaan yang menghalalkan segala cara. Sehingga hajatan demokrasi lima tahunan ini benar-benar menjadi pesta bukan jadi bencana. Semoga saja. Tabik!

 * : Penulis adalah pegiat fatsoen politika institute.

Fatsoen Politika Institute adalah lembaga think thank yang focus pada wacana pembangunan politik dan demokrasi berkeadaban.

  

 

 

Leave a comment 

0 comments: