Oleh: Oki Sukirman, S.Sos, M.Si*
Tak salah memang jika tahun 2024 disebut sebagai tahun
pesta besar demokrasi Indonesia. Sebagaimana ditetapkan oleh KPU, tahun 2024
akan digelar Pemilu dan Pilkada secara serentak. Jika tidak ada aral melintang,
tanggal 14 Februari 2024 akan dilakukan pemungutan suara untuk memilih Presiden
dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Kemudian untuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yaitu pemilihan gubernur dan
wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota, akan
digelar serentak pada 27 November 2024.
Sejatinya harapan besar masyarakat, pelaksanaan Pemilu 2024
bisa terlaksana lancar dan sukses dengan prinsip mandiri, jujur, adil,
berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel,
efektif, dan efisien (Pasal 3 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017).
Salah satu factor yang menentukan hasil Pemilu dengan prinsip sebagaimana disebutkan di atas adalah berkualitasnya penyelenggara Pemilu. Penyelenggara Pemilu menurut Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) terdiri dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)
Penyelenggara Pemilu merupakan garda terdepan dalam
memastikan pelaksanaan Pemilu berkeadilan dan berintegritas. Sebab
penyelenggaraan Pemilu yang berkualitas bisa terwujud dari penyelenggara pemilu
berkualitas pula. Salah satu indicator dari berkualitasnya penyelenggara pemilu
adalah adanya sikap professional dan Independen.
Tidak dapat dipungkiri bahwa penyelenggaran Pemilu 2024 ke
depan penuh dengan tantangan. Dengan adanya irisan tahapan pemilu yang serentak
ini, tentu akan menambah beban penyelenggara pemilu. Dari mulai sosialisasi,
pelaksanaan pemungutan suara, proses perhitungan suara dan potensi-potensi
lainnya yang akan timbul dalam pelaksanaan pemilu tersebut.
Apalagi tantangan Pemilu 2024 ini semakin berat di mana
kehidupan sosial masyarakat kita saat ini dihadapkan pada fenomena post
truth. Dalam pandangan dari Giovanni Gobber dalam bukunya The
Scarlet Lettert of “Post Truth”: The Sunset Boulevard of Communication (2019:287), Post
Truth adalah keadaan di mana factor ojektif kurang berpengaruh dalam
membentuk debat politik atau opini public dibandingkan dengan menarik emosi dan
keyakinan personal. Sederhananya post truth adalah kondisi di
mana masyarakat mengabaikan fakta, etika dan realita yang ada dan cenderung
bersepakat pada hal-hal yang lebih dekat dengan keyakinan dan pilihan
pribadinya.
Proses pelaksanaan pemilu sendiri sebenarnya sudah bisa
dikategorikan sebagai smoldering crisis. Smoldering cirisis adalah
krisis yang sesungguhnya terjadi dan sedari awal potensi krisis tersebut sudah
bisa teridentifikasi. Merujuk pada buku Risk Issues and Crisis
Management (2000:48) karya Michael Regester dan Juli Larkin, bahwa
krisis tidak serta merta ada, tetapi berjalan dari isu potensial, lalu muncul
menjadi actual yang diketahui khalayak luas.
Smoldering crisis pada pemilu 2024 ini
sebagaimana sudah ditemui dalam pemilu-pemilu terdahulu misalnya hoax pemilu
yang merajalela, kampanye hitam (black campaign), kontestan pemilu yang tidak
taat aturan, politik uang (money politic), kekerasan dan intimidasi dan
lain sebagainya. Oleh karenanya penyelenggara pemilu sebenarnya sudah bisa
memitigasi hal-hal pasti (fix term) dan potensi-potensi yang mungkin
muncul yang dapat mengganggu krediblitas penyelenggara(an) pemilu.
Dalam pandangan penulis ada beberapa catatan yang mungkin
saja berguna sebagai masukan dan saran bagi penyelenggara(an) pemilu. Pertama, Penguatan
sumber daya penyelenggara Pemilu. Penyelenggara pemilu haruslah diisi oleh orang-orang
kompeten dan kredibel. Kompeten dan kredibel dalam hal ini adalah memiliki
pengetahuan tentang demokrasi, tata negara, kepemiluan, sistem kepartaian,
pemerintah daerah dan penegakan hukum. Sebab pengetahuan yang mumpuni tentang
kepemiluan ini menjadi dasar bagi penyelenggara pemilu dalam menjalankan
program pelaksanaan dan pengawasan, memutuskan kebijakan dan membuat keputusan
hukum yang berkeadilan.
Kedua, terbangunnya soliditas dan
sinergitas para penyelenggara pemilu. Penyelenggara pemilu baik ditingkat
nasional, provinsi, kabupaten/kota hingga petugas PTS selain diisi oleh
personal yang kompeten dan kredibel dalam melaksanakan dan mengawasi tahapan
Pemilu, juga harus mampu membangun soliditas dan sinergitas sesama
penyelenggara Pemilu. Hal ini dibutuhkan agar terciptanya penyamaan
persepsi antarpenyelenggara dari mulai melakukan identifikasi potensi masalah
teknis dan hukum sampai kerangka penyelesaiannya.
Ketiga, pemanfaatan dan
optimalisasi media sosial. Besarnya pengaruh media sosial saat ini haruslah
menjadikan media sosial sebagai kebutuhan utama guna terselenggaranya pemilu
yang berintegritas. Penyelenggara pemilu dari mulai tingkat nasional sampai
pada tingkat TPS haruslah responsive dan massif dalam pemanfataan media sosial.
Media sosial digunakan sebagai alat sosialisasi dan pendidikan pemilih,
melakukan konsolidasi dan koordinasi antar stakeholder kepemiluan, dan yang
paling penting adalah memerangi hoax-hoax dan opini yang menyesatkan yang bisa
merusak marwah dan independensi penyelenggara pemilu.
Namun Tentu saja pemilu 2024 ini bukan saja kerja dan
tanggungjawab penyelenggara pemilu semata, ini adalah kerja dan tanggungjawab
bersama. Artinya kesuksesan penyelenggaran pemilu merupakan kewajiban dan
tanggungjawab semua komponen masyarakat. Semua elemen masyarakat harus mampu
menciptakan situasi politik yang kondusif, tidak terjebak pada pragmatisme
politik kekuasaan yang menghalalkan segala cara. Sehingga hajatan demokrasi
lima tahunan ini benar-benar menjadi pesta bukan jadi bencana. Semoga saja.
Tabik!
* : Penulis
adalah pegiat fatsoen politika institute.
Fatsoen Politika Institute
adalah lembaga think thank yang focus pada wacana pembangunan politik dan
demokrasi berkeadaban.
0 comments:
Posting Komentar