06/03/2022

Prospektus Partai Baru pada Pemilu 2024

Menyongsong Pemilu 2024 berbagai pihak sudah bersiap sedia memasang kuda-kuda menghadapi perhelatan pesta demokrasi lima tahunan tersebut. Secara hitungan, hanya tinggal 3 tahun lagi pemilu 2024 digelar. Sebagaimana diketahui Pemerintah dan DPR menyepakati Pemilu 2024 adalah Pemilu serentak, di mana  pemilihan Presdien (Pilpres), Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dilakukan secara serentak pada tahun 2024.

Terlepas dari berbagai tokoh dan politisi yang muncul ke publik yang berpotensi bertarung pada ajang Pilpres 2024, ajang Pileg juga cukup menjadi perhatian yang menarik. Selain sempat menjadi perdebatan yang cukup alot tentang Parliamentary Threshold (PT) yang akhirnya PT tetap pada angka 4%. Ini dikarenakan muncul partai-partai baru yang saat ini sudah mendeklarasikan diri untuk bisa ikut pada Pemilu 2024. 

Berkaca pada hasil pemilu 2019 yang lalu. Persaingan Pemilu 2024 selain akan ada peserta baru , juga bagi partai-partai non parlemen saat ini Pemilu 2024 nanti menjadi ajang pertarungan yang ketat dan sengit. Tercatat jika melihat hasil dari Pemilu 2019 yaitu PDI-P (19,33 %), Gerindra (12,57 %) Golkar (12,31 %), PKB (9,69 %), Nasdem (9,05 %), PKS (8,21 %), Demokrat (7,77 %), PAN (6,84 %), PPP (4,52 %), Perindo  (2,67 %), Berkarya (2,09 %), PSI (1,89 %), Hanura (1,54 %), PBB (0,79 %), Garuda (0,50 %) dan PKPI (0,22 %) (sumber https://pemilu2019.kpu.go.id).

Di antara partai-partai baru yang sudah muncul ke publik saat ini yaitu Partai Gelombang Rakyat (Gelora), Partai Ummat, Partai Masyumi, Partai Rakyat Adil Makmur (Prima), Partai Era Masyarakat Sejahtera (Emas), Partai Usaha Kecil Menengah (PUKM), Partai Indonesia Terang (PIT), Partai Negeri Daulat Indonesia (Pandai), Partai Nusantara, dan Partai Indonesia Damai (PID). Dan partai-partai lain yang mungkin muncul ke depannya.

Bagi partai baru tersebut tentu pekerjaan yang pertama sebelum bisa bertarung pada Pemilu 2024 adalah mendaftarkan diri di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) untuk memperoleh legalitas kelembagaan dan mendaftar ke KPU. Setelah itu tentu mengikuti tahapan verifikasi faktual untuk memastikan diri menjadi peserta pemilu 2024. 

Tahapan dan syarat-syarat verifikasi faktual tersebut bukanlah hal mudah. Pasca lolos verifikasi faktual KPU pun, partai-partai baru tersebut harus bekerja keras agar lolos ambang batas PT sebesar 4%.

Jika diliat dari partai-partai baru yang muncul saat ini, para tokoh yang menggerakan dan mendirikannya memang tidak asing  Partai Ummat misalnya yang merupakan "pecahan" dari PAN yang diprakarsai oleh Amien Rais dengan Ridho Rahmadi sebagai Ketua Umum yang juga memantunya.  Kemudian ada juga Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal yang menginisiasi berdirinya Partai Buruh. Dan Terbaru ada Partai Pandai yang diketuai oleh Farhat Abas dan rekan-rekan lawyer lainnya seperti Elza Syarief. Tentu jangan dilupakan juga ada Partai Gelora yang digawangi oleh Anis Matta dan Fahri Hamzah.

Lalu bagaimana prospek dan peluang partai-partai baru tersebut. Apakah dengan modal ketokohan yang populer cukup untuk mengantarkan partai-partai baru tersebut ke senayan? Sejauh mana kekuatan yang dibangun agar bisa bersaing pada Pemilu 2024?

Dalam analisis penulis, setidaknya ada 3 catatan penting terkait eksistensi partai-partai baru pada Pemilu 2024 mendatang. Pertama, partai-partai baru yang saat ini sudah mendeklarasikan diri perlu effort yang sangat besar. Dari mulai membangun popularitas partai, kemudian meyakinkan konstituen untuk meneguhkan pilihan terhadap partai mereka sampai ketersediaan logistik yang kuat. 

Seperti diketahui, nyatanya tidak ada diferensiasi yang cukup signifikan antara partai lama dan baru yang muncul saat ini. Irisan idiologi maupun program jika tidak mau dikatakan sama, malah condong seperti partai satelit dari partai yang sudah ada. Contohnya Partai Gelora dan Partai Umat yang keduanya adalah partai yang didirikan karena para Founding Fathers partai tersebut adalah tokoh-tokoh yang mundur  -jika tidak mau dikatakan tersingkir- di partai sebelumnya. Anies Mata yang mundur dari PKS dan Amien Rais dan gerbongnya yang kalah pada kongres PAN di Kediri pada tahun 2020 kemarin.

Oleh karenanya, partai-partai baru ini selain membutuhkan logistik yang cukup besar untuk mengdongkrak partainya juga perlu usaha besar untuk bisa keluar dari bayang-bayang induknya.  

Kedua, sebelum bertarung dan jadi peserta pemilu 2024 dengan Parliamentary Threshold (PT) sebesar 4%, partai-partai baru pun sangatlah kesulitan untuk minimal bisa menjadi peserta pemilu melalui tahapan verifikasi faktual oleh KPU. Apalagi jika sudah ditetapkan menjadi peserta Pemilu 2024, partai-partai baru pun haru bersaing dengan partai-partai non parlemen saat ini (yang tidak lolos di Pemilu 2019). 

Penulis ambil satu contoh bagaimana Perindo dalam pemilu 20219 kemarin. Dengan dukungan logistik dan publikasi media yang masif, masih belum cukup untuk meloloskan partai tersebut . Hary Tanoe sudah mencurahkan semua daya politik yang dia milik. Namun nyatanya, Perindo hanya mendapatkan suara 2,67 dan menjadi juara harapan 1 pada pemilu 2019 kemarin.

Ketiga, Popularitas dan ketokohan partai-partai baru. Popularitas tokoh politik pendiri atau ketua umum partai politik sangatlah penting. Namun ternyata tokoh politik atau ketua umum yang populer belum cukup menjadi garansi untuk bisa meloloskan partai tersebut . Amien Rais sebagai Bapak Reformasi kenyataanya tidak mampu memberikan efek terhadap kebesaran PAN. PAN pada Pemilu 2019 kemarin hanya menjadi partai papan bawah dengan suara sebesar 6,84  %  dan menduduki peringkat ke 8 dari 9 partai yang dinyatakan lolos ke senayan. 

Setali tiga uang dengan Partai Gelora, jika ceruk konstituennya adalah irisan PKS cukuplah berat. Persoalannya soliditas di akar rumput para kader PKS cukup bisa diuji waktu dan keadaan. Permasalahannya apakah para tokoh Partai Gelora saat ini mempunyai basis kuat di tataran grassroot?

Dengan demikian sampailah pada simpulan dari analisis di atas yaitu partai-partai baru yang akan bertarung pada Pemilu 2024 jika tidak mau dikatakan mustahil untuk lolos pada pemilu 2024, perlu keajaiban yang sangat besar untuk bisa bersaing atau bahkan bersanding dengan partai-partain incumbent. Diperlukan effort yang sangat besar, baik dari segi logistik, pembangunan popularitas tokoh dan juga pembentukan mesin partai yang tersebar di seluruh nusantara hingga pelosok desa.

Dalam pandangan penulis, perhelatan Pemilu 2024 masih "belum pantas" menjadi arena keikutsertaan partai-partai baru yang disebutkan di atas. Setidaknya dengan waktu yang tinggal 3 tahun lagi partai baru ini sudah kalah segalanya. Dari mulai start, popularias tokoh, soliditas mesin partai dan tentu saja logistik.

Setidaknya partai-partai baru yang saat ini muncul jika diproyeksikan adalah pada pertarungan Pemilu 2029. Tentu saja dengan beberapa catatan, diantaranya bahwa partai-partai baru tersebut mulai dari sekarang harus sudah menegaskan positioning mereka. terutama perihal ideologi dan kepentingan yang akan diperjuangkan. 

Prof Firmanzah, Ph.D dalam bukunya Mengelola Partai Politik (2011:99-100) menjelaskan pentingnya kejelasan ideologi. Masyarakat membutuhkan penanda yang memudahkan mereka untuk mengidentifikasi tiap-tiap informasi. Penanda juga membantu pemilih dalam menentukan partai politik yang akan mereka pihaki. Penanda ini tidak hanya bersifat sementara dan sektoral, melainkan holistik dan melingkupi identias politik secara keseluruhan. Dan penanda yang sangat berguna dalam politik adalah ideologi.

Selain itu juga partai baru ini pun harus mampu memunculkan tokoh sebagai simbol partai yang menjual dengan daya tawar tinggi dari mulai popularutas, kredibilitas sampai integritasnya. Branding tokoh sebagai simbol partai diperlukan karena dalam politik dikenal istilah efek ekor jas (coat-tail effect). 

Efek ekor jas berarti  merujuk kepada hasil yang diraih oleh suatu pihak dengan cara melibatkan tokoh penting atau tersohor, baik langsung maupun tidak langsung, melalui suatu perhelatan. Karena pemilih cenderung melihat tokoh siapa yang diusung, yang pada akhirnya turun pada kepercayaan untuk partai mana yang dipilih. 

Dan tak kalah terpenting adalah partai-partai baru tersebut haruslah konsisten untuk mengembangkan jaringan, membangun sistem dan kaderisasi yang jelas dan terukur. Mesin partai organik yang solid adalah modal utama dalam menggerakan partai untuk ke depannya.

Jika sudah konsisten dijalankan, tidak mustahil pada pemilu 2029 partai-partai baru tersebut akan mendapatkan posisi dan diperhitungkan untuk bisa lolos dan dipercaya oleh masyarakat menjadi partai anggota parlemen. Wallahua'lam.

*: Pegiat Fatsoen Politika insitute, Konsultan Komunikasi Politik Jaringan Versi Indonesia.



Oleh Oki Sukirman, S.Sos. M.Si*



Leave a comment 

0 comments: