Oleh: Oki Sukirman Dzil-Akhwaini*
Polisi..polisi…polisi…
Kenapa kau kejam sekali,
Mahasiswa kau pukuli,
Koruptor kau lindungi,
Polisi…Polisi..polisi..
Penggalan lirik lagu diatas memang sudah tidak asing lagi, setidaknya bagi para mahasiswa atau demontrans yang setiap kali aksi turun ke jalan mendengungkan lagu tersebut. Tulisan ini hanya sedikit catatan seorang demonstran yang prihatin melihat realitas penegakan hukum di Indonesia yang mana polisi sebagai aktor utamanya.
Tentu saja, tidak serta saya merta menyertakan ”lagu wajib” aksi tersebut. Refleksi saya, lagu tersebut sangatlah relevan dengan fenomena yang terjadi saat ini, khususnya dengan kasus perusakan Sekretariat Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Makasar yang dilakukan oleh oknum kepolisian atau dengan kasus yang sedang hangat saat ini yang menimpa Gayus Tambunan, seorang pejabat eselon golongan III A Dirjen Pajak yang terseret kasus penggelapan pajak senilai 25 Miliar yang melibatkan pada petinggi Polri. Jadi mungkin memang benar penggalan lagu tersebut, mahasiswa kau pukuli, koruptor kau lindingi.
Adalah Susno Duadji, Mantan Kabareskrim Polri yang mengungkapkan tentang adanya mafia kasus dalam tubuh kepolisian dalam kasus penggelapan pajak oleh Gayus Tambunan tersebut. Sungguh hal yang sangat ironis sekali, begitu menyakiti hati masyarakat Indonesia, satu sisi masyakarat percaya terhadap kepolisian sebagai penegak hukum, namun bersamaan dengan itu masyarakat pun dikecewakan dengan tindakan aparat kepolisian yang ”bermain mata” dengan pegawai pajak hanya untuk kepentingan pribadi semata.
Dalam kaca mata masyarakat polisi merupakan sosok yang tegas dan disegani sebagai garda terdepan dalam penegakan hukum, namun dengan Kasus Gayus tersebut justru semakin memperburuk citra masyarakat kepada kepolisian. Adalah bukan rahasia umum memang, jika setiap penanganan kasus atau proses perlindungan masyarakat, harus ada upeti atau suap, terlebih penegakan hukum oleh polisi seperti sebilah pisau yang tajam ”ke bawah” dan tumpul ”ke atas” (baca: tebang pilih).
Polisi dalam demokrasi kita.
Dalam kerangka demokrasi, posisi polisi merupakan satu keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan. Boleh saja ada sebagian filsuf berkata bahwa dalam demokrasi polisi tidak dibutuhkan, sebab demokrasi tidaklah perlu dikawal polisi, karena demokrasi adalah domain politik dan sebaliknya polisi berada dalam ranah profesi, yang sama sekali tidak boleh menjadi subjek permainan politik (demokrasi), di samping tidak boleh membiarkan diri/dibiarkan menjadi objek intervensi politik/demokrasi.
Namun beberapa kasus-kasus yang terjadi yang melibatkan pihak kepolisian memang menjadi pertanyaan besar, justru disaat masyarakat bertumpu dan berharap kepada polisi dalam penegakan hukum. Kasus kriminalisasi Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit-Chandra yang melibatkan petinggi Polisi Republik Indonesia (Polri) menjadi keanomaliaan ditengah dukungan kepada Polisi untuk bergandengan dengan KPK dalam pemberantasan tindak pidana Korupsi. Maka tidak salah jika polisi menjadi sasaran sinisme dan sarkasme masyarakat, sebab kadang polisi terlambat dan berlarut-larut dalam proses penegakan hukum yang melibatkan pelanggaran pada internal kepolisian, seolah menutup diri.
Tentu mendasar pada hal tersebut, harus adanya reformasi total pada lembaga kepolisian sebab bagaimanapun institusi kepolisian tidaklah kebal dari hukum atau bahkan menjadi hukum itu sendiri, justru polisi harus menjadi contoh suri tauladan dalam penegakan hukum.
Jangan sampai pencapaian-pencapaian yang dilakukan oleh polisi dalam menjalankan tugasnya yang membuat decak kagum masyarakat seperti penangkapan para teroris atau razia-razia narkoba, menjadi kontradiktif dengan tindakan yang lelet pada penegakan hukum di internal kepolisian. Maka bagaimana bisa berbicara penegakan hukum yang tidak tebang pilih, serta reformasi birokrasi, manakala para penegak hukum sendiri belum bersih dan bebas dari tindakan-tindakan yang menyalahi hukum.
Jika merujuk pada grand strategy (visi) Polri jangka panjang 2005-2025 dengan penjabaran pada 2005-2010 penekanan pada pembangunan kepercayaan masyarakat kepada Polisi, serta pada 2010-2015 menjalin kemitraan, dan pada tahun 2015-2025 memberikan pelayanan prima, maka peristiwa-peristiwa kriminal yang melibatkan kepolisian hari ini menjadi ujian sesungguhnya bagaimana polisi bisa membuktikan kepada masyarakat akan kesungguhan hati dalam mewujudkan good governance dan good goverment yang dimulai dari lembaga kepolisian.
Dalam hemat saya, dari grand strategy (visi) tersebut harus dibuatlah cetak biru (Blue print) sebagai pedoman dan pengayaan di masyarakat. Sebab pengayaan dari grand strategy ini tidak saja untuk internal dari institusi polisi juga untuk lembaga penegak hukum lainnya. Tentunya dalam perumusan pengayaan grand strategy tersebut harus melibatkan seluruh komponen masyarakat/personal. Dari hasil pengayaan tersebut lembaga Polri perlu benar-benar mampu mengaktualisasikan reformasi instrumen, reformasi struktur, dan reformasi kultur Polril, yang pada akhirnya menjadi contoh untuk bisa diterapkan pada lembaga-lembaga penegak hukum lainnya.
Memang hal ini memerlukan keberanian ditambah konsistensi. Harapannya agar sinisme dan kritik pedas masyarakat terhadap Polri bisa terjawab dengan kinerja ke depan yang meyakinkan dalam rangka menjaga dan menjamin ketertiban umum.
Sedikit contoh saja yang membutuhkan pengayaan yang jelas adalah ketika penanganan dan pengamanan para demonstrasi yang dilakukan baik oleh mahasiswa ataupun masyarakat sipil lainnya, maka harus dicegah agar tidak anarki. Saat polisi bertindak keras terhadap massa unjuk rasa, sesuai prosedur tetap (protap), tidak jarang Bhayangkara Negara itu menjadi sasaran pelemparan batu, bahkan bom molotov peserta unjuk rasa yang cenderung anarki. Sayangnya, di banyak kasus serupa, polisipun terpancing melakukan tindakan serupa, melakukan pemukulan sehingga bukan menyelesaikan masalah justru memperburuk keadaan. Seharusnya setiap personel polisi mampu bersikap dan bertindak sebagaimana arahan dan ciri polisi sipil (civilian police) yang hanya mengedepankan kekerasan ketika nyawa petugas dan aparat kamtibmas dimaksud terancam.
Selain itu dalam dalam konteks aktualisasi hak demokrasi, perlu ada pula aktulisasi posisi kepolisian Indonesia. Memang hal ini sulit dilakukan, menjadi buah simalakama. Bila polisi terlalu ”lemah”, bisa berakibat pada proses intensifikasi dan ekstensifikasi kecemasan publik, gangguan keamanan, serta ketertiban umum. Namun, jika polisi terlalu ”kuat”, yang muncul ke permukaan adalah umpatan hegemoni kekuasaan kepolisian, yang tidak sesuai dengan desain serta nalar masyarakat sipil terhadap lembaga dan personel Polri.
Semoga saja, catatan seorang demostrans ini tidak hanya menjadi igauan belaka, mudah-mudahan ke depannya dapat terwujud Polisi sebagai kekuatan untuk dan atas nama kepentingan profesi kepolisian di satu sisi, serta kepentingan (politik) demokrasi di sisi lain.
Wallahua’alam.
* : Penulis adalah Pengurus Badan Koordinasi (Badko) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Jawa Barat serta pengelola www.oki-sukirman.blogspot.com.
2 comments:
di kantor polisi terlihat dengan jelas tulisan yang b'isi "melayani dan mengayomi masyarakat". ternya itu semua hanya sebagai kedok belaka,yang terjadi d lapangan malah bertolak belakang dengan apa yang menjadi kebanggaan polisi sebagai aparat yang mengayomi dan melayani masyarakat "menurut mereka".
terlihat jelas tulisan yang ada d setiap kntor polisi bahwa "polisi melayani dan mengayomi masyarakat". ternyata d lapangan hal itu justru bertolak belakang dengan apa yang menjadi tugas mereka yaitu melayani dan mengayomi masyarakat.
Posting Komentar