13/11/2009

Rekonstruksi Budaya Organisasi Di Sekolah yang Dinamis


Oleh. Oki Sukirman Dzil-Akhwaini*

Kekerasan dan tawuran antar siswa, ulah gank-gank motor yang sangat meresahkan masyarakat, serta kehidupan bebas para remaja yang terjerumus pada kehidupan bebas; seks bebas, penyalahgunaan obat-obatan terlarang adalah sebagain kecil dari output pendidikan yang yang sudah sangat keluar dari semangat keteraturan moral dan supremasi nilai kemanusiaan (Tilaar dalam Ma’arif, 2005:77) Inilah salah satu indikator gagalnya pendidikan di Indonesia. Dalam hemat penulis, hal ini terkait belum terciptanya budaya organisasi di sekolah yang mampu menjawab tantangan zaman saat ini.

Bagaimanapun budaya organisasi di sekolah adalah hal yang urgen dan vital. Budaya organisasi sendiri dimaknai sebagai kerja sama yang terjalin antar elemen anggota organisasi yang memiliki unsur visi dan misi, sumber daya, dasar hukum struktur, dan anatomi yang jelas dalam rangka mencapai tujuan tertentu.

Stephen Stolp (1994) dalam beberapa penelitiannya yang diterbitkan melalui ERIC Digest mengungkapkan bahwa budaya organisasi di sekolah berkorelasi dengan peningkatan motivasi dan prestasi belajar siswa serta kepuasan kerja dan produktivitas elemen-elemen sekolah.

Dalam hal ini posisi kepala sekolah sebagai ”leader” dan ”manajer” di sekolah mempunyai peranan sangat penting. Kepala sekolah hendaknya mampu melihat lingkungan sekolahnya secara holistik. Melalui pendalaman pemahamannya tentang budaya organisasi di sekolah, maka ia akan lebih baik lagi dalam memberikan penajaman tentang nilai, keyakinan dan sikap yang penting guna meningkatkan stabilitas dan pemeliharaan lingkungan sekolahnya.

Dalam upaya membangun kembali budaya organisasi sekolah yang lebih dinamis, penulis berpedoman pada tesis Fred Luthan dan Edgar Schein (1995) yang mengetengahkan enam karakteristik penting dalam membangun budaya organisasi yang dinamis dan efektif disekolah diantaranya; dominant values, philosophy, rules, dan organization climate.

Pertama, Rules; budaya organisasi harus ditandai dengan adanya ketentuan dan aturan main yang mengikat seluruh anggota organisasi. Setiap sekolah memiliki ketentuan dan aturan main tertentu, baik yang bersumber dari kebijakan sekolah setempat, maupun dari pemerintah, yang mengikat seluruh warga sekolah dalam berperilaku dan bertindak dalam organisasi. Aturan umum di sekolah ini dikemas dalam bentuk tata-tertib sekolah (school discipline), di dalamnya berisikan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh warga sekolah, sekaligus dilengkapi pula dengan ketentuan sanksi, jika melakukan pelanggaran

Kedua, Dominant values; jika dihubungkan dengan tantangan pendidikan Indonesia dewasa ini yaitu tentang pencapaian mutu pendidikan, maka budaya organisasi di sekolah seyogyanya diletakkan dalam kerangka pencapaian mutu pendidikan di sekolah. Dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (Depdiknas, 2001), mutu pendidikan meliputi aspek input, proses dan output.

Pada aspek input, ditunjukkan melalui tingkat kesiapan dan ketersediaan sumber daya, perangkat lunak. Makin tinggi tingkat kesiapan input, makin tinggi pula mutu input tersebut. Kemudian aspek proses adalah ditunjukkan melalui pengkoordinasian dan penyerasian serta pemanduan input sekolah yang dilakukan secara harmonis, sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar. Dari aspek output dapat dilihat dari prestasi sekolah, khususnya prestasi siswa, baik dalam bidang akademik maupun non akademik.

Ketiga, Philosophy; Sebagaimana termaktub dalam Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Depdiknas (2001) mengemukakan bahwa: “pelanggan, terutama siswa harus merupakan fokus dari semua kegiatan di sekolah. Artinya, semua input dan proses yang dikerahkan di sekolah tertuju utamanya untuk meningkatkan mutu dan kepuasan peserta didik.” Oleh karenanya aspek filosofi dalam budaya organisasi sekolah adalah seperti halnya dalam dunia bisnis yang melatakan kepuasan pelanggan diatas segalanya. Maka sekolah pun seyogyanya memiliki keyakinan akan pentingnya upaya untuk memberikan kepuasan kepada para siswa.

Keempat, Organization climate; Dalam hal ini Moh. Surya (1997) mengungkapkan bahwa Lingkungan kerja yang kondusif baik lingkungan fisik, sosial maupun psikologis dapat menumbuhkan dan mengembangkan motif untuk bekerja dengan baik dan produktif.” Oleh karenanya harulah diciptakan iklim organisasi berupa suasana lingkungan kerja yang kondusif dan menyenangkan bagi setiap anggota sekolah.

Demikian tatanan nilai yang harus dibangun dalam upaya menciptakan (dan membangun kembali) budaya organsisasi yang dinamis dan efektif dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang termaktub dalam UU Nomor 2 Tahun 1989 ~yang direvisi pada tahun 2003- pada Bab dua Pasal tiga~, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak kehidupn berbangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepad Tuhan YME, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab“.

Semoga saja!

* : Penulis adalah Kepala Sekolah Madrasah Diniyah Takmiliyah Awaliyah (MDTA) Darul Amanah Ds. Jatiroke, Kec. Jatinangor, Kab. Sumedang.
.
2 comments 

2 comments:

jemiro mengatakan...

saya rasa masalah tv jadi salah atu faktor yang sangat berpengaruh
saya merasa acara TV sungguh tidak baik, melihat banyaknya adegan kekerasan, percintaan yang menyeleweng, dan arogan+sikap bandel yang ditebarkan lewat sinetron-sinetron. Saya rasa pembatasan acara TV harus benar2 di lakukan, dan juga pemerintah harusnya lebih memperhatikan masalah ini

Dimaz Julio mengatakan...

berikut kami sajikan paper mengenai budaya organisasi

http://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/2662/1/Psi-7.pdf