13/11/2009

Negara dalam Cengkraman Mafioso.


Oleh. Oki Sukirman Dzil-Akhwaini*

Diperdengarkannya percakapan (hasil sadapan Komisi Pemberantasan Korupsi) antara Anggodo, keluarga, pengacara, dan jaringannya oleh Mahkamah Konstitus telah membuka mata rakyat Indonesia. Ada pelajaran yang sangat berharga dari rekaman tersebut dari mulai modus para mafia dalam “merampok” uang negara sampai upaya mereka membentengi diri agar terhindar dari jerat hukum.

Bisa jadi saat ini masyarakat sudah “mati kutu” dan kehabisan akal dalam usaha sekedar mengingatkan dan menegur para aparat penegak hokum agar jangan tebang pilih. Setidaknya ini ditandai dengan dukungan oleh para Facebookers kepada Wakil Pimpinan KPK, Bibit dan Chandra yang ditahan karena diduga melakukan penyalahgunaan wewenang pada awalnya, lalu berubah menjadi kasus pemerasan dan penyuapan. Aksi protes para Facebookers telah mencapai angka 1 juta orang lebih hanya dalam beberapa minggu saja. Ini bagaikan bom waktu yang siap meledak, setidaknya jika melihat aksi-aksi proses tersebut yang belum memperlihatkan mereda bahkan berkesudahan.

Sikap para penegak hokum yang seolah telah “tertutup” mata batinnya (jika tidak mau dikatakan sudah dibutakan mata fisiknya oleh kekuasaan) mencari-mencari pembenaran dalam rangka mempertahankan “image” dan “gengsi” lembaga bersamaan dengan oknum-oknumnya yang terlibat dalam jejaring Mafioso.

Sikap para wakil rakyatpun setali tiga uang, Bahkan justru lebih parah. Harapan masyarakat agar wakil rakyat menjadi garda terdepan dalam menyampaikan aspirasi rakyat, belum terwujudkan. Ini terlihat dalam sikap wakil rakyat; Komisi III DPR dalam dengar pendapat dengan Polri Kamis (5/11).

Komisi III DPR seolah melawan arus tsunami resistensi masyarakat dalam kasus penahanan Bibit_Chandra, bahkan mempertontonkan sikap yang bertolakbelakang dengan hujatan-hujatan masyarakat. Tepuk tangan yang dilakukan oleh anggota Komisi III DPR dan diikuti dengan foto bersama seusai rapat tersebut bukan saja memunculkan tanda tanya di mata publik, tetapi juga membuat hati rakyat dan nurani reformasi teriris-iris.

Lalu Komisi III DPR pun secara gamblang memberikan dukungan moral dan politik kepada kejaksaan agung dan kepolisian untuk “meneruskan” kasus tersebut. Alih-alih mengusut secara mendalam penahanan Bibit-Chandra oleh pihak kepolisian, Komisi III DPR justru merekomendasikan untuk menaikan anggaran kejaksaan. Inilah yang menjadi ironi ditengah harapan besar masyarakat untuk adanya pengusutan tuntas adanya indikasi pelemahan lembaga KPK.

Menuju Negara Gagal.

Jika meperhatikan tesis dikemukan oleh Francis Fukuyama, negara Indonesia sedang berada pada keadaan darurat. Dalam Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity, Fukuyama mengemukakan bahwa ”Kesejahteraan dan daya saing suatu bangsa ditentukan oleh satu karakter kultural: tingkat kepercayaan yang mensifati masyarakatnya”. Disisi lain Fukuyama juga mencoba mengurai bahwa modal sosial yang direpresentasikan dengan kepercayaan adalah sama pentingnya dengan modal fisik (Ancok, 2003).

Disinilah konteks kekhawatiran kita dalam kasus penahanan Bibit-Chandra pandangan Fukuyama sangat relevan sekali. Jika saja korupsi telah menjadi kejahatan yang terstruktur rapi, sistematis dan melibatkan para penegak hukum itu sendiri, maka secara perlahan telah mencerabut ”akar” kepercayaan rakyat kepada penegak hukum.

Bagaimanapun kepercayaan adalah modal utama yang dibutuhkan oleh pemerintah dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya, lebih-lebih oleh para aparat penegak hukum sebagai penegak hukum, penjaga keamanan, dan ketertiban masyarakat. Oleh karenanya, kewenangan mutlak dalam fungsi preventif dan represif seyogianya tidak merepresentasikan kekuasaan dan arogansi.

Jika saja krisis kepercayaan kepada lembaga penegak hukum terus bersemi didada masyarakat indonesia, maka hal ini merupakan ekses yang buruk dalam pelaksanaan tertib hukum. Bisa jadi masyarakat sudah tidak mau patuh lagi pada hukum dan menganggap semua para penegak hukum berperilaku (sama) buruk(nya). Dan negara Indonesia bukan saja dalam keadaan darurat namun akan terjerumus kepada label ”negara gagal” yang mana hukum hanya menjadi angan belaka, dan rakyat berjalan dengan kemauan sendiri-sendirinya dengan hukum masing-masing.

Memutus mata rantai jejaring mafioso.

Dalam hemat penulis, ada bebarapa peranan penting yang harus diupayakan dalam rangka penegakan hukum, pemberantasan korupsi dan tentunya dalam rangka memberangus mafia hukum (mafioso).

Pertama, justru yang menjadi penopang terkuat lahirnya mafia hukum adalah dari aparat penegak hukum itu senditi. Upaya pemberantasan mafia hukum haruslah dimulai dalam institusi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan. Kita mendapatkan pelajaran berharga dalam kasus isi rekaman sadapan KPK, bahwa ada pihak-pihak yang terlibat dalam kasus tersebut yang justru merupakan bagian dari penegak hukum itu sendiri. Disinilah kita bisa menelisik eksistensi mafia pada dua institusi tersebut dan mengindikasikan bahwa kedua institusi tersebut adalah pintu masuk dalam membongkar sejumlah petinggi penegak hukum. Setidaknya ada istilah petinggi ”truno” dalam rekaman itu—menunjukkan keterlibatan aparat hukum dalam konspirasi penyuapan dan korupsi—harus bisa diidentifikasi dan diambil tindakan dan sanksi tegas. Bukan sekedar mengundurkan diri dari jabatan, namun juga setelah mengundurkan diri harus disertai dengan pengusutan secara komfrehensif.

Kedua, Pengawasan kasus-kasus yang ditangani di pengadilan. Perlu disadari bahwa pengadilan selama ini menjadi mata rantai tak terpisahkan bekerjanya mafioso dan makelar kasus hukum yang begitu mudah memperdagangkan putusan hakim. Dalam upaya reformasi hukum ini amat tak mungkin dilakukan tanpa membuka ketertutupan pengadilan, karena keterbukaan menjadi sarana efektif untuk mengontrol dan melawan ketidakjujuran.

Pembersihan mafia hukum di Mahkamah Agung adalah hal yang mendasar karena merupakan pucuk institusi peradilan dan dilanjutkan di jajaran lebih rendah. Ini berarti Mahkamah Agung harus bersih, berintegritas, dan jangan dipasok hakim-hakim yang terkontaminasi suap, korupsi, dan aneka putusan tak berkualitas bahkan terninabobokan oleh materi.

Ketiga, selain adanya ”reformasi” dalam aspek perangkat keras (hardware) berupa lembaga penegak hukum yang disebutkan diatas, berikutnya adalah adanya penguatan perangkat lunak (software) berupa payung hukum yang kuat dan tegas. Hal yang sangat urgen adanya pemberlakuajn sampai hukuman mati bagi para mafia hukum dan koruptor untuk menimbulkan ketakutan dan kejeraan, jika saja hukum-hukum yang ada saat ini, belum bisa berbicara banyak dalam memberantas virus korupsi yang semakin membinasa dan menjadi penyakit akut dalam tubuh hukum negeri ini.

Oleh karena itu, dalam pandangan penulis diperlukan mekanisme khusus di luar kebiasaan dengan terus memperkuat peran dan fungsi lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dan melawan segala bentuk pelemahan dan perlucutan wewenang KPK melalui revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena justru menghilangkan hakikat menempatkan situasi luar biasa untuk memberantas korupsi.

Tanpa harus memancing ikan diair keruh, dengan saling menghujat satu sama lain. lebih dari itu, yang dibutuhkan negeri ini adanya persatuan Semangat untuk melakukan reformasi hukum harus menjadi agenda semua pihak. Bukan saja menjadi program SBY yang mencanangkan pemberantasan mafia hukum (Ganyang Mafia) sebagai bagian agenda 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2. 

Upaya bersatu padu, saling bahu membahu dalam melawan korupsi adalah hal yang mutlak. Sebab musuh bersama negeri ini sudah cukup jelas; kolinialisme modern yang dengan cara-cara picik dan licik berusaha menghancurkan sendi-sendi kehidupan bernegara kita. Para mafioso, para koruptor sudah selayaknya di hukum mati.

* : Penulis adalah Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Kabupaten Bandung, Mantan Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN SGD Bandung 2008-2009.
Leave a comment 

0 comments: