PENDAHULUAN.
Dewasa ini mana kala Indonesia beranjak pada sistem yang “lebih luwes”, Indonesia hadir dengan wajah yang lebih halus. Masa-masa suram wajah Indonesia terjadi saat pemerintahan Orde Baru berkuasa. Atas nama kekuasaan dan stabilitas nasional, “mulut-mulut” rakyat Indonesia seakam dikunci dan tidak bisa serta merta dengan bebas mengeluarkan pendapatnya baik lisan ataupun tulisan.
Namun kotoran yang hinggap diwajah kita itu sekarang hilang dengan bergulirnya masa pemerintahan orde reformaasi. Inilah masa yang mana oleh orang lain diagung-agungkan sebagai masa keemasan dengan tingkat partisipasi rakyat dalam pembangunan lebih menonjol.
Tak terasa tahun 2007 segera berakhir artinya kita saat ini sudah berjalan 10 tahun dengan system demokrasi. Kita boleh bangga atas penilaian orang lain bahwa dengan kuantitas penduduk yang begitu besar Indonesia bisa melaksanakan system “dari rakyat-oleh rakyat-untuk rakyat” dengan “sedikit” aman. Tolak ukurnya adalah pemilihan presiden pada pemilu 2004 yang dianggap sebagai torehan emas masa demokrasi di Indonesia, yang seluruh rakyat Indonesia bisa menentukan langsung pilihannya pada sosok yang akan menduduki kursi RI-1 itu.
Bebicara masalah pemilihan umum di Indonesia, sangat menarik untuk dianalisis. Paling tidak jika kita melihat dari kaca mata “komunikasi massa”. Kenapa? Sebab proses keberlangsungan pemilihan umum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh keberhasilan seseorang untuk berkomunikasi kepada orang banyak tentang taktis dan strategis yang akan dicapai untuk pemilu. Misalnya bagaimana waktu dulu tim sukses SBY –yang menang pada pemilu 2004 dan menjadi presiden sekarang- mampu mengkomunikasikan sosok SBY dengan sempurna, seperti labeling theory atau teori pembusukan dan lainnya.
Memang ranah ini seperti bagian dari domain politik. Namun sepertinya kita masih menutup mata adanya peranan besar media dalam kesuksesan proses komunikasi massa sebagai salah satu wahana dan alat yang efektif.
Sebab lainnya, berbicara komunikasi massa maka kita tidak bisa memisahkannya dengan media massa sebagai salah satu elemen penting komunikasi massa. Media dalam hal ini seperti yang dikatakan Goerge Gerbner sebagai “pembuat public” artinya kemampuan untuk menciptakan public, mendefenisikan isu-isu, memberikan syarat referennsi umum dan mengalokasikan pengertian dan kekuasaan (Gebner, dalam Dance 1967:45).
Maka dalam anlisis penulis, media massa hari ini secara tidak langsung –seperti yang dikatakan Goerge Gerbner diatas- telah memasuki domain politik. Ini tolak ukurnya untuk lingkup Indonesia saja. Ada sedikit keanomalian. Telah terjadi perselingkuhan yang begitu nyata antara partai politik –sebagai perwakilan domain politik- dengan media massa.
Contoh nyata adalah bagaimana para politisi sebuah partai juga merupakan praktisi media sekaligus pemilik media. Maka posisi media pada saat itu bukan saja untuk menyeruakan aspirasi-aspirasi public, namun secara otomatis dan praktis media tersebut digunakan sebagai kendaraan utama untuk melanggengkan visi dan misi partai politik tersebut. Apalagi ditambah jika berbicara suksesi kekuasaan dengan adanya pemilihan umum baik tingkat daerah seperti pilkada ataupun pemilihan umum yang akan berlangsung pada tahun 2009.
Beranjak dari sana, maka perlu adanya satu analisis lebih dalam tentang pemberitaan-pemberitaan media massa khususnya segala hal yang berhubungan dengan partai politik ataupun pemilihan umum. Analisis harus difokuskan bagaimana sebuah media memberitakan sebuah isu-isu lingkup partai politik menjadi isu nasional dan pemberitaan dengan media yang berbeda yang tidak menjadikan focus bahasan tersebut sebagai headline utama yang walaupun pada waktu itu banyak berita-berita atau isu-isu lain yang memang pantas untuk diangkat menjadi wacana dan isu utama.
Tepat analisis penulis tertuju pada Rapimnas (Rapat pimpinan nasional) Partai Golkar. Media yang saya ambil sebagai focus kajian yaitu “Media Indonesia” dan “Kompas” yang mana keduanya sama pada edisi Senin, 16 November 2007. ini menarik bagaimana headline setiap media. Seperti pada saat yang bersamaan media-media lain mengangkat Headline yang bebeda, contoh pada “Republika” yang lebih focus pada Pemilu dengan lead “Sederhanakan Pemilu”dan mengangkat ediotorial mengenai kemenangan Kevin Rudd Sebagai keberhasilan di Australia. Atau “Pikiran Rakyat” yang memuar headline dan menulis lead “Golkar tetap Dukung SBY” dan pada rubric editorial membahas tentang hari guru yang jatuh pada tanggal 25 November 2007.
PEMBAHASAN
ANALISIS PUSTAKA.
Selayang pandang media massa yang menjadi focus analisis.
· “Media Indonesia”
Tipe
|
:
|
Surat kabar harian
|
Format
|
:
| |
Pemilik
|
:
|
Kelompok Media Group
|
Kantor pusat
|
:
| |
Situs web
|
:
|
“Media Indonesia” adalah sebuah surat kabar harian yang terbit di Jakarta. Tergabung ke dalam Media Group, sejumlah kalangan menganggap “Media Indonesia” sebagai surat kabar umum terbesar kedua di Indonesia setelah harian “KOMPAS”.
Media Group sendiri adalah kelompok usaha media yang didirikan oleh Surya Paloh. Kelompok usaha ini memiliki harian “Media Indonesia”, Lampung Post, dan stasiun televisi MetroTV. Surya Dharma Paloh (lahir 16 Juli 1951 di Kutaraja, Banda Aceh) adalah Ketua Dewan Penasehat Partai Golkar. Surya Paloh juga dikenal sebagai pengusaha pers dan pimpinan Media Group yang memiliki harian “Media Indonesia”, Lampung Post, dan stasiun televisi Metro TV.
· “Kompas”
Tipe
|
:
|
Surat kabar harian
|
Format
|
:
| |
Pemilik
|
:
| |
Didirikan
|
:
| |
Kantor pusat
|
:
| |
Situs web
|
:
|
“Kompas” adalah nama surat kabar Indonesia yang berkantor pusat di Jakarta. “Kompas” adalah bagian dari Kelompok “Kompas” Gramedia. Ide awal penerbitan harian ini datang dari Jenderal Ahmad Yani, yang mengutarakan keinginannya kepada Frans Seda untuk menerbitkan surat kabar yang berimbang, kredibel, dan independen. Frans kemudian mengemukakan keinginan itu kepada dua teman baiknya, P.K. Ojong (1920-1980) dan Jakob Oetama. Ojong langsung menyetujui ide itu dan menjadikan Jakob Oetama sebagai editor in-chief pertamanya.
Awalnya harian ini diterbitkan dengan nama Bentara Rakyat. Atas usul Presiden Sukarno, namanya diubah menjadi “Kompas”, sebagai media pencari fakta dari segala penjuru.
“Kompas” mulai terbit pada tanggal 28 Juni 1965 berkantor di Jakarta Pusat dengan tiras 4.800 eksemplar. Sejak tahun 1969, “Kompas” merajai penjualan surat kabar secara nasional. Pada tahun 2004, tiras hariannya mencapai 530.000 eksemplar, khusus untuk edisi Minggunya malah mencapai 610.000 eksemplar. Pembaca koran ini mencapai 2,25 juta orang di seluruh Indonesia.
Seperti kebanyakan surat kabar yang lain, harian “Kompas” dibagi menjadi tiga halaman bagian, yaitu bagian depan yang memuat berita nasional dan internasional, bagian berita bisnis dan keuangan, serta bagian berita olahraga.
Kelompok “Kompas” Gramedia adalah perusahaan Indonesia yang bergerak di bidang media massa. Perusahaan ini didirikan pada 28 Juni 1965.
Pada tahun 1980-an usaha mereka mulai berdiversifikasi, terutama dalam bidang komunikasi. Sekarang ini mereka terbagi menjadi beberapa anak perusahaan seperti: Kelompok Percetakan, “Kompas”, Majalah, Gramedia Pustaka Utama (GPU), Penerbitan & Multi Media (MMSP), Perdagangan & Industri, Hotel Santika, Media Olahraga (Medior), Pers Daerah, Radio Sonora, PT. “Kompas” Cyber Media, serta Tabloid KONTAN. Memiliki TV7 yang dibeli sahamnya oleh Para Group dan diubah namanya jadi Trans7 yang bernaung satu dengan Trans TV dalam TRANS corp. Pada 2005 mereka mempekerjakan sekitar 12.000 pegawai yang tersebar di seluruh Indonesia.
PEMBAHASAN
ANALISIS WACANA
Jika kita berbicara mengenai dunia jurnalistik, keberadaan wartawan sebagai si peliput dan sekaligus penulis berita tidak dapat dinomorduakan. Media cetak, khususnya surat kabar atau koran, menjadi salah satu ruang tempat dituliskannya hasil liputan mereka terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di negara ini. Eriyanto (2006:36) memaparkan dua pandangan mengenai media itu sendiri. Pertama, media dapat dilihat sebagai saluran yang bebas dan netral, tempat semua pihak dan kepentingan dapat menyampaikan posisi dan pandangannya secara bebas. Kedua, media dapat dilihat sebagai subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya.
Idealnya, seorang wartawan selayaknya lebih mengedepankan fakta dan menghindari penilaian subjektif dalam menyajikan berita yang diliputnya. Namun, hal ini sukar dilakukan karena wartawan pun merupakan bagian dari kelompok atau kelas tertentu dalam masyarakat. Dengan demikian, pada dasarnya setiap wartawan memiliki nilai-nilai tertentu yang menjadi prinsip dalam proses peliputan dan penulisan berita yang dilakukannya. Walaupun wartawan terikat dengan kode etik dan aturan yang telah ditetapkan oleh media tempatnya bekerja, setiap wartawan tetap memiliki gaya penulisan (style) yang khas, yang mana media itu sendiri tidak bebas nilai sarat dengan ideology yang dianut serta kepentingan-kepentingan yang disampaikan oleh pemilik modal.
Ideologi sendiri diusung oleh sebuah media massa sebagai bukti eksistensinya. Pengaruh ideologi ini sangat jelas dalam pemberitaan, karena peristiwa atau kejadian yang ada dipotret atau ditulis berdasarkan ideologi yang dianut oleh media massa itu. Adanya kacamata ideologi itu menjadikan duduk soal yang diungkap akan dipilih dengan yang lebih dekat dengan ideologi tersebut. Muncul adanya saringan ideologi yang menjadikan berita yang muncul di koran, majalah atau tampil di TV dan radio telah disunat. Ini makanya, ketika berita itu sampai kepada masyarakat, akan mewujud dalam bentuk yang berbeda-beda. Inilah yang penulis sebut sebagai rekonstruksi realitas.
Maka jangan heran jika peristiwa yang terjadi pada satu tempat akan terjadi sudut pandang yang berbeda dalam proses penerbitan berita walaupun dari sumber berita, fakta dan data didapat dari sumber yang sama. Untuk lebih jelas coba Telaah gambar dibawah ini:
Penulis akan mencoba menganalisis serta melakukan perbandingan terhadap pemberitaan surat kabar Media Indoneisa dengan surat kabar “Kompas” dalam kasus yang sama yaitu masalah Rapimnas (rapat pimpinan nasional) Partai Golkar. Walaupun kejadian dan faktanya pada dasarnya sama, namun dari sudut pandang kedua media tersebut jauh berbeda sekali.
Penulis dalam analisis ini menggunakan metode analisis framing. Namun maaf jika analisis saya dengan metode framing ini belum mengena pada analisis framing itu sendiri. Sebab penulis sendiri belum paham betul tentang metode analisis framing itu sendiri.
Analisis framing sendiri dalam perspektif komunikasi, dipakai untuk membedah cara-cara atau ideology media saat merekonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya. Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. (Alex Sobur,2001:162)
Dalam praktiknya, analisis framing juga membuka peluang bagi implementasi konsep-konsep sosiologis, politik, dan kultural untuk menganalisis fenomena komunikasi, sehingga suatu fenomena dapat diapresiasi dan dianalisis berdasarkan konteks sosiologis, politis, atau kultural yang melikupinya.
Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa ke mana berita tersebut. Karenanya berita menjadi manipulatif dan bertujuan mendominasi keberadaan subjek sebagai sesuatu yang legitimate, objektif, alamiah, wajar, atau tak terelakkan. Tentu saja, ketika seorang jurnalis melakukan kegiatan frame atas fakta yang dihadapi, rumus baku jurnalistik tetap beralaku, yaitu apa yang dikenal dengan 5 W + 1 H. (what, who, when, where, why + how).
Dari kaca mata surat kabar “Media Indonesia” berita atau isu tentang Rapimnas (rapat pimpinan nasional) Partai Golkar menjadi headline utama atau halaman depan dalam penerbitanya. Selain itu juga lead yang digunakan dengan kata “Golkar Jamin SBY-JK Langgeng hingga 2009” yang berukuran besar –tidak seperti biasanya- menjadikan berita dan isu Rapimnas (rapat pimpinan nasional) Partai Golkar) oleh “Media Indonesia” dianggap penting dan menjadi isu nasional. Hal ini diperkuat dengan foto headline yang mendukung tulisan berita Rapimnas (rapat pimpinan nasional) Partai Golkar, yang mana foto tersebut menggambarkan presiden SBY sedang berbincang dengan wakil presiden yang juga Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla, ditambah dengan gambar disampinganya Ketua Dewan Penasihat Surya Paloh dan Wakil Ketua Agung Laksono semakin memperkuat dominasi pemberitaan Rapimnas (rapat pimpinan nasional) Partai Golkar pada surat kabar “Media Indonesia”
Apa arti dari semua ini. Ini menunjukan “Media Indonesia” mencoba memberikan paparan tentang pentinya berita Rapimnas (rapat pimpinan nasional) Partai Golkar dibandingkan yang lain. Selain itu juga dengan penempatan berita Rapimnas (rapat pimpinan nasional) Partai Golkar sebagai headline menjadikan “Media Indonesia” memang sarat akan kepentingan dari pemilik modal “Media Indonesia” itu sendiri yaitu Surya Paloh yang mana dia merupakan Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar.
Ini berbeda dengan apa yang ditampilkan oleh surat kabar “Kompas”, walaupun penempatan berita Rapimnas (rapat pimpinan nasional) Partai Golkar pada halaman utama, namun “Kompas” tidak menyoroti lebih dalam terhadap detail peristiwa Rapimnas (rapat pimpinan nasional) Partai Golkar tersebut. Tetapi “Kompos” lebih tertarik pada persoalan kekerasan etnik yang terjadi di Malaysia, yang mana porsi pemberitaannya cukup besar. Selain penempatan berita kekerasan sebagai headline utama, foto berita yang memperkuat berita tersebut ditempatkan dengan sangat besar mengalahkan focus pembaca pada yang lain. “Penormeduakan” berita Rapimnas (rapat pimpinan nasional) Partai Golkar dengan lead berita yang berjudul “Demokrasi hanya cara, dapat dinomorduakan” merupakan upaya perimbangan “Kompas” pada Rapimnas (rapat pimpinan nasional) Partai Golkar selain disamping juga menyangkut agenda setting “Kompas” itu sendiri. Sebab “Kompas” lebih focus pada kepentingan nasional, artinya dalam pada pemberitaan Rapimnas (rapat pimpinan nasional) Partai Golkar “Kompas” lebih menggarisbawahi hasil dari Rapimnas (rapat pimpinan nasional) Partai Golkar yang berguna untuk kepentingan nasional.
Namun jauh dari itu kita juga harus memperhatikan aspek bahasa yang digunakan dalam berita tersebut. Pemaknaan terhadap teks bahasa merupakan aspek penting dalam proses analisis ini. Dengan memaknai teks berita, pembaca tidak hanya mengetahui apa yang diliput oleh media, tetapi juga bagaimana media mengungkapkan peristiwa ke dalam pilihan bahasa tertentu dan bagaimana itu diungkapkan lewat retorika tertentu. Pemakaian kata-kata tertentu, kalimat, gaya tertentu bukan semata-mata dipandang sebagai cara berkomunikasi semata, tetapi jauh dari itu bisa dipandang sebagai politik berkomunikasi - suatu cara untuk mempengaruhi pendapat umum, menciptakan dukungan, memperkuat legitimasi, dan menyingkirkan lawan atau penentang (Eriyanto, 2006:227).
Berbicara bahasa yang digunakan maka pertama kali yang harus diperhatikan adalah lead berita, mari kita badingkan lead berita kedua media tersebut.
MEDIA INDONESIA.
Golkar Jamin SBY-JK Langgeng Hingga 2009
Jakarta (Media): Partai Golkar menjamin pemerintahan Presiden Sosilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wapres Jusuf Kalla (JK) langgeng hingga 2009. Presiden pun berterima kasih.
KOMPAS.
Demokrasi Hanya Cara, Dapat Dinomorduakan.
Jakarta, Kompas – Rapat Pimpinan Nasional III Partai Golkar menyimpulkan, demokrasi hanyalah cara, alat, atau proses, dan bukan tujuan, sehingga bisa dinomorduakan di bawah tujuan utama peningkatan dan pencapaian kesejahteraan rakyat.
Dalam lead berita pada “Media Indonesia” sangat jelas arah ideology dan agenda setting yang digunakan “Media Indonesia”. Yang harus dicatat adalah selain adanya “Media Indonesia” ingin menunjukan dominasi dan “kebesaran” dari partai Golkar dengan menulis lead seperti diatas, seolah pemerintahan Presiden Sosilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wapres Jusuf Kalla (JK) dalam posisi yang lemah berada dalam jaminan Partai terbesar di Indonesia tersebut dan “Media Indonesia” mencatat pernyataan Presiden Sosilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang pada intinya berterima kasih terhadap Partai Golkar sebagai isu penting. Maka “Media Indonesia” menulis” Partai Golkar menjamin pemerintahan Presiden Sosilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wapres Jusuf Kalla (JK) langgeng hingga 2009. Presiden pun berterima kasih.
Berbeda dengan “Media Indonesia”, “Kompas” menulis bahasan lebih pada hasil dari Rapimnas (rapat pimpinan nasional) Partai Golkar yang mana menyoroti tentang demokrasi tidak memberitakan secara detail peristiwa tersebut. Disinilah terjadi proses inklusi dan ekslusi media. “Media Indonesia lebih menonjolkan berita Rapimnas (rapat pimpinan nasional) Partai Golkar serta tokoh-tokoh yang terlibat didalamnya. Dalam “Kompas” walaupun memang Rapimnas (rapat pimpinan nasional) Partai Golkar merupakan agenda penting yang menyangkut nasional sebab partai Golkar sebagai partai tersebar, namun “Kompas” seolah menyembunyikan berita tersebut dan memilih topic dan tema lain yang dijadikan isu utama pemberitaannya.
Disini jelaslah seperti dikatakan diawal bahwa media tidak bebas nilai dan sarat akan kepentingan-kepentingan. Contoh nyata adalah seperti yang saya paparkan diatas terhadap Rapimnas (rapat pimpinan nasional) Partai Golkar yang diberitakan oleh media yang berbeda yaitu “Media Indonesia” dan “Kompas”
WHAT THEY SAY…ABOUT THIS?
PERTANYAAN UMUM:
Apa yang anda ketahui dari Rampinas Partai Golkar? Bagaiamana pandangan anda pada Rapimnas (Rapat Pimpinan Nasional) Partai Golkar?
JAWABAN-JAWABAN:
“No coment…ah say amah kurang tahu betul tentang Rapimnas Golkar mah. Gak terlalu penting deh…”
( Amin Nurdin, Mahasiswa Jurusan PMI semester V)
“Penting untuk kita perhatikan juga masalah Rapmnas Golkar ini, sebab ini menyangkut kepentingan nasional. Secara Partai Golkar merupakan partai pemenang oemilu 2004 juga banyak kader-kader Golkar yang duduk dalam pemerintahan. Emang naon wae kitu hasilna…”
(Ramdhan Shalih, Mahasiswa Jurusan jurnalistik, Semester V)
“Oia tentang Rapimnas Golkar? Yang saya ketahui Rampimnas tuh rapat para pimpinan Partai Golkar seluruh Indonesia, dari mulai ketua umum sampai kertua DPD dan ketua di daerah-daerah. Untuk pandangann saya positif saja…apalagi ya saya juga bingung…”
(Diah Sri Rejeki, Mahasiswa Fikom Unpad, Angkatan 2005)
“ah jang..mang mah teu terang nanaon kanu kitu mah, komo tentang Rampanas Golkar mah (maksud namah Rampimnas -pen), yang mang terang mah partai golkar we hungkul, anu baheula meunang pemilu pas jaman pak suharto baheula..”
(Mang Udin, Pedagang Pempek di Seefood (Sisi pudunan) UIN Sgd bandung)
“Rapimnas Golkar kalau menurut say amah itu mah rapat tahunan aja kaya rapat pleno lah mun di organisasi mah, ya.,..biasa yang dibahas tentang evaluasi. Pandanganna positif lah..da say amah gak tau apa-apa tentang Rapimnas Golkar mah”
(Agus Gunawan, Ketua Bidang PTKP HMI Komdakom)
DAFTAR PUSTAKA
Ø Cangara, Hafied. 2005. Pengantar Ilmu Komunikasi. Rajawali Pers. Jakarta.
Ø Effendy, 1992.Onong Uchjana, Prof. Drs. M.A. Dinamika Komunikasi. PT Remaja Rosda Karya: Bandung.
Ø Rachmat, Jalaludin. 2005. Psikologi Komunikasi. PT Remaja Rosda Karya.:Bandung.
Ø Nurudin, M.Si. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. PT Eaja Grafindo Persada.: Jakarta.
Ø Wiryanto. 2000. Teori Komunikasi Massa. PT Grasindo: Jakarta.
Ø Winarso, 2005. Heru Puji, Sosiologi Komunikasi Massa. Prestasi Pustaka Publisher.: Jakarta.
Ø Sobur, Alex. 2001.Analisis Teks Media. PT Remaja Rosda Karya. Bandung.
Ø Eriyanto. 2001. Analisa Wacana dengan Analisis Tek Media. Yogyakarta: LkiS.
Ø Eriyanto. 2002. Analisa Framing, Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta:LkiS.
Ø Sobur, Alex, Drs, M.Si. 1999. Analisis Teks Media, Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Bandung: Kanisius
0 comments:
Posting Komentar