15/03/2009

Dari tasbeh hingga remote control; sebuah catatan determinisme teknologi Komunikasi.



-SEBUAH CATATAN DETERMINISME TEKNOLOGI KOMUNIKASI-

A. BAHASAN PENGGIRING.

Cicantayan, suatu desa kecil, arag ke panati Pelabuhan Ratu Jawa Barat, disebut “kota santri” karena suasana keberagamaan keagamaan masyarakatnya begitu tampak dan semarak disetiap dimensi kehidupan. Milai dari dimensi pendidikan, ekonomi, pertanian, dan sosial budaya sangat kenta dengan semangat kebersamaan dan nilai-nilai Islam. Setiap sore anak-anak ramai berada di surau-surau dan masjid-masjid untuk menunggu azan magrib.

Mereka mengumandangkan puji-pujian mengagungkan asma Allah, dan tek henti-hentinu membaca shalawat nabi sebelum azan magrib tiba. Para remajanya memakai peci sambil membawa Al-Qur’an menuju ke surau atau mesjid tersebut. Bahkan bapak-bapak pun berjalan menuju mesjid memegang tasbih. Demikianlah kehidupan mereka di awal tahun 60-an sampau tahun 70-an.

Namun, ketika televisi hitam putih lahir pada awal tahun 70-an, kemudian disusul dengan lahirnya televisi berwarna, kehidupan masyarakatnya mulai mengalami perubahan. Bahkan diawal tahun 80-an kehidupan masyarakat sangat kontras dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada sore hari anak-anak tidak lagi berada di masjid-mesjid, tetapi mereka nongkrong di depan TV, menonton film kartun atau lagu anak-anak. Begitupula para remajanya, nongkrong dipinggir jalan sambil bermain gitar. Baoak-bapaknya pun yang dulu memegang tasbih, sekarang memegang remote control didepan televisi mereka masing-masing.

Berdasarkan fenomena tersebut, disadari atau tidak, telah terjadi perubahan budaya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Perubahan social tersebut diakibatkan karena munculnya teknologi komunikasi ditengah-tengah mereka. Teknologi telah mengubah hidup manusia. Perubahan itu bias bernuanas positif ataupun negative. Hal inilah yang disebut dengan determinisme teknologi. Artinya, teknologi menjadi penentu dalam perubahan social masyarakat.

B. DAMPAK NEGATIF PERKEMBANGAN TEKBOLOGI (Baca: Televisi)

Disini kami akan memaparkan beberapa dampak negative perkembangan teknologi, yang tentunya disamping itu ada juga dampak positifnya. Namun untuk dampak negative akan menjadi prioritas bahasan kami, sebab dampak negative ini mempunyai ekses yang sangat vital dalam kehidupan manusia, agar manusia senantiasa waspada dan arif menyikapi dan mempergunakan perkembangan teknologi.

Pada kesempatan ini, saya akan mengkhususkan dampak perkembangan teknologi pada media televisi.

  • Pembodohan kaum muslimin
Diantara dampak negatif akibat dari kemajuan sains dan teknologi adalah banyaknya kaum muslimin yang bodoh dan dibodohkan terhadap perbedaan dan kesamaan dengan kaum Nashrani dalam satu sisi, dan kurang begitu sadar terhadap gelombang pemikiran sesaat dan gaya hedonisme dalam sisi lain, hingga sekelompok mereka mencoba mengadopsi sistem dan ideologi kuffar dalam semua bidang. Bahkan sebagian mereka dengan tegas menolak atau alergi dengan segala hal yang berbau Islam dan nilai moral karena terpengaruh dan silau oleh kemajuan teknologi dan keunggulan materi para penentang Islam yang hanya menjanjikan ”kesuksesan” sementara.

  • Media penebar maksiat dan pengusung laknat.
Televisi lebih berbahaya daripada para perampok yang mungkin hanya menjarah harta dan melukai jiwa mereka, sementara TV disamping menguras harta benda yang lebih kejam lagi acara TV merampok kehormatan dan merampas kesucian serta menghancurkan moral keluarga. Namun hanya sedikit diantara kita yang sadar akan dampak dan bahaya yang ditimbulkan TV, sehingga tanpa merasa berdosa maupun menyesal mereka menghabiskan waktunya di depan TV.

  • Pergeseran nilai tontonan menjadi tuntunan
Produk per-televisian yang paling laris dan banyak menyedot pemirsa adalah sinetron religi yang secara umum banyak memunculkan berbagai kontroversi di dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan sinetron religi banyak mengandung pelanggaran terhadap syariat, norma dan moral agama. Bahkan, ia menggeser habis-secara perlahan-peradaban bangsa dan karakter umat. Sehingga tuntunan agama menjadi tontonan dan tontonan menjadi tuntunan atau pengganti ajaran agama. Bahkan, keyakinan mereka terhadap akhirat rusak karena terpengaruh oleh sinetron.

  • Tontonan Islami, benarkah???
Tonotonan (yang katanya) Islami yang sering mengumbar agedan yang tidak rasional seperti acara-acara misteri yang dibungkus dengan islami pada dasarnya telah merusak pondasi aqidah, dengan pertimbangan:
§ Banyak menonjolkan tema yang berbau khurafat dan takhayul.
§ Menumbuhkan rasa takut kepada selain Allah.
§ Menggiring manusia untuk tidak bergantung kepada selain Allah
§ Menodai kehormatan dan kesucian Islam
§ Penghancuran akhlak manusia.

  • Televisi melumpuhkan kemampuan berpikir kritis
Dharma Singh Khalsa, penulis buku ”Brain Longevity” adalah seorang dokter yang membuka praktik latihan mental untuk memelihara usia otak. Ia pernah menceritakan bahaya menonton TV dalam hubungannya dengan kesehatan otak. TV menjadikan otak pasif, melumpuhkan kemampuan berpikir kritis dan merusak terutama sekali kecerdasan spacial pada otak sebelah kanan. Tetapi bahaya yang paling besar dari TV ialah mengalihkan perhatian orang dari membaca.

Efek TV lainnya yang menakutkan dan juga efek kesibukan kita yang sibuk, ialah sekarang ini terlalu sedikit orang yang punya waktu untuk membaca. Membaca, menurut peneliti neurologis sangat menguntungkan otak. Tentu saja banyak bahan bacaan yang memperkaya secara intelektual, tetapi semata-mata membaca saja, tidak jadi soal apa isinya, sangat bermanfaat. Membaca memerlukan keterlibatan aktif pikiran dan imajinasi. Membaca sangat merangsang kedua belahan otak dan juga sistem limbik.

  • Merebaknya fatamorgana kebebasan
Semakin melebarnya jurang pemisahan antara urusan ibadah dan dunia. Dimana urusan-urusan Allah dan Rasul-Nya di onggokkan dalam masjid dan majelis taklim. Sedang pasar, mall, kantor dan sejenisnya dibiarkan jauh dari wahyu. Banyaknya salah kaprah tentang hakikat kebebasan, lebih memuja kebebasan dari belenggu ”ikatan Rabbani” meski terbelenggu oleh ”ikatan syaithan”.

  • Benih kekerasan ”Smackdown”
Perkelahian yang tampil di ”smackdown” adalah pekelahian pura-pura yang direkayasa. Namun yang tampil di layar sangat realistis. Disinilah masalah muncul. Apakah hasil rekayasa atau sungguhan, apa yang muncul di layar, yang dilihat oleh penonton, dianggap sesuatu yang realistis oleh penonton dan ini bisa menimbulkan dampak bagi penonton, yakni merangsang agresivitas penonton. Terutama bagi anak-anak dan remaja yang belum kritis menggunakan media, tayangan semacam ini berpotensi untuk membuatnya meniru aksi-aksi kekerasan yang dilihatnya di layar.

  • Globalisasi pornoaksi di Televisi
Inilah lagi bukti betapa hukum memang susah betul ditegakkan di negeri ini. TV menampilkan adegan cabul! Adakah sanksi untuk penayangan yang dapat berakibat buruk di masyarakat ini? Tidak. Stasiun TV-nya hanya minta maaf! Persoalan pun selesai. Yang disayangkan pula KPI-Pusat (Komisi Penyiaran Indonesia-Pusat) hanya menegur dan tidak melakukan upaya lebih jauh dalam menindak pelanggaran-pelanggaran yang ada.
Hal ini menakutkan, karena kepada siapakah sebenarnya masyarakat harus berharap untuk melindungi dirinya dari dampak pornografi? Beban untuk memikirkan ini tampaknya masih ada pada masyarakat penonton yang harus pintar-pintar memilih isi siaran yang aman untuk keluarga.

  • Melemahkan perkembangan kognitif anak-anaK.
Televisi sebagai baby-sitter tampaknya tidak masalah. Namun berbagai penelitian dan berbagai fakta menyebutkan ”meletakkan” anak-anak apalagi dalam usia dini sangat berbahaya baik dari fisik maupun psikis. Apalagi dalam waktu yang panjang, bisa mencapai 6-jam sehari. Bagi anak-anak di bawah 3 tahun, menonton TV terlalu dini bisa mengakibatkan proses wiring - penyambungan antara sel-sel syaraf dalam otak - menjadi tidak sempurna.
Pada anak-anak yang lebih besar, berpengaruh pada kelambanan berbicara. Ini terjadi karena aktivitas menonton TV tidak menggugah anak untuk berpikir. Apa yang disajikan TV sudah lengkap dengan gambar dan suara. Sudah banyak penelitian menyebutkan, semakin sering anak mengkonsumsi TV, semakin sama nilai yang dianutnya dengan tayangan-tayangan dari TV.

  • Mesin penggerak identifikasi remaja
TV menyodorkan berbagai acara untuk menciptakan ketergantungan pada remaja, sehingga remaja Indonesia –khususnya- cenderung dipaksa bukan menjadi dirinya melainkan menjadi menurut kehendak kepentingan TV. Hal ini menjadikan remaja menjadi pribadi-pribadi yang lentur, tidak mempunyai pengalaman empirik untuk meletakkan empati sosialnya. Kenyataan sosial disekitarnya telah dikompres oleh media TV dengan mereduksi kekayaan kemungkinan dan nilai yang terkandungnya. Demikian pula dalam pola pembentukan tipe idealitas, TV bisa menjadi pelaku atau sekedar agen perantara bagi munculnya konsep-konsep tertentu. Antara lain, perempuan yang cantik adalah perempuan yang berkulit putih, berambut panjang, lurus, dsb.

  • Menghapus jati-diri seorang ibu
Dalam konsep keluarga di Indonesia, kaum ibu adalah kalangan yang paling memiliki ketergantungan pada media TV. Karena posisinya ini pula, kaum ibu mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi. Lihat saja, acara-acara pada jam ibu rumah tangga yang ada di rumah. Di ragam dan jenis iklan-iklan yang ditayangkan sudah biasa diketahui siapa yang menjadi sasarannya. Hampir seharian, seorang ibu bisa menghabiskan waktunya di depan TV.
Dengan karakter dan strategi program atas pengenalan audiens-nya, pengaruh yang diharapkan pada kalangan kaum ibu adalah menjadi konsumen, pelanggan dari semua agenda dan kepentingan yang ditawarkan di dalamnya dan bila sudah tercapai maka harus dibuat agar muncul ketergantungan di dalamnya. Kaum ibu bisa menjadi orang yang kehilangan jati-dirinya, kehilangan ke-percayaan-dirinya, dan rela di ombang-ambingkan oleh situasi di sekitarnya. Dalam kata-kata rayuan, alangkah mudahnya menjadi ibu modern, ibu yang bijak atau ibu yang ,mengetahui keluarganya. Ibu baik dalam konstruk masyarakat dikompres dalam pengertian verbal.

  • Fisik dan mental jadi terganggu
Secara fisik, terlalu banyak menonton TV juga akan mengganggu gerakan otot mata anak. Mata terbiasa melihat lurus dan tidak bisa bergerak-gerak seperti saat membaca buku. Selain mengganggu otot mata, menonton juga mengakibatkan metabolisme tubuh terganggu karena anak cenderung pasif, tidak banyak bergerak. Karena itu, anak-anak yang banyak menghabiskan waktu dengan menonton TV punya kecenderungan mengalami kegemukan. Dari sisi kejiwaaan, iklan dan tayangan yang ditonton anak bisa mendorong anak menjadi konsumtif.
Anak yang senang pada satu tayangan, jadi tertarik memiliki produk tokoh tayangan atau bahkan segala produk yang diiklankan oleh tokoh favorit mereka. Belum lagi kalau bicara soal tindak kekerasan yang banyak diumbar diberbagai tayangan anak. Tak heran bila berbagai penelitian lain lantas menunjukkan bahwa anak-anak yang banyak menonoton TV cenderung lebih agresif dibandingkan dengan anak yang jarang menonton TV. Ini belum termasuk banyaknya kalimat-kalimat negatif seperti makian dan ejekan yang dilontarkan tokoh TV.
Dampak buruk tayangan TV memang tidak terlihat segera pada diri anak. Efeknya bisa jadi baru terlihat belasan tahun mendatang. Kekerapan menonton adegan kekerasan dalam TV akan menimbulkan dampak kumulatif yaitu anak-anak menjadi tidak peka terhadap kenyataan dan konsekuensi kekerasan. Bahkan, mungkin lebih cenderung menganggap kekerasan merupakan solusi dari persoalan kehidupan sehari-hari. Efek buruk lainnya adalah efek ”candu”. Bila sudah nyandu, anak akan menganggap tidak ada kegiatan lain yang lebih asyik dibandingkan menonton TV. Lebih parah lagi, bila efek nyandu ini mengakibatkan anak jadi malas bersosialisasi dengan orang lain.

  • Dangkalnya mekanisme kerja TV
Serba medium adalah fakta lain dari serba dangkal karena sistem dan mekanisme kerja media TV tidak mampu (dan tidak mau) berjalan seiring dengan tingkat akselerasi sosial masyarakatnya. Mekanisme kerja TV tidak memberikan kemungkinan munculnya kedalaman. Para praktisi media TV tidak memiliki kesadaran profesional bahwa efek mediasai yang dilakukan bisa berpengaruh luas pada masyarakat.
Tayangan yang semula dalam konsep dan prasangkanya dipercaya untuk mereduksi (menekan, mengurangi) justru menjadi reproduksi (melipatgandakan). Pada sisi lain, masyarakat, dibimbing oleh teror media, merasa memiliki dalil pembenar karena apa yang dilakukan bukanlah sesuatu yang sendirian. Banyak orang melakukannya. Sementara bagi pihak TV, adanya aturan etis, dengan sanksi moral, bukanlah hal yang menakutkan. Kenapa? Karena aspek moralitas bukan faktor penting bagi praktisi media di Indonesia, atau jika tidak, memang tidak ada moral disitu.

  • Pembentukan masyarakat konsumsi
Kecenderungan ”menggantung” masyarakat dikarenakan oleh karakter TV yang serba cepat dan serba baru. Kehidupan masyarakat akhirnya di daulat oleh pasar yang hendak diciptakan, dengan media sebagai perantaranya. Dalam korelasi ini, masyarakat digantung menjadi masyarakat konsumsi. Masyarakat konsumsi adalah jenis masyarakat yang hanya berposisi sebagai ”pembeli” bukan ”pembuat”. Pembeli hanyalah objek, target sasaran. Dia ditentukan dan bukan menentukan. Apa buruknya masyarakat konsumsi? Bahaya terbesar dari hal itu adalah munculnya masyarakat yang tidak memiliki karakter kemandirian. Ketika tidak ada lagi yang bisa diolahnya untuk menopang daya konsumsinya, maka yang terjadi adalah ketergantungan dan anomali. Masyarakat seperti ini adalah masyarakat yang tidak memiliki ketahanan budaya, tanpa identitas, masyarakat komunal dan beragam. Ia tidak mengenali lingkungannya karena hidup dianggap berpusat pada dirinya, memburu kesenangan pribadi dan mempersetankan kitaran.

  • Pendangkalan karakter kepribadian masyarakat
Bujuk rayu media seolah menawarkan kebebasan dan kesetaraan. Namun semua itu hanyalah rayuan virtual agar masyarakat tidak sadar masuk melangkahkan kakinya ke dalam kesadaran baru, ke gebyar kehidupan baru. Perilaku ini sebenarnya sama sekali bukan atas kehendaknya, melainkan karena proses internalisasi atas teror media yang terus menerus. Sehingga lama-kelamaan, masyarakat akan mengalami penumpulan, pendangkalan dan penyederhanaan. Tidak ada tabiat berargumentasi disana karena memang tidak dibangun. Percakapan tentang kejadian-kejadian di masyarakat dirujukkan begitu saja pada apa yang dilihat dari TV. Sementara itu TV cenderung menggantung masyarakatnya untuk tidak kemana-mana. Hal itu sengaja diciptakan karena terkait dengan keberlangsungan TV itu sendiri.

  • Persaingan kepentingan modal dan moral
Ketika media massa, seperti TV, tunduk pada kepentingan modal, maka kepentingan moral untuk masyarakat bisa menjadi ambivalen. Yang ia lihat, masyarakat adalah sederet rating. Dari situasi masyarakat yang semacam ini, tidak ada yang bisa diharapkan apa-apa untuk melakukan perubahan, kecuali ketertenggelaman menanti. Ia bisa lebih dahsyat dari tsunami karena perlahan menenggelamkan dunia ini dengan manusianya sekaligus. Masyarakat perlu membentengi dirinya sendiri, untuk berani mematikan TV, begitu acara itu tidak bermanfaat secara langsung pada dirinya : bahwa semuanya itu adalah realitas media TV, realitas simbolistik, dan itu beda dengan keseharian kita. Atau kalau berani : bunuh saja TV-mu !!

PUSTAKA ACUAN
ü Al-Qur’an Nur Karim.
ü Saefullah, Ujang.Drs.M.Si. 2007. Kapita Selekta Komunikasi. Bandung: Siomiosa Rekatama Media.
ü Majalah QIBLATI edisi 06 Tahun II – Maret 2007 M / Shafar 1428 H
ü Majalah SABILI. No.24 Th. X 19 Juni 2003 / 18 Rabiul Akhir 1424
ü Majalah UMMI. No.12/XVI April 2005 / 1426 H
ü _____________ edisi 01/XVIII/2006
ü _____________ edisi 12/XVIII/2007
ü Rakhmat, Jalaluddin. 2005. Belajar Cerdas. Bandung : Mizan Learning Centre
ü Wirodono, Sunardian. 2006. Matikan TV-mu!. Yogyakarta : Resist Book.


[1] Tasbeh merupakan alat hitung ketika berdzikir, istilah ini digunakan oleh Orang sunda yang sering menggunakan manik-manik hiasan yang berjumlah 33 sebagai alat untuk hitungan dzikir dalam dzikir setelah shalat (wiridan)
Leave a comment 

0 comments: