25/10/2008

Sisi Lain Potret Jatinangor: "Penonton Di Rumah Sendiri"

Tidak seperti biasanya cuaca Jatinangor siang itu sedikit berawan, ketika Korsum menginjakan kaki tepat didepan gerbang Unpad. pemandangan masih sama seperti hari-hari yang lain. Kemacetan, hiruk pikuk mahasiswa yang kuliah, para pedagang kaki lima yang berjualan dan seabrek kegiatan masyarakat pada umumnya.
Perjalanan Korsum sedikit terhenti ketika melihat seorang ibu tua dengan anaknya yang masih kecil meminta-minta di jalanan tepat di depan gerbang Unpad. Memang pada dasarnya sudah tidak aneh adanya pengemis, kitapun sering menemui di mana-mana. Namun hati nurani Korsum sedikit tersentuh, perasaan iba dan kasihan pada ibu dan anak tersebut mendorong langkah Korsum untuk mendekat. Sambil sedikit ngobrol-ngobrol tentang kehidupan ibu tersebut, kamipun memberi ala kadarnya.
Ternyata kehidupan ibu tersebut sangat bertolak belakang dengan suasana kampus yang disesaki oleh mahasiswa-mahasiswi yang ”sedikit glamour”. Bisa dipastikan orang yang masuk Unpad adalah orang yang berada, sebab mana mungkin –kalau tidak dengan jalan beasiswa- orang miskin bisa kuliah dengan biaya berjuta-juta. Untuk makan saja susah, apalagi untuk bisa (sampai) kuliah.
Ya, seperti yang dialami oleh ibu dua anak yang sedang mengemis ini, sebut saja Yoyoh (50) ”Tos lami ibu didieu, ibu asal ti Jatinangor jang” Jawab dengan sedikit kecapean karena kepanasan ketika Korsum menanyakan asal tempat tinggal dan lamanya mengemis di dekat Gerbang Unpad.
Pikiran Korsum sedikit menerawang jauh, mengenai nasib ibu ini. Sebuah realitas kehidupan yang memang adanya, bahwa ternyata seorang warga Jatinangor sendiri menjadi penonton di rumah sendiri. Warga jatinangor hanya bisa menyaksikan ”kesuksesan” para pendatang.
Perjalanan Korsum pun beranjak ke tempat yang lain, kebetulan salah satu dari kami akan memangkas rambut. Sampailah Korsum pada satu salon besar, Korsumpun masuk dan langsung meminta petugas untuk melaksanakan tugasnya. Sambil dicukur kamipun berbincang-bincang, sebut saja Opay (21) yang bertugas saat ini. Tenyata beliau asli dari Garut yang sudah 2 Tahun mencari peruntungan di Jatinangor. Kehidupan di kampung halamannya yang serba tidak menentu, ternyata menjadi berkah tersendiri. Dengan kerja keras akhirnya dia bisa mendirikan sebuah salon, yang sampai saat ini terus berkembang dan sudah mempunyai dua cabang. ”Alhamdulilah a...tos dua tahun ieu. Ayeuna tos aya dua cabang” Ujar lelaki berpenampilan ramping ini.
Sudah bukan rahasia lagi jika sekarang Jatinangor telah menjadi sebuah kecamatan maju. Dengan berdirinya empat perguruan tinggi besar seperti STPDN, IKOPIN, UNWIM, dan UNPAD Jatinangor yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai “Kawasan Pendidikan”, selain itu juga memang berdiri bangunan-bangunan sekelas Mall Metropolitan yaiu Jatinangor Town Square dan Padjadjaran Plaza.
Itulah satu potret kehidupan Indonesia saat ini. Menjadi penonton di rumah sendiri sepertinya bukan lagi sebuah keanehan. Dikota-kota besar lainnya pun seperti itu adanya.
Ketika kami berbincang dengan Sekretaris Camat Jatinangor, A Beni Triyade yang Korsum temui di ruang kerjanya (23/10) memang tidak bisa menafikan fenomena menjadi kebanyakan masyarakat Jatinangor menjadi penonton di ”rumahnya” sendiri. ”Ini fakta, tidak sedikit dari masyarakat Jatinangor yang menjadi ”penonton”. Ini terkait dengan SDM juga” Ujar Beni.
Memang akhirnya kembali pada masyarakat sendiri. SDM pada masyarakat yang lemah hanya akan menjadikan masyarakat terpinggirkan walaupun dirumah sendiri (dan dimanapun). Namun apakah tidak ada upaya dari pemerintah untuk memperhatikan nasib-nasib rakyat yang kurang beruntung.
1 comment 

1 comments:

Anonim mengatakan...

saya hanya ingin menambahkan jika memang anda seorang mahasisawa atau yang mempunyai kepentingan di Unpad seharusnya anda menyadari bahwa di Unpad ada 2 sistem penerimaan yaitu SMUP/jalur khusus dan SPMB/formal. dengan jalur SpMB terbuka lebar bagi semua orang yang mempunyai kemampuan namun terkendala dengan materi untuk dapat memperoleh pendidikan.jika anda mengetahui hal ini saya rasa anda tidak akan menyebutkan bahwa mahasiswa unpad serba 'Glamour' karena dapat dilihat jika memang mahasiswa tersebut berekonomi lebih maka ia tidak akan masuk melalui gerbang yang ada pengemisnya (gerbang Unpad Selatan) melainkan gerbang utara(Kiara Payung)karena jalur kendaraan pasti disana, cara membedakan mahasiswa berekonomi keatas dapat dilihat dengan penuhnya parkiran di fasilitas tiap fakultas, dan di Unpad Fakultas yang penuh dengan kendaraan khususnya kendaraan beroda empat dapat dihitung antara lain FKG, yang memang dapat dikatakan mayoritas mahasiswa tersebut mampu karena biaya praktikum juga lumayan besar. namun, tidak seperti fakultas lain yang hanya diisi oleh kendaraan beroda dua, itu pun berplat daerah yang dengan kata lain dikirim dari tempat mereka berasal bukan membeli baru, ditambah ramainya sekumpulan mahasiswa yang mengantri setiap pagi untuk mendapatkan angkutan yang mengantar mereka ke tiap fakultas dengan biaya yang sangat murah bahkan ada yang gratis. beralih ke soal pengemis, dalam bermasyarakat dikenal adanya status.seseorang yang lebih unggul menopang yang lemah dan yang lemah menciptakan sesuatu agar dapat bersaing untuk berpindah status, dan ini juga dialami di setiap negara baik berkembang maupun maju, ketidakmampuan seseorang dalam bersaing menjadikan seseorang kalah dalam menempatkan posisi di masyarakat. kurangnya kesadaran yang menjadi alasannya mereka untuk berjiwa miskin. namun kesemuanya itu masih sangat beruntung karena negara kita tidak menganut sistem ekonomi kapitalis, tidak bisa kita bayangkan jika negara ini seperti itu.padahal pemerintah sudah banyak menyediakan fasilitas antara lain beasiswa, bantuan operasional sekolah(BOS), bahkan sampai study banding ke luar negeri dengan jaminan hanya kemampuan. tinggal bagaimana dari kita menanggapi hal tersebut sebagai hal yang positif bukan hanya dianggap sebagai permainan elite politik dan berpikir orang-orang ekonmi ke atas yang bisa mendapatkannya yang menjadikan kita berperilaku pesimis dan berjiwa pecundang yang terus menyalahkan pemerintah.dan berdasarkan fakta yang saya lihat ketika ada Pasar Unpad di hari minggu masyarakat setempat menjadikan mengemis sebagai profesi hal itu dapat dilihat ditiap gang-gang yang ada di Jatinangor mereka mengganti pakaian mereka yang kusuh dengan pakaian bersih untuk kembali ke pemukiman mereka, tentunya ini menimbulkan kontra bahwa ini hanya kedok belaka. sebagai daerah perbatasan(sub-urban)yang juga menjadi daerah penyanggah ibukota pastinya mengalami tindak kriminalitas serta kemiskinan yang tinggi akibat kurangnya perhatian pemerintah daerah terhadap fasilitas. Unpad dan perguruan tinggi sejenis yang ada di Jatinangor justru ingin memajukan pola pikir masyarakat agar tidak menjadi daerah yang tertinggal. study-study mahasiswa tentang Jatinangor yang juga melibatkan masyarakat dapat dijadikan alasan untuk memajukan daerah ini. alasan Unpad pindah ke Jatinangor adalah agar tidak mendapatkan intervensi politik dari pemerintah, dan sebenarnya daerah tersebut akan terciprat manfaatnya juga, sangat banyak bukan hanya menimbulkan kesenjangan sosial, seperti contoh Depok,daerah yang memiliki otonomi akibat berdirnya UI setelah berpindah dari Cikini.jadi saya harap anda bisa menilai sebuah struktur masyarakat dengan menganalisa secara keseluruhan bukan bagian per bagian.