Sejarah mencatat tanggal 28 Oktober 1928, beberapa wakil organisasi pemuda berkumpul untuk mengadakan satu kongres. Kongres yang digagas oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) itu diikuti oleh beberapa organisasi yang tercatat diantaranya Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, dll. Adapun tujuan kongres tersebut seperti yang diungkapkan oleh ketua PPI, Soegondo dalam sambutan pembukaan kongres tersebut adalah untuk memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. (Wikipedia eksiklopedia bahasa Indonesia).
Dari sanalah awal mula tercetusnya sumpah pemuda. Pada massa itu dengan latar belakang sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan yang berbeda. Seluruh pemuda yang terhimpun dalam sebuah organiasasi melebur menjadi satu yaitu tekad untuk bersatu. Pengorbanan tersebut tercermin dalam ikrar bersama-sama, yang sering berbunyi: “Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe, Tanah Indonesia. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa Indonesia. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia.” (Sebagaimana bacaan asli)
Satu pengorbanan yang mungkin pada waktu itu kecil jika diukur oleh sebuah materi sebab dengan mengorbankan pelbagai kepentingan yang ada. Namun dari sanalah sejarah emas ada yang sampai saat ini diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda.
Dan tepat tanggal 28 Oktober 2008 nanti, kita akan memperingati seratus tahun ikrar pemuda-pemudi Indonesia itu. Satu catatan kecil yang coba penulis sajikan sebagai bahan perenungan (kotemplasi) bersama. Dalam tulisan ini, Penulis memberikan perspektif peristiwa sumpah pemuda tersebut dari kaca mata mahasiswa.
***
Quo Vadis Mahasiswa? Antara Cita dan realita
Siapa yang tak kenal dengan sosok mahasiswa. Bagi sebagian masyarakat, ketika mendengar kata mahasiswa yang terbayang adalah sosok yang energik, progresif, intelektualis, dan kritis. Memang tidak salah jika frame yang muncul seperti itu karena mahasiswa adalah kaum intelektual muda. Sebagai kaum intelektual, mahasiswa selain bergulat dengan pelbagai penjamahan ilmu pengetahuan juga progresif dalam memperjuangkan nilai-nilai universal kemanusiaan seperti keadilan, kebenaran, kebijaksanaan, dan objektivitas.
Oleh karenanya dalam pergerakannya, mahasiswa haruslah selalu berpegang teguh pada nilai-nilai di atas. Karena itulah yang menjadi nilai idealisme mahasiswa. Melalui kemampuan intelektual yang dimiliki itulah mahasiswa mampu memikul dan mengakomodasi harapan dan idealisme masyarakat yang kemudian terserap dalam ide dan gagasannya yang akan diejawantahkan dalam aksi nyata. Dan dengan kekuatan dan semangat dasar perjuangan yang dilandasi oleh ide dan gagasan yang tercerahkanlah peristiwa sumpah pemuda muncul.
Namun jika melihat realitas ssaat ini, sepertinya telah terjadi kekurangajaran. Fakta tak pernah hadir dengan wajah yang dusta, nilai-nilai (idealisme) yang dulu dipegang teguh sebagai nilai dasar perjuangan perjuangan pendahulu kita sedikit demi sedikit telah luntur dan terkikis.
Kita melihat dan mendengar bagaimana media massa telah bombastisnya memberitakan tawuran antara mahasiswa salah satu PT dengan PT yang lain. Demo-demo yang tidak menyalahi aturan sehingga cenderung mengarah pada tindakan anarkis, amoral, kontraproduktif bahkan pidana. Lalu jika seperti itu keadaannya, benarkan si Agen Sosial of change ini telah kehilangan nilai-nilai idealismenya?
Jika kita tarik lurus dari pertalian peristiwa sumpah pemuda dan realitas (pergerakan) mahasiswa saat ini. Setidaknya ada dua point catatan penting yang harus kita renungi yang mudah-mudahan menjadi(kan) spirit (mahasiswa) untuk menjadi dasar pada setiap perjuangan dan pergerakan menuju ke arah yang lebih baik.
Pertama, menjadikan intelektual dan moralitas sebagai modal dasar. Yang menjadi ciri khas pergerakan pemuda pada Konggres Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 adalah dengan menjadikan intelektual dan moralitas sebagai modal dasar pergerakan. Maka tidak heran jika dari ikrar persatuan tersebut kemerdekaan dapat diraih bangsa Indonesia, sebab pada dasarnya pengangkatan senjata bukan modal utama dalam merebut kemerdakaan itu, namun pemanfaatan intelektual dan morallahyang menjadi motor penggerak pengangkatan senjata yang pada akhirya kemerdekaan dapat diraih.
Sebab modal tersebut menuntut mahasiswa untuk tampil pada garda terdepan sebagai agen pembaharu (agent sosial of change). Pada akhirnya kesadaran akan wawasan kebangsaan itulah yang mengharuskan mahasiswa berjuang secara holistik, menyeluruh dalam perspektif kerakyatan, solidaritas, dan keadilan sosial.
Kedua, Pesan sumpah pemuda kepada –meminjam istilah group Slank untuk menyebut generasi era globaliasasi sekarang ini- generasi biru adalah memberikan kesadaran akan pentingnya persatuan dan kesatuan. Kesadaran bahwa pada masa itu perjuangan secara parsial-kedaerahan ternyata telah menemui kegagalan. Oleh karena itu usaha menggalang persatuan dan kesatuan seluruh elemen masyarakat merupakan sebuah keniscayaan. Dengan semangat kesadaran akan pentingnya persatuan dan kesatuan inilah waluapun secara factual-objektif masyarakat Indonesia terdiri dari pluralitas suku, ras, agama, budaya dan bahasa dapat meraih kemerdekaan.
Oleh karenanya, walaupun memang saat ini bukan jamannya angkat senjata dan baku tembak dalam melawan penjajahan. Nyatanya ancaman bangsa ini sudah didepan mata. Secara tidak kita sadari dengan banyak permasalahan yang mengarah pada ancaman disintegrasi bangsa adalah musuh nyata kita saat ini. Ditambah hal tersebut ternyata banyak dilakukan oleh mereka yang berkuasa dan yang tercerahkan (bisa juga dibaca: mahasiswa) yang semestinya menjadi figur teladan dan agen sosial of control. Aksi KKN yang semakin merajalela, Benih-benih individualisme, rendahnya tanggung jawab sosial, sikap egois, eksklusivisme kelompok dan pelbagai ancaman lainnya telah menjadi ancaman besar bagi persatuan dan kesatuan bangsa saat ini.
Permasalahan multidimensional bagaikan tumor yang secara perlahan-lahan mampu menggerogoti dan merontokan nilai-nilai ”keindonesiaan” (baca: ketimuran) yang dulu melekat dan diperjuangkan sebagai dasar perjuangan pendahulu kita. Mungkin kita bertanya, untuk saat ini dimana lagi kita akan menemukan keadilan, solidaritas, toleransi, gotongroyong. Sepertinya di Indonesia telah menjadi barang langka dan mahal.
Disaat kondisi inilah dibutuhkan rasa persatuan dan kesatuan. Sebab menurut F.Magnis Suseno, tantangan bangsa saat ini terangkum dalam tiga pokok persoalan yaitu, tantangan untuk mempertahankan negara kesatuan, tantangan untuk mewujudkan solidaritas-keadilan sosial dan tantangan untuk mewujudkan demokrasi, di dalam negara hukum yang menghormati HAM (VOX Seri 44/1,2/2000).
Dan dalam konteks inilah peranan mahasiswa sangatlah besar dalam upaya revitalisasi nilai-nilai dasar perjuangan para pendahulu kita. Mudah-mudahan Peringatan hari Sumpah Pemuda kali ini menjadi momentum untuk bangkit dan memperbaiki diri tidak sekedar menjadi seremonial dan bahan refleksi belaka. Namun lebih dari itu menjadi pembaharuan bagi mahasiswa dalam upaya menghidupkan kembali semangat dasar yang telah ditanamkan oleh pendahulu. Semoga saja.
*. Penulis adalah Ketua Senat Mahasiswa Fidkom UIN SGD Bandung, aktivis HMI Cab. Bandung dan pengelola:www.oki-sukirman.blogspot.com
25/10/2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar