Aneh betul para wakil rakyat di Negara Indonesia ini. Sebut saja salah satunya adalah DPR (yang katanya) Dewan Perwakilan Rakyat, yang mana mereka mewakili segalanya rakyat-rakyatnya, ya kepentingannya, ya aspirasinya, ya penderitaannya dan ya-ya yang lainnya. Namun justru segalanya itu tak terwakili pada tidak-tanduknya, bahkan semua perilakunya –kalau tidak disebut jauh- kurang benar-benar mewakili rakyat atau kalau dalam pribahasa mereka itu jauh panggang dari pada api. Alih-alih mewakili kepentingan rakyatnya, nyatanya DPR tak lebih dari memperjuangkan untuk kepentingan pribadi-pribadi, kesenangan diri sendiri, dan kelompoknya.
Maka tak salah jika Gus Dur saja menyindir para anggota DPR tak lebih seperti taman kanak-kanak. Jerit-menjerit penderitaan rakyatnya di luar gedung DPR dengan penuh kesusahan dan penderitaan, eh para wakil rakyat yang ada di DPR Cuma bisa tidur-tiduran dan leha-leha yang Cuma setor muka untuk dapat uang duduk belaka. Ya, kebanyakan para wakil rakyat tersebut malah asiknya dengan kenyamanannya sendiri.
Contoh konkrit saja, misalnya tentang pembelian laptop bagi setiap anggota DPR, renovasi gedung DPR yang sebanarnya jauh dari kata tidak layak pakai dibandingkan dengan rumah-rumah rakyatnya yang memang jauh dari kata layak pakai. Bahkan gedung DPR itupun dibentengi dengan benteng sebagai pagar pembatas yang sangat kokoh dan tinggi, yang bisa saja kita tafsirkan sabagai sebuah pembatasan. Bahwa yang ada di dalam gedung itu mahluk-mahluk istimewa dan yang di luar gedung itu adalah rakyat biasa. Bisa jadi para anggota DPR tersebut –ga tau pura-pura atau memang nyata- amnesia bahwa gedung tersebut adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Maka dari tesis tersebut tentunya rakyat bisa dengan leluasa untuk menyatakan atau memberikan masukan atas segala kinerja dan keluhan-keluhan tanpa harus menemui jalur birokrasi dan keprotokoleran yang justru ribet dan mempersulit.
Tak sampai disana, bahkan baru-baru ini para DPR seperti terjangkit syndrome “study banding” bahkan parahnya virus itu dari tahun ke tahun sepertinya tak menemui jalan akhir, dengan dalih study banding -yang mungkin tidak teramat penting itu- para wakil rakyat itu semena-mena plesiran dengan menggunakan uang Negara. Nyatanya dengan dalih aji mumpung para keluarga pun mereka ajak bersama ke luar negri.
Sebenarnya jika kita berpikir lebih jernih dan cermat, study banding tersebut tidak saja kurang efektif bahkan seperti menghamburkan uang yang di illegalkan bahkan tidak dengan biaya yang sedikit pula. Juga jika kita berpikir lebih –meminjam istilah B.J. Habibie- Hightech, study banding tersebut mengabaikan azas kemajuan teknologi. Sebab pada sejatinya dengan kemajuan teknologi di era informasi dan komunikasi ini, apa sih yang susah? Untuk study banding, ganti saja dengan duduk di depan computer lalu dengan internet kita bisa browsing dengan tanpa batas. Toh itu sama saja substansinya dengan study banding yaitu mempelajari dan membandingkan konsep, tanpa harus keluar negri sekalipun sebenarnya bisa
Raport Merah Anggota DPR
Dari gambaran diatas memang kinerja pada wakil rakyat tersebut jauh dari harapan bahkan nilainya merah. Termasuk dalam pembuatan undang-undang yang mana merupakan domain legislative / DPR. Analisis penulis kaitannya dengan pembuatan undang-undang ini, para anggota DPR sepertinya membuat undang-undang atas dasar suka-suka gue, produk undang-undang di Indonesia seperti tidak mempunyai nilai kesakralan sebab dibuat dengan asal-asalan, bahkan kadang dibuat dengan tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan “produk” yang dibuat sebelum. Wal hasil tumpang tindihlah yang jadi, antara undang-undang dengan peraturan yang berada dibawahnya terjadi disharmoni bahkan bertolak belakang dan sampailah ke meja MK untuk judicial review /peninjauan kembali. Maka Dengan seringnya Mahkamah Konstitusi mengabulkan judicial review / uji materil, menandakan anggota DPR tidak dengan serius merumuskan draft bahkan mungkin tidak melibatkan pada pakar untuk menghasilkn draft akademik yang koheren dan konsisten.
Banyak undang-undang yang bertentangan dengan peraturan yang berada dalam hirarkie dibawahnya, mencerminkan bahwa para anggota DPR dalam merumuskan undang-undang ini terkesan asal-asalan tanpa mempertimbangkan sana-sini. Bahkan dalam perumusan undang-undangpun DPR terkesan menghindari debat public dan dengan diam-diam menyelundupkan pasan-pasal “pesanan” yang penuh dengan deal-dealan.
Kecurigaan ini wajar adanya. Sebab bukan hal yang baru bahwa ada negosiasi-negosiasi dan transaksi dalam pembahasan undang-undang oleh DPR di parlemen. Kasus nyata adalah seperti Surat Ketua BPK, Anwar Nasution pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang pengeluaran dana RP. 31,5 Miliar ke DPR yang terkait dengan pembahasan UU Bank Indonesia [Editorial Media Indonesia, 14/01].
Dan Montesqiu-pun Menangis.
Jika saja Montesqiu masih hidup, tentu ia akan menangis tersendu-sendu dengan hati yang kesal dan gemas. Betapa tidak apa yang menjadi buah pikirannya tentang Trias politika, yang mana dijalankan di Indonesia memang jauh sekali dari inti ajarannya.
Legislative yang mana bertugas pembuat konstitusi / undang-undang mestinya membuat undang-undang tersebut atas dan dengan dasar kepentingan rakyat. Eksekutif pun harus mampu menjalankan dan melaksanakan amanat rakyat yang tertuang dalam konstitusi tersebut dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggungjawab. Dan yang terakhir Yudikatif yang sejatinya mengawasi para pembuat dan yang menjalankan konstitusi / Undang-Undang jika saja mereka menyalahi dan keluar dari jalur yang telah ditentukan, bukannya yudikatif sendiri yang melanggar dan melakukan tindakan yang menyalahi tersebut.
Negara Indonesia memang masih jauh dari konsep dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Walaupun sebenarnya jalan dan tata caranya sudah –menuju dan- menyerupai ke sana. Contohnya dengan melibatkan rakyat secara langsung dalam menentukan pemimpin sesuai dengan pilahannya. Namun pada dasarnya domain-domain kenegaraan yang lebih penting yaitu atas nama kepentingan rakyat semuanya –masih- terabaikan.
Hidupkan (kembali) hati nurani wakil rakyat.
Permasalahan yang mendasar dari masalah-masalah ini adalah beranjak dari hati nurani. Hati nurani para wakil rakyatlah yang –kalau tidak mau dikatakan mati- sedang tidur terlelap. Hal ini menyebabkan mereka imsomnia pada tugas dan kewajiban utama mereka pada rakyat –dan bukan menyibukan diri pada tuntutan hak-. Adalah kewajiban kita bersama untuk saling mengingatkan dalam rangka tawasabil haqi watawa saubil sobri, agar hati nurani para wakil rakyat tersebut lebih sensitive dan lebih peka terhadap penderitaan rakyat yang mana merupakan yang diwakilinya.
Karena jika saja keadaan para wakil rakyat seperti ini terus. Yang dengan embel-embel “wakil rakyat” para wakil rakyat tersebut berjalan sendiri-sendiri, bahkan seperti terkesan berjalan –meminjam istilah dalam gaya renang- dengan gaya katak (menyingkirkan orang lain). maka satu-satunya jalan adalah kenapa tidak Recall saja pada wakil rakyat itu?.
Hanya saja kita –para rakyat- tidak punya (ke)kuasa(an) itu hal itu –merecall-. Karena yang mempunyai kuasa “recall-recallan” para wakil rakyat tersebut adalah partai yang diwakili dan inilah yang menjadi keanomalian berikutnya yang ternyata sssttt…mereka itu wakil partai bukan wakil rakyat.
Lalu bagaimana caranya? Oia, begini saja nanti pas Pemilu 2009 mendatang, mau tidak mau dan suka tidak suka, kita jatuhkan saja mosi tidak percaya pada partai-partai yang memiliki kader-kader yang lebih setia pada partainya ketimbang rakyat dan partai yang selalu habis-habisan memperjuangkan hak-hak partainya ketimbang kewajiban mereka para rakyat.
Maka akankah para anggota DPR itu masih saja seperti kumpulan taman kanak-kanak. Kita lihat saja dengan kritikan ini semoga saja mata mereka tidak buta, telinga mereka tidak tuli, dan nurani mereka tidak tertidur –bahkan mati-. Rakyat tidak butuh dengan “mulut-mulut” yang hidup sampai berbusa tanpa ada bukti. Kami butuh bukti bukan janji. Itu saja.
2 comments:
Secara pribadi berita mengenai DPR merupakan salah satu berita yang sangat saya benci. Kemana urat malu mereka, ? Memang jika sudah bermain lumpur pasti kita tidak bisa terhindar dari kotor. Politik memang dunia kerja manipulasi rakyat yang sangat kotor. Jika sudah begini kembali rakyat di rugikan. Semoga bangsa ini akan cepat belajar dewasa arti demokrasi yang tidak hanya menuntut hak, tetapi juga memenuhi kewajiban.
Nice posting, keep fighting.... !!!
__________________________________________
Easy money easy job, dibutuhkan pekerja keras dan smart
http://www.newinvestasi.com
Lowongan cari kerja | Penghasilan menjajikan via internet
http://www.go-kerja.com
mikiran nagara wae ki, teu rieut??
Posting Komentar