Menarik sekali mengamati perkembangan perpolitikan di Indonesia saat ini. Wajah demokrasi –dimaknai kebebasan mengeluarkan pendapat dan hak untuk berserikat- selalu mewarnai segala pola politik di negri ini. Partai politik menjelang perhelatan politik paling akbar di Negara dengan 200 juta jiwa penduduk ini merupakan lembaga layaknya “kawah candradimuka” yang siap melahirkan para politikus-politikus ulung. Sebab tidak bisa dinafikan bahwa partai politik merupakan kendaraan utama untuk berlaga di kancah perpolitikan nasional.
Partai politik merupakan salah satu variabel yang mempunyai “(ke)kuasa(an)” untuk melahirkan pemimpin-pemimpin. Maka praktis rakyat harus memilih parpol tertentu yang (mungkin) bisa mewakili aspirasi dan kepentingannya. Sebab tidak bisa diingkari bahwa banyak para wakil rakyat tersebut banyak berasal dari kepartaian –yang memang selain dari kepartaian, ada juga perwakilan dari daerah-daerah (DPD)- namun tetap poros kekuatan politik (masih) berada pada wakil rakyat dari partai politik.
Sebenarnya walaupun pada prateknya, saat ini rakyat memilih para pemimpinnya secara langsung, namun yang tidak bisa dielakan adalah bahwa pemimpin-pemimpin yang dipilih tersebut adalah berasal dari kepartaian, walaupun tesis calon independent - yang bisa mencalonkan diri tanpa harus melalui parpol- masih dalam perumusan dan perdebatan, namun tetap parpol merupakan “pendidikan politik” yang hingga saat bini dianggap terbaik.
Maka saban pemilu atau jauh-jauh sebelum pemilu dilaksanakan parpol seperti menyibukan diri untuk menarik simpati dari rakyatnya. Tujuannya Cuma satu yaitu ketika pemilu merasih suara tarbanyak dan mendulang kemenangan. Dan jalan menuju sanapun bermacam-macam, seperti salah satunya dengan merekrut artis menjadi kader partai.
Partai politik sepertinya “tergoda” dengan “goyangan” para artis, tertarik dengan kiprah kepopuleran di mata rakyat, sehingga dengan menjadikan artis sebagai icon partainya, harapannya rating partainya bisa mendongrak dan kecipratan popular. Misalnya Apa yang dilakukan oleh PDIP dengan merekerut Rana Karno yang diikuti oleh adiknya Suti Karno dan yang dilakukan oleh Rieke Dyah Pitaloka -yang menyebrang dari PKB-. Memang benar, bukan saja PDIP yang menggunakan daya tarik “goyangan” para artis untuk mendongrak kepopuleran partainya, jauh sebelumnya banyak partai lain juga yang menjadikan artis-artis sebagai daya tarik Marisa Haque yang berpindah dari PDIP ke PPP, lalu PAN dengan Dede Yusufnya adalah contoh nyata keterlibatan artis dalam partai politik, bahkan dalam Pilkada-pilkada disetiap daerah sekalipun rupanya peran artis dalam kampanye-kampenye pada calon tidak bisa kita elakkan.
Penulis memandang dengan tempuhan jalan instan yaitu merekrut artis sebagai bagian dari partai untuk meraih simpati rakyat merupakan indikasi kegagalan partai dalam proses pengaderan yang tidak berkesinambungan dan konsisten membina anggota yang berdaya jual dimata rakyat. Kenapa penulis katakan jalan instan? Sebab –bisa sebuah keraguan- bagaimana mungkin artis yang notabenenya hidup dengan penuh glamour dan hedonisme, dalam waktu yang sekejap memangku tanggungjawab dengan landasan ideology partai yang bersangkutan.
Namun yang perlu dicatat adalah bahwa kebijakan partai ini selain memberi keuntungan pada partai dan artis dengan “alih profesi” sepertinya -kalau tidak mau dikatakan tidak- belum dibarengi dan berpengaruh pada percepatan kesejahteraan rakyat. Bisa dikatakan “jalan pintas” ini langkah win-win solution antara artis dan parpol.
Namun yang perlu disayangkan adalah dalam proses pembangunan kedewasaan dalam demokrasi ini dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat tidak bisa dibangun dengan fondasi yang rapuh. Partai politik yang melibatkan artis yang hanya sebagai vote getter belaka seperti membangun pondasi yang rapuh, buktinya praktis artis yang masuk partai tertentu mendapatkan tempat dan kedudukan yang lumayan penting di partai tersebut. Hal ini bisa berekses negative kepada kader-kader yang lain yang memang merintis dengan “menghambakan pada proses” dan bersusah payah dalam menggapai kedudukan tertentu.
Maka dengan tulisan ini mudah-mudahan menjadi –sekedar- cubitan baik bagi partai politik dan artis yang terlibat dalam kepartaipolitikan. Bagi partai politik semoga saja dalam proses pembangunan demokrasi ini, membangun dengan political education yang “menghambakan” pada proses ketimbang hasil. Hasil yang didapatkan dengan instant –walaupun tercapai keinginannnya- tidak akan bertahan lama dibandingkan dengan hasil yang didapatkan dengan proses -walaupun didapatkan dengan berkali-kali- akan menciptakan sebuah kultur yang kuat.
Dan tentu bagi para artis yang “beralih karir” semoga dengan keraguan dan pandangan sebalah mata penulis ini menjadi cambukan untuk berkarya atas nama dan dengan rakyat. Jangan sampai artis-artis yang -justru beruntung- menjadi wakil rakyat kelak, malah lupa dan terlibat dalam “politik berjamaah yang kotor” yang membohongi rakyat.
Terakhir bagi rakyat-rakyat seperti saya ini, jangan pernah riasu dan tertipu oleh “goyangan” para artis. Kita percaya bahwa artis-artis yang terjun ke dunia politik ini - meminjam istilah Ari Sujito, seorang pengamat politik dari UGM Yogyakarta- hanya sebuah “pertujukan politik belaka”. Kita tunggu saja sepak terjang partai politik yang menggunakan tenaga para artis, dan para artis yang melibatkan diri pada partai politik.. Saat ini rakyat butuh bukti bukan janji, butuh tebar aksi ketimbang tebar pesona belaka.
0 comments:
Posting Komentar