“Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk indonesia raya”. Penggalan lirik lagu kebangsaan Indonesia karya Wage Rudolf Supratman ini tak asing lagi ditelinga Masyarakat Indonesia. Setiap upacara dan kegiatan-kegiatan formal kenegaraan atau yang lainyalagu tersebut sering dinyanyikan. Tapi apakah kita pernah merenungi sejenak pesan yang terkandung dalam kalimat tersebut?
Ada yang menarik untuk dikritisi dengan pendidikan kita saat ini kaitannya dengan output (hasil) yang dirasakan. Bukan rahasia lagi jika realita saat ini, tujuan pendidikan indonesia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa belum sepenuhnya tercapai.
Pendidikan sebagaimana kita ketahui dan rasakan merupakan sebuah entitas penting bagi hidup manusia. Tanpa pendidikan, maka manusia saat ini tak jauh berbeda dengan keadaan pendahulunya pada jaman purbakala. Asumsi ini melahirkan sebuah teori yang ekstrim, bahwa maju mundurnya suatu bangsa akan ditentukan oleh keadaan pendidikan yang dijalani bangsa tersebut.
Pendidikan merupakan proses mulia yang tidak saja tuntutan hidup bagi manusia yang merupakan anjuran Allah SWT dengan jaminan menaikkan beberapa derajat disisi-Nya (Q.S. Al-Mujadalah:12), namun juga sebuah tuntutan hidup untuk saat ini yang tidak bisa ditawar lagi.
Sejatinya, pendidikan merupakan jalan keluar untuk menciptakan karakter yang tangguh, berbudaya tinggi dan memiliki mul-tiple intelegencia yang saling mengisi. Juga menjadi kekuatan untuk mengubah ketakberaturan ke arah keteraturan, kebobrokan moral ke arah mahasin al-ahlaq, kekeringan spiritual ke arah power spiritualism –bukan bigoted of spiritualism. (Lihat Fahd Pahdepie, 2006).
Namun realitas tak pernah muncul bersama wajah dusta. Kita lihat bersama berapa banyak manusia-manusia yang “berpendidikan” hadir dengan wajah yang menampakkan karakter dan “wajah” yang (seolah) “tak berpendidikan”. Bukankah korupsi besar-besaran –yang telah menjadi penyakit akut bangsa indonesia ini- dilakukan oleh manusia-manusia berdasi yang berpendidikan tinggi. Dengan realitas tersebut, memunculkan hipotesa sementara, bahwa –mungkin- ada yang salah dengan pendidikan di Indonesia saat ini. Lalu muncul sebuah pertanyaan, apa yang salah dengan pendidikan kita?
Pendidikan di indonesia dari mulai dasar sampai perguruan tinggi jelas mempunyai kurikulum yang sungguh “mulia”. Namun yang menjadi kelemahan dan penyakit klasik bangsa ini adalah pada tataran aplikasinya yang jauh panggang dari pada api. Meminjam istilah AM Saepudin bahwa Ilmu dalam tataran pendidikan kita hanya dimaknai dan pahami sebagai ilmu belaka (AM Saepudin, 19898:76).
Bagaimana kurikulum yang dijalankan sekarang sungguh belum bisa menjawab segala permasalahan yang datang silih bergantian. Pergantian beberapa kali kurikulum di indonesia dalam perspektif penulis merupakan proses menuju model pendidikan yang cocok bagi bangsa indoensia dalam membentuk karakter output yang tangguh dalam menghadapi segala badai masalah di indonesia.
Dalam tulisan ini penulis mencoba sedikit memberikan sebuah solusi, kaitannya dengan moralitas bangsa indonesia yang hari ke hari jauh dari nilai pendidikan.
Dari penggalan lagu kebangsaan bangsa kita di atas, sebenarnya telah tersirat pesan yang begitu dalam dalam memberikan sebuah soslusi pemecahan untuk menjawab segala masalah yang timbul. Seharusnya pendidikan beranjak dari pendidikan yang membangun tidak saja aspek badannya, tapi juga jiwanya.
Dalam pandangan penulis, pendidikan indonesia saat ini hanya menyentuh aspek “badan” saja. Maka jangan heran jika ukuran kesuksesan pendidikan hanya bermain dalam angka-angka. Pendidikan dibilang berhasil jika murid didik mendapatkan hasil atau nilai yang tinggi dan memuaskan. Atau lebih tegasnya pendidikan di indonesia saat ini hanya bertumpu pada intelektualitas semata.
Bukan rahasia lagi bahwa hari ini ukuran kesuksesan tidak semata menjadikan IQ (intelegencia quotien) sebagai tolak ukur kesuksesan seorang. AM Saepudin (1999) mengemukakan saat ini kehidupan di muka bumi telah mengalami semacam kelalahan intelektul. Maka muncullah aspek lain yang sangat diperhitungkan sebagai landasan kesuksesan kehidupan manusia yaitu SQ (spiritual qoutien), EQ (emotional question).
SQ dan SQ adalah sebuah konstruk perpaduan antara hubungan horinzontal (habluminnallah) dengan Allah SWT dan hubungan vertikal dengan sesama manusia (habluminanas). IQ, SQ dan EQ merupakan sebuah upaya sempurna yang menyatukan aspek terpenting dalam kehidupan manusia yang sesuai dengan tuntutan Allah SWT. Ketiganya haruslah dijalankan dengan bersamaan tanpa bisa dipisahkan satu sama lain.
Maka pendidikan yang dijalankan saat ini, setidaknya harus banting setir dari hanya menjadikan manusia pinter tapi kablinger menjadi manusia pinter yang bener. Yaitu pendidikan yang tidak saja mementingkan aspek intelektual namun pendidikan dengan landasan kecerdasan spiritual dan emotional.
Sebagaimana yang kita rasakan pendidikan yang berlandaskan SQ dan EQ dari mulai pendidikan dasar sampai menengah atas bisa dibilang kurang. Contoh pelajaran yang memang mewakili kedua landasan tersebut, PKN (pendidiakan kewarganegaraan) dan Pelajaran Agama. Kedua mata pelajaran tersebut sungguh kurang dan sampaikan dengan jam pelajaran yang sebentar. Maka jangan heran jika output yang dihasilkannya pun tidak memuaskan
Pendidikan Jiwa dan badan.
Maka pendidikan yang terlahir dari inspirasi penggalan lagu Indonesia Raya, bahwa pendidikan tidak saja bertumpu pada “badan” saja tapi pendidikan harus melibatkan jiwa. Sehingga tercipta kesinergisan dalam membentuk manusia yang berkarakter “keindonesian” yang mampu membawa Indonesia dari jurang kenistaan. Bahkan bapak bangsa kita, bung karno berwasiat bahwa pembangunan nasional –haruslah- bermakna pembangunan bangsa dan karakter bangsa.
Tidak ada kata terlambat untuk melakukan perubahan. Demi kemajuan bangsa Indonesia sudah saatnya pendidikan berorientasi pada output yang daya guna dan siap guna dengan pembekalan yang seimbang antara jiwanya dan badannya. Pada akhirnya melahirkan manusia-manusia beriman, berpengetahuan, yang satu sama lainnya saling menunjang (lihat SS. Husein dan S.A. Ashraf, 1979).
Semua ini merupakan tanggung jawab kita semua. Terlebih dengan keadaan bangsa yang sedang mengalami krisis. Seperti peringatan Allah SWT dalam Q.S. Al-Hasr: 12, bahwa hendaklah kita takut jika kita meninggalkan generasi di belakang kita merupakan generasi lemah. Lemah dalam pendidikan, lemah ekonomi, lemah politik, bahkan jangan sampai lemah pada agama. Naudzubillahmindalik
*: Penulis adalah Kepala Sekolah MDA Darul Amanah, Jatinangor Sumedang.
www.oki-online.co.cc
25/10/2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 comments:
Mohon izin tulisan ini di muat kembali pada Blog Kami.
Sebarkan link Sunan Gunung Djati sebagai upaya kampaye Komunitas Blogger UIN SGD bandung.
Posting Komentar