24/10/2007

Memaknai Kebebasan Pers.



Wajah pers Indonesia hari ini memang tidak sesuram dulu. Begitu cerianya wajah pers, ketika noda-noda yang menghalangi kebebasan pers dibersihkan dengan dihapuskannya “kotoran” SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan). Kita semua harus bersyukur bahwa kran pers yang pada zaman orde baru disumbat atas nama kekuasaan pemrintah orde baru akhirnya dibuka.

Terlebih rasa syukur kita memang harus diapresiasikan dengan sangat, sebab jauh dibelahan dunia sana masih banyak negara-negara yang masih mengekang kebebasan untuk menyeruakan pendapat baik lisan ataupun tulisan.

Contoh terdekat di Negara tetangga kita, Malaysia. Setelah saya menonton obrolan Anwar Ibrahim (Mantan Wakil Perdana Mentri Malaysia) dengan Andy F Noya pada acara Kick Andy yang ditayangkan Metro TV Minggu kemarin. Bahwa kebebasan pers di Malaysia memang sangat buruk. Kerajaan Malaysia tidak memebrikan ruang yang bebas terhadap kebebasan media. Sehingga pers disana seakan berada dalam sebuah runagan yang sempit yang dikunci rapat-rapat. Pers dijadikan sebagai corong kekuasaan kerajaan Malaysia.

Maka jangan heran, atas nama kemanusiaan dan nilai Hak Asasi Manusia (HAM) berita-berita kekerasan yang menimpa warga Indonesia di sana dari mulai TKI sampai warga Indonesia yang berkunujung kesana, tidak mendapat tanggapan yang begitu nyaring dari rakyat Malaysia. Sebab memang pers sendiri seolah ditunggangi oleh pemerintah, yang otomatis segala berita yang “merugikan” kerajaan tidak boleh dan jangan disebarkan.
 

Bahkan degan catatan-catatan tersebut potret pers di Malaysia bisa dibilang paling buruk. Dalam laporan tahunan indeks kebebasan pers, Reporters Without Borders (RSF) mencatat bahwa kebebasan pers di Malaysia mengalami kemunduran dari 32 tingkat menjadi urutan 124 dari 169 negara di dunia. Urutan ini merupakan peringkat terburuk yang diraih Malaysia sejak survei mulai dilakukan pada 2002.

Di Indoensia hari ini jauh berbeda dengan di Malaysia saat ini. Di Indonesia kebebasan mengeluarkan pendapat yang diatur dalam UU No.44/1999 yang berbunyi: “Kemerdekaan pers adalah suatu wujud kedaluatan rakyat yang berasaskan prinsip-prisnip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum” maka setiap orang dimanapun dan kapanpun mempunyai kebebasan untuk mengelurakan pendapat baik melalui lisan ataupun tulisan.

Namun timbul sebuah permasalahan, bahwa ternyata hari ini kebebasan yang telah dijalankan dengan sebebas-bebasnya, seperti yang dikemukakan oleh Indy Subandi bahwa pers indonedia layaknya burung yang baru saja lepas dari sangkarnya. Kita bahagia bahwa kuantitas media hari ini jauh berkembang pesat, bahkan pertumbuhan media bak cendawan di musim hujan, tumbuh di mana saja.

Bahkan setahun setelah terbitnya terbitnya UU No. 40 tahun 1999 tentang pers, yang telah membawa angin segar memebrikan kekuatan sekitar 1.700 penerbitan baru muncul, yang sebelumnya hanya 289. sementara untuk Jawa barat yang sebelumnya hanya 10 penerbitan, bertambah sekitar 40 penerbitan. Dan hari ini mungkin tak terhitung lagi berapa jumlahnya. Sebab dengan di hapuskan SIUPP praktis setiap orang ataupun kelompok bisa mendirikan sebuah penerbitan tanpa dihantui pembredelan.

Kita senang dengan data pertumbuhan penerbitan penerbitan di Indonesia. Namun pertumbuhan tersebut hanya manis dalam kuantias dan tidak dibarengi dalam aspek kunatitas. Maka jangan heran jika ada nada-nada miring yang mengatakan bahwa kebebasan pers hari ini telah mencapai kebablasan.

Ungkapan itu tidak datang dari gigoan, setidaknya jika melihat ada sebagian media yang memberitakan dan menayangkan hal-hal yang jauh dari nilai dan etika kejurnalistikan. Atas nama komersial segala hal ini tubruk, entah aspek dampak yang timbulkannya ataupun kode etik jurnalistik.

Maka mulai hari ini dan seterusnya harapan kita semua adalah bahwa rasa syukur kita atas kebebasan pers yang telah dialami adalah dengan semangat membangun negeri ini. membangun dengan dibarengi prinsip demokrasi, keadilan, kemanusiaan, keagamaan dan supremasi hokum. Semoga saja.


Leave a comment 

0 comments: