25/10/2007

“Maaf “: antara dari hati dan tradisi.

Tak terasa Idul Fitri telah berlalu. Idul Fitri merupakan klimaks dari proses metamorfosis manusia-manusia yang “dipenjarakan” dalam “penjara” Ramadhan. Janji Allah SWT Idul Fitri adalah proses kembalinya fitrah manusia bagi yang benar-benar memanfaatkan ramadhan dengan sebaik-baiknya. Kenapa dikatakan proses? Sejatinya, diharapkan kegiatan yang penuh dengan spiritualitas pada bulan penuh hikmah itu, tidak saja berjalan dan dilakukan hanya semata pada bulan tersebut. Tapi jauh dari itu, 11 bulan selanjutnya seharusnya tidak kalah produktifnya dengan amalan-amalan kebaikan yang dikerjakan pada bulan ramadhan.

Maka tidak salah jika moment Idul Fitri juga digunakan oleh setiap orang sebagai ajang saling memaafkan. Kalimat “Mohon maaf lahir batin” rasanya tidak asing ditelinga kita, di iklan-iklan ditelivisi, radio atau baligho-baligho yang dipajang di jalan-jalan atau bahkan diri kita sendiri yang secara spontan mengucapkan kata-kata itu baik secara langsung ataupun tidak langsung seperti dengan silaturahmi atau melalui SMS, kartu ucapan dan lain-lain.

Pada saat itu, kegengsian dan keengganan melebur menjadi ketulusan untuk meminta dan memberikan maaf. Padahal bukankah kita acapkali merasa gengsi dan berat hati untuk meminta maaf? Sekalipun melakukan kesalahan dan menyebabkan ketersinggungan perasaan orang lain.

Namun, yang harus menjadi catatan sekarang, apakah sikap saling memafkan itu memang benar-benar muncul dari dalam hati kita atau hanya sebatas tradisi belaka. Melihat fenomena yang terjadi, sungguh menggambarkan hal itu. Ungkapan meminta maaf dilakukan secara massif dalam bentuk yang macam-macam seperti iklan-iklan di media massa atau poster dan baligho-baligho di jalanan yang mana dilakukan oleh beberapa tokoh atau pejabat tinggi Negara, dengan tujuan jangka panjang (baca:politik).
Hakikat kata maaf.

Ajaran islam sangat intens terhadap permasalahan maaf-memafkan. Islam membenci segala hal yang berhubungan dengan perselisihan dan permusuhan. Bahkan Rosulullah SAW mengencam bagi siapa saja orang mukmin yang bermusuhan dengan saudaranya diatas tiga hari maka haram baginya surga.

Maaf muncul dan mampu melahirkan dari perasaan bersalah baik disadari ataupun tidak disadari. Setiap tindakan manusia tidak terlepas dari hukum aksi-reaksi. Segala perbuatan kita tidak bisa bebas dari domain orang lain, oleh karenanya manusia merupaka mahluk social. Maka tidak menutup kemungkinan jika suatu tindakan manusia mudah melahirkan berbagai kesalahan.

Filsof Hannah Arendi (1906-1975) seperti diuraiukan Maurizio Passerin d’Entreves dalam Stamford Encylofedia of Philosophy, 2006, mengemukakan bahwa tindakan manusia pada dasarnya memiliki dua sisi utama, yaitu tidak dapat diperkirakan (unpredictability) dan tidak dapat dibatalkan (irreversibility).

Artinya suatu tindakan menjadi tidak mampu diperkirakan sebab tindakan itu sendiri merupakan manifestasi dari kebebasan manusia. Karena tindakan berlangsung system jaringan-jaringan hubungan social manusia dengan sedemikian majemu, maka tidak ada satu pelaku dari tindakan tersebut yang mampu mengendalikan dampaknya.

Atas dasar tindakan manusia yang tidak dapat diperkirakan dan tidak dapat dikendalikan dampaknya, muncullah berbagai kesalahan. Beranjak dari kesalahan-kesalahan itulah muncul sikap minta maaf. Sikap ini sangat penting dalam rangka sikaf permisif (saling terbuka) terhadap berbagai kesalahan yang telah di lakukan, labih jauh dari itu dalam sikap ini dihutuhkan dua sikap lainnya yaitu memaafkan (forgiving) dan berjajni (promising).

Meminta maaf dan memaafkan adalah proses kotempolasi terhadap kesalahan masa lalu yang mungkin sadar atau tidak melakukan kesalahan dengan tujuan membebaskan diri kita secara hubungan vertical dengan sesama manusia (habluminannas) ataupun secara horizontal yang langsung dengan Allah SWT (habluminallah). Lalu berjanji (promising) adalah beritikad pada diri sendiri untuk menghadapi masa depan dengan penuh kewaspadaan dan kehati-hatian agar kesalahan-kesalahan tersebut tidak terulang.

Jadi hakikat maaf adalah proses kebesaran jiwa untuk mengakui kesalahan diri sendiri dan orang lain yang muncul atas ketulusan untuk saling memaafkan juga disertai proses perjanijan untuk tidak mengulangi lagi.

Begitu dalamnya hakikat dari maaf tersebut sehingga proses tersebut tidak saja mempunyai efek pada psikologis dengan hadirnya ketenangan hati, kelegaan, suasana batin yang senang, juga memilikki dimensi etis dalam rangka mencapai rekonsiliasi.
Kalimat “Minal Aidzin wal Faidzin, Mohon Maaf lahir bartin” kiranya memawakili dimensi etis tersebut. Dimensi etis yang hadir atas keterkitan dengan Allah SWT yang terejawantahkan dalam kalimat “Mina Aidzin Walfaidzin” dan keterkaitan hubungan sesama manusia yang tergambar dalam kaliamt “Mohon maf Lahir Batin” dan
Tiada kata terlambat.

Kiranya tiada kata terlambat untuk saling memaafkan. Dan moment Idul Fitri adalah bukan satu-satunya kesempatan untuk saling maaf-memaafkan. Meminta maaf sebaiknya dilakukan sesegera mungkin, ketika tersadar melakukan kesalahan. Dan memaafkan adalah sikap kelapangan hati untuk bisa memberikan maaf kepada orang lain yang melakukan salah kepada kita, dan menjadi tidnakan yang mulia ketikakita sudah memaafkan jauh sebelum orang yang melalukan salah kepada kita meminta maaf.

Menunda meminta maaf atau memberi maaf hanya sebatas pada momentum Idul Fitri adalah kurang tepat dan bijak. Sebab yang bisa menjamin diri kita esok hari masih bisa hidup dan bertemu dengan Idul Fitri tahun depan.

CP:085222538565
OKI SUKIRMAN
Mahasiswa UIN SGD BDG Jurusan Jurnalistik. Aktif di HMI Kom. Dakwah dan Komunikasi. Pegita Kliq creative dan pengelola web: www.oki-online.co.cc
Leave a comment 

0 comments: