Akhirnya, setelah melalui proses diplomasi yang alot, panjang dan melelahkan sejak 1973, pemerintah Indonesia dan Pemerintah singapura lewat menteri luar negeri masing-masing, satu suara (baca: sepakat) untuk menandatangani perjanjian ekstradisi yang digelar di Istana Tampang Siring, Bali, 27 April 2007. (Media Indonesia, 28/04)
Perjanjian Ektradisi memang menjadi barang yang mewah bagi indonesia, setelah sekian lama dengan perjuangan yang melelahkan, tarik ulur berbagai kepentingan, akhirnya nota kesepakatan diatas kertas ditandatangani. Sebuah angin segar bagi pemerintah indonesia sebagai pemacu semangat yang telah kendur dalam upaya pemberantasan korupsi.
Perlu diketahui dengan adanya perjanjian ektradisi ini Indonesia bisa sedikit leluasa melacak dan mengejar para koruptor yang melarikan diri ke Singapura. Sebab bukan rahasia umum, bahwa banyak para koruptor kelas teri bersemayam aman, tenang dan tidak tersentuh oleh hukum Indonesia karena kabur ke negeri Singa itu. Indonesia seperti tidak bisa berkutik memburu pada penjahat ekonomi itu, terutama para pengemplang bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang merugikan negara triliunan rupiah dan Singapura pada saat itu hanya cuek bebek, diam seribu bahasa dan menerima dengan tangan terbuka para pencuri tersebut, toh dengan kedatangan para miluner maling negeri tetangganya itu tentu menambah devisa negara yang cukup besar.
Perlu dicatat, total uang orang Indonesia yang bermukim di Singpura mencapai US$87 miliar atau sekitar Rp.750 trilun. Dan uang itu merupakan uang para koruptor Indonesia kelas tinggi. Bahkan Indonesia Corruption Watch (ICW ) mencatat ada 17 buron kasus korupsi yang "enak-enakan" di Singapura.
Dengan adaya perjanjian itu, kedua pemerintahan terikat kesepakatan untuk mengembalikan siapa pun yang terlibat tindak pidana (baik warga negara Indonesia maupun Singapura) ke negara masing-masing.
Sebuah keanehan memang, kenapa kesepakatan yang seharusnya terjalin kedua negara tetangga itu harus menunggu 35 tahun dulu? Padahal, Singapura bukan negara jauh. Ia tetangga dekat yang banyak hal tergantung pada Indonesia. Pada tulisan inilah saya mencoba menganalisis hubungan kedua negara ini, serta bagaimana upaya pemerintah dalam memanfaatkan kesepakatan ektradisi ini.
Hubungan Indonesia – Singapura memang unik. Kedua negara ini terjalin kekerabatan lebih karena faktor geografis dan historis. Singapura untuk urusan kewilayah merupakan kebalikan dari Indonesia, Singapura merupakan negara kecil dengan luas 697 km persegi dan berpenduduk 4,6 juta, sedangkan Indonesia merupakan negara yang besar dengan jumlah pulau 13.705 pulau dan dengan jumlah penduduk 200 juta jiwa.
Tapi untuk urusan prestasi -maaf- Indonesia "beda nasib", Singapura merupakan negara maju yang cukup disegani dan diperhitungkan dalam kancah perhelatan dunia. Sehingga untuk mencapai kesepakatan kesepakatan ektradisi saja indonesia seperti negara kerdil yang bisa begitu saja dimainkan.
Dalam perjanjian atau kesepakatan memang berlaku ketentuan retroaktif (berlaku surut). Tapi perjanjian itu baru akan berlaku efektif menyeret para penjahat di masa yang akan datang. Namun, setidaknya singapura tidak lagi dijadikan surga hunian bagi pencuri uang rakyat itu.
Memang dengan tercapainya perjanjian ini, membuktikan keberhasilan indonesia dalam berdiplomasi dan kebijakan indonesia yang melarang ekspor pasir ke singapura lewat Peraturan Mentri Perdagangan (Permandeg No. 02/M-DAG/Per/1/2007) yang berlaku efektif 5 Febuari lalu.
Tidak bisa dipungkiri Permandeg menjadi daya jual Indonesia dan alat diplomasi yang ampuh untuk menekan Singapuran agar mau menyepakati perjanjian ekstardisi dengan Indonesia. Faktor itulah yang membuat hati Singapura luluh dan mau mengalah untuk menyetujui kesepakatan tentang ekstradisi.
Sebab saat ini singapura sedang giat-giatnya menggenjot agenda Borderless Singapore 2010 dengan pembangunan properti, industri, infrastruktur yang tentu saja dengan dengan wilayahnya yang kecil dan terbatas Singapura bergantung pada Indonesia untuk mengimpor pasir guna perluasan wilayahnya.
Oleh karenanya, sepatutnya kita menyambut kesepakatan ini sebagai komitmen kedua negara dalam memerangi kejahatan. Layaknya dalam politik internasional dan diplomasi dengan tercapainya kesepakatan ektradisi ini pula Indonesia seharus mengoptimalkan sebaik mungkin, apalagi dalam politik (hubungan) internasional, tidak ada musuh tidak ada kawan (bahkan tertangga sekalipun). Yang ada adalah kepentingan. Alasan ini juga yang menjadikan duduk bersama indonesia-singapura tentang ektradisi tersendat-sendat dan harus menunggu waktu panjang.
20/05/2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar