Manusia merupakan mahluk istimewa yang Allah Swt ciptakan. Dalam beberapa firmanNya banyak ditemukan keutamaan dan kelebihan manusia dibandingkan mahluk lain yang diciptakanNya, misalnya manusia merupakan “produk” terbaikNya dengan sebaik-baiknya bentuk (Q.S.95:4). Pada ayat yang lain -walaupun dengan sebutan yang berbeda-beda- manusia tetap menempati posisi yang utama "dimataNya".
Muhammad Djarot Sensa (2005) dalam bukunya Komunikasi Qur'aniyah, menganalisa bahwa penamaan manusia yang berbeda-beda itu memiliki kaitan dengan kondisi-kondisi manusia tertentu. Diantaranya seperti kata man yang berarti bahwa manusia diberi kebebasan memilih dan berkehendak (Q.S.18:29), bani adam yang menujukan status manusia yang memiliki kemuliaan dari Allah Swt (Q.S.17:70), al-barriyah bahwa manusia yang digambarkan dapat berbuat baik dan buruk (Q.S.98:6-7), mar’i adalah manusia yang berkaitan dengan hatinya (Q.S.8:24), basyar yaitu manusia yang memiliki kemampuan menerima wahyu (Q.S.18:110), nafs yakni manusia yang memperoleh peluang disambut Allah Swt secara penuh keridhaan (Q.S.89:27-30), abda menjelaskan posisi manusia yang senantiasa dihubungkan sebagai milik Allah Swt (Q.S.38: 45-47).
Dari perspektif yang lebih luas, manusia merupakan mahkluk multi-dimensional. Secara sosial manusia merupakan mahluk social (homo sosius), artinya kehidupan manusia tidak akan pernah bisa berdiri sendiri dan akan membutuhkan pihak lain dalam keberlangsungan dan upaya mempertahankan hidupnya (survival life).
Dalam kaca mata ekologis, manusia adalah mahluk lingkungan (homo ecologus). Maksudnya manusia adalah bagian yang tak terpisahkan dari suatu ekosistem, sehingga secara naluriah manusia memiliki kecenderungan untuk selalu memahami akan lingkungannya pada akhirnya bila dikaji lebih dalam, secara ekofilosofis hubungan manusia dengan lingkungan sangatlah erat.Hal ini "diamini" oleh ajaran Islam yang mengungkapkan bahwa dalam kehidupan manusia terdapat empat ruang gerak kehidupan. Pertama, hubungan manusia dengan Allah Swt (habluminnallah), kedua, manusia dengan sesama manusia (hablumninannas), ketiga, hubungan manusia dengan dirinya (hablumibinafsihi), dan keempat, hubungan manusia dengan lingkungan hidup –alam sekitar- (hablumminal alam).
Oleh karenanya dari uraian diatas dapat disimpulkan, hubungan manusia dengan lingkungan tidak dapat dipisahkan. Keduanya (manusia dan lingkungan) merupakan ikatan keterjalinan sedemikian dekat satu dengan yang lainnya. Keterjalinan manusia dengan lingkungan merupakan keterjalinan dinamis. Artinya, keterjalinan ini bersifat sadar, yang dipahami, dihayati dan dijadikan sebagi akar serta kepribadian manusia itu sendiri.
Namun walaupun secara filosofis, konsep keagamaan dan fitrah bahwa manusia memiliki potensi untuk peduli pada lingkungannya (ekologis), namun pada sisi aktualitas, kepedulian terhadap ekologis tersebut akan terbentur oleh akal dan hawa nafsu manusia itu sendiri. Yang pada akhirnya hal ini melahirkan pola sikap dan pikir terhadap lingkungan yang berbeda-beda sesuai dengan kecenderungan hawa nafsu setiap individu. Jika diklasifikasikan perilaku manusia kaitannya dengan lingkungan, terbagi menjadi dua bagian yaitu pro-ekologis dan kontra ekologis.
Pro-ekologis berarti manusia telah mencapai puncak kesadaran bahwa lingkungan merupakan sahabat sekaligus mitra sejatinya di muka bumi ini. Sebaliknya yang kontra-ekologi menganggap lingkungan merupakan “yang dan orang lain”, pada akhirnya lingkungan hanya dijadikan sebagai objek, instrumen dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan semata, bahkan pada sisi tertentu alam dianggap sebagai musuh yang harus ditaklukan dan dieksploitasi habis-habisan untuk kesejahteraan hidupnya.Jika kita analisa, realita saat ini orang yang pro-ekologis sangatlah sedikit, kalaupun ada mereka (yang pro-ekologis) tersadar saat alam telah menujukan "kekuatannya" yang merugikan dan membuat kehidupan manusia menderita.
Namun berbeda dengan yang pro-ekologis, yang kontra-ekologis dapat kita temukan tidak saja baik itu dikalangan masyarakat yang belum maju, kalangan masyarakat sudah maju pun terkadang sering menyalahi aturan.Perilaku kontra-ekologis yang menjangkit kalangan orang yang tidak, belum dan sudah tahu, pada dasarnya merupakan penjelmaan dari pemahaman manusia terhadap faham antroposentris dan sebaliknya perilaku pro-ekologis adalah buah hasil dari pemahaman ekosentrisme.
Menurut Mujoyono Abdilah, MA., variasi perlaku manusia ini –pro dan kontra ekologis- disebabkan oleh tiga factor. Pertama, factor supra stuktur yang mana meliputi nilai dan simbol. Nilai dan simbol pada supra stuktur biasanya didapatkan dari sebuah masyarakat baik yang bersumber dari sistem nilai, ideologi, agama dan lain-lain.Kedua, factor stuktur, berupa pranata dan perilaku social. Maksudnya bahwa masyarakat memiliki institusi sosial yang mendorong pada setiap tindakan ekologis. Struktur social bisa terdiri dari keluarga, kekerabatan, lembaga swadaya dan yang lainya.Ketiga, factor infra stuktur. Ilmu pengetahuan dan teknologi IPTEK adalah bagian yang mempunyai pengaruh besar sebagai factor infra stuktur terhadap sikap kontra-ekologi masyarakat. Kesenjangan dan perbedaan wawasan masyarakat terhadap IPTEK, berpengaruh terhadap perbedaan cara pandang dan perilaku ekologis suatu masyarakat.
Baca Selengkapnya...
dan
Akar permasalahan.
Jika kita mengambil benang merah dari uraian diatas maka kita temukan bahwa yang menyebabkan terjadinya bencana-bencana seperti banjir dan longsor adalah karena perilaku manusia yang kontra-ekologis. Inilah yang menjadi akar permasalahan saat ini, -khususnya- di Indonesia dimana bencana datang silih berganti. Bagaimana tidak jika dihadapkan pada musim kemarau, maka kekeringan, kesulitan air terjadi dimana-mana. Sebaliknya jika “diberikan” musim hujan, maka Indonesia kelabakan menghadapi air yang berubah menjadi banjir dan longsor.Menjadi sangat penting ditegaskan bahwa bencana tersebut bukan sekedar musibah yang datang secara kebetulan dan bukan –maaf- kehendak sepihak Allah Swt semata.
Tidak bisa dipungkiri bahwa bencana-bencana tersebut disebabkan karena adanya kerusakan lingkungan yang pada akhirnya terjadi krisis lingkungan hidup (crisis ecologies).Krisis lingkungan tersebut ditenggarai oleh ulah tangan-tangan manusia rakus yang tidak bertanggungjawab dan tidak mau bersusah payah. Pembalakan liar (illegal Logging) menjadi jalan pintas, dengan menebang pohon-pohon secara membabi buta dan tidak memikirkan kepentingan hidup orang banyak yang hasilnya dinikmati oleh orang dan kelompok tertentu.Revolusi paradigma atas lingkungan.A, Sonny Keraf dalam bukunya, Etika Lingkungan 2002, menyatakan bahwa krisis lingkungan berakar dari kesalahan perilaku manusia dan kesalahan perilaku manusia terhadap cara pandang tentang dirinya, alam dan hubungan antara manusia dan alam.
Oleh karena revolusi paradigma –cara pandang- manusia terhadap alam yang antroposentris menjadi ekosentris menjadi harga mutlak yang tidak bisa ditawar lagi.Antroposesntris berarti prinsip etika terhadap lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Dalam faham ini menempatkan manusia dan kepentingannya sebagai yang hal yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam seluruh kebijakan yang diambil kaitannya dengan alam, baik secara langsung ataupun tidak. Pada akhirnya yang menjadi nilai tertinggi adalah manusia sekaligus kepentingannya.
Karenanya alam termasuk didalamnya lingkungan, udara, hutan, pegunungan, air dan lain-lain dinilai dari sudut nilai ekonomis (economic value) semata. Selain itu, perkembangan IPTEK yang antroposentris melatarbelakangi keyakinan bahwa alam hanya dijadikan sebagai objek dan sarana yang harus ditaklukan dan dieksploitasi demi pemenuhan kebutuhan hidup serta kebahagiaan manusia. (Abdillah Mujiono:2002:36). Pada akhirnya perilaku ini menjadi ancaman yang serius bagi kelangsungan, kesejahteraan manusia.Hal ini berbeda dengan ekosentrisme yang merupakan etika lingkungan yang memusatkan diri pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun yang tidak.
Ia menghapus anggapan yang menjadikan manusia sebagai penguasa yang terus-menerus mengekspoitasi alam.Arne Naes, seorang filsuf Norwergia, pada tahun 1973 memperkenalkan versi ekosentrisme yang lain yang dikenal dengan deep ecology. Pada dasarnya deep ecology tidak berbeda dengan ekosentrisme yang berarti tidak mengubah sama sekali hubungan manusia dan manusia.Namun ada yang baru dari teori ini. Pertama, manusia dan kepentingannya bukan ukuran bagi segala sesuatu yang lain, sebab deep ecology memusatkan perhatian kepada seluruh spesies termasuk spesies bukan manusia. Kedua, deep ecology dirancang sebagai etika praksis, maksudnya prinsip-prinsip moral etika lingkungan yang harus diejawantahkan dalam aksi nyata. Deep ecology merupakan gerakan nyata yang didasarkan pada perubahan paradigma secara revolusioner baik cara pandang, nilai maupun perilaku atau gaya hidup manusia terhadap lingkungan.
Lebih jauh lagi Sonny Kerap menyebut bahwa filsafat pokok deef ecology yaitu ecosophie . Ecosophie adalah perpaduan eco yang berarti rumah tangga dan sophie yang berarti kearifan. Maka ecosophie berarti kearifan mengatur, menata hidup selaras dengan alam sebagaimana makna rumah tangga dalam arti yang luas. Lebih dari itu deep ecology meliputi suatu pergeseran dari sekedar ilmu (science) menjadi sebuah kearifan dan kebijaksanaan (wisdom).Pola pikir dan sikap yang arif dan bijaksana adalah memahami alam sebagai sebuah bagian dari dirinya yang memiliki nilai pada diri sendiri dan nilai itu jauh melampui nilai yang dimiliki oleh dan untuk manusia.Menuai bencana setelah Alpa.
Menurut hemat penulis bencana-bencana yang terkadi di indoneisa terbagi dua macam bencana. Pertama, bencana yang murni merupakan fenomena alam seperti gempa bumi, tsunami, angin ribut dan meletusnya gunung berapi. Inilah bencana yang soal waktu dan tempat yang menjadi misteri terjadinya.Kedua, bencana karena ulah tangan-tangan manusia. Inilah bencana yang timbul akibat kerakusan untuk mengekpolitasi alam sampai pada akhinyra alam rusak.
Dalam surat Ar-Rumm ayat 41 Allah Swt menegaskan dengan pasti, bahwa kerusakan yang terjadi di daratan dan lautan disebabkan oleh ulah tangan-tangan manusia.Bagi kita kedua jenis bencana itu harus direnungkan lebih dalam. Dari sisi sunnatullah alam tidak sertamerta "mengamuk" dan menyakiti manusia kecuali atas izinNya bahkan tidak ada setetes air pun di dunia ini yang menetes kecuali atas kehendakNya.
Oleh karenanya tiada bencana yang terjadi di muka bumi ini kecuali atas kehendaknya pula.Inilah yang menjadi kuncinya, apakah manusia taat dan bertakwa kepada yang Maha memilki alam dan isinya atau tidak. Apakah bencana itu diberikan olehNya sebagai sebuah hukuman dan adzab atas perbuatan-perbuatan yang melanggar ketentuaNya sehingga Dia marah, atau memang sebuah ujian untuk menguji kadar keimanan sesorang mu’min. inilah yang menjadi bahan intropeksi diri (muhasabah).
Jika bercermin pada realita di Indonesia saat ini, bencana yang menimpa Indonesia lebih condong berupa hukuman, ia (bencana) merupakan sentilan Allah Swt terhadap kealpaan orang Indonesia atas perbuatan yang melanggar syariatnya. Korupsi semakin merajalela, para pemimpin yang tidak lagi memegang amanahnya dengan baik, kemaksiatan yang menjadi hal yang diillegalkan dan dianggap pantas dan modern, dan sebagainya.Bersabar, bersyukur dan bertaubat.
Menuai bencana setelah alpa.
Memang itulah yang menjadi konsekuensi logis dari perilaku manusia yang menyalahi hukum Alam terlebih hukum Allah. Dan hal ini menguatkan selain mahluk yang istimewa manusia tidak lebih dari seonggok tulang berbalut daging yang lemah tak berdaya ketika dihadapkan terhadap kekuatan-kekuatan diluar kehendak dan kemampuan manusia.
Namun pada dasarnya sekali-kali Allah Swt tidak menimpakan sesuatu pada umatnya kecuali atas kemampuan manusia untuk menghadapinya (Q.S 2: 286)Maka yang harus kita lakukan adalah pertama, bersabar. Dengan sabar jiwa dan hati manusia akan selalu tenang, sebab shalat dan sabar merupakan sarana yang Allah sediakan bagi hambanya yang sedang mengahadapi kesulitan dan penderitaan (Q.S.2:45 dan 153). Selain itu juga Allah telah menjanjikan atas orang-orang yang sabar sebuah rahmat dan shalawat di hari akhir nanti (Q.S.2:157), selayaknya sebagai seorang muslim jika terkena musibah, bersabar menjadi jalan keluar.
Kedua, beryukur. bersyukur atas berbagai nikmat yang telah diberikan Allah Swt kepada kita semua (Q.S.2:152). Rakyat Indonesia sepatutnya untuk bersyukur atas segala karunia yang Allah Swt berikan terhadap bangsa ini, keindahan alamnya yang membuat mata berdecak kagum, tanahnya yang subur, kekayaan alam yang melimpah baik rempah-rempah ataupun hasil bumi lainnya. Sebaliknya jika tidak bersyukur (kuffur) maka sungguh adzab Allah sangatlah pedih.Beryukur artinya tidak semata kita “berterima kasih”.
Namun lebih dari itu, dengan menjaga dan melestarikan alam merupakan perwujudan rasa syukur. Sebab sejatinya menjaga dan melestarikan alam merupakan tugas utama manusia sebagai wakil Allah Swt di muka bumi ini (khalifah fil ardi). Sebagaimana dalam firmannya: “..Dia Telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya..."(Q.S.Hud:61).
Ketiga, bertaubat. Bertaubat atas segala kealpaan dan kehilafan dengan disertai kembali pada jalanNya. Setidaknya dengan mengubah revolusi cara padang manusia terhadap alamnya saja tidak cukup, diperlukan juga upaya manusia untuk mengakui atas segala kesalahan-kesalahannya dan tidak akan mengulangi kembali (taubatan nasuha) (Q.S. 66:8). Sudah saatnya hukum Allah Swt di aplikasikan dalam kehidupan manusia kapanpun dan dimanapun secara komferehensif (kaffah) (Q.S.2:207), jaminannya tentu kehidupan di dunia akan bahagia dan tenang begitu juga di akhirat.
Wallahu A'lamu Bisawab.
0 comments:
Posting Komentar