01/03/2007

“Mahasiswa berpolitik, mengapa tidak? -Quo vadis mahasiswa, antara peran dan fungsi-



BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

“Hai Orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok….”Q.S.Al-Hasr: 18)

Dunia mahasiswa dalam prespektif ideal, adalah dunia penjelajahan intelektual, dari kata mahasiswa saja telah tergambar bahwa sosok penuntut ilmu ini berbeda dari siswa-siwa lain –yang sebelumnya; SMU, SMP, SD dan TK- mahasiswa memang ditakdirkan untuk menjadi yang maha dari siswa-siswa. Sebab dalam dapat kita pahami dalam dunia mahasiswa dimana idealisme tumbuh subur menjadi elemen abstrak bernama gairah melakukan aktivitas, walaupun memang sebelum tahapan menjadi mahasiswa gairah melakukan aktivitas itu telah ada. Namun, dalam eksekutor aktivitas tersebut mahasiswa memiliki tanggung jawab yang lebih dari siswa sebelumnya dan masyarakat umum karena posisinya yang lebih intens menjamah sumber-sumber pencerahan (baca:intelektual). Karena posisi inilah banyak harapan dinisbatkan pada pundak mahasiswa di masa sekarang maupun masa yang akan datang.

Memang tak berlebihan jika banyak harapan dan cita dipikul oleh mahasiswa, sebab dalam kerangka social mahasiswa menempati peran dan fungsi yang sangat vital, mahasiswa disini berperan sebagai agen social tegasnya sebagai agen perubahan (agent of change) dan sebagi agen control (agent of control).

Dari analisis fungsi mahasiswa, mahasiswa mempunyai multi fungsi, dalam kerangka sempit mahasiswa berfungsi sebgai inteletual akademisi, dan lebih luas lagi mahasiswa berfungsi sebagi inteletual sosialis.

Dalam realita yang terjadi saat ini peran dan fungsi yang jalankan oleh mahasiswa saat ini sangat berbeda dengan apa yang kita citakan, sebab jika kita analisis peran dan fungsi mahasiswa seperti yang diuraikan diatas saat ini seakan –jika tidak mau dikatakan telah- sedang mengalami stagnasi, peran dan fungsi mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of change) dan sebagai agen control (agent of control) serta sebagai akademis dan sosialis menjadi blue print saja.

Di satu sisi ada mahasiswa yang hanya menjelajah akademik saja, (yang memang tugas utama dari seorang mahasiswa) sehingga aktivitas yang lakoni hanya berkisar pada lingkungan tempat kost, ruang kuliah, ruang dosen, wartel, warnet, atau warteg yang mendominasi aktivitasnya. Sedangkan sebagian yang lain lebih berkonsentrasi dan menjelajah pada tanggung jawab sosialnya.

Sejatinya, mahasiswa tidak cukup menjadi praktisi intelektual akademisi yang hanya duduk dan mendengarkan dosen di ruang kelas, lebih dari itu mahasiswa juga dituntut untuk berperan dalam agen perubahan dan control social yang terjadi disekitarnya.
Hal ini dianggap penting sebab ilmu-ilmu yang didapat di bangku perkuliahan terasa tidak cukup untuk menjawab segala tantangan zaman yang dinamis, banyak ilmu-ilmu yang masih bertebaran diluar bangku perkuliahzn walaupun tentu saja ilmu-ilmu tersebut tidak berbobot kredit.

Dalam menempuh ilmu-ilmu tanpa syllabus itu, para mahasiswa sejati akan menempuhnya dengan menggunakan jalur apa pun, salah satunya –dan bukan satu-satunya- adalah jalur politik. Jangan dulu sinis ketika mendengar kata politik ini, walaupun sering kali politik di beri cap sebagai “ladang kotor” namun penulis berkeyakinan jalur politik adalah jalur yang tepat dalam mengaktualisasikan potensi-potensi mahasiswa dalam mengendalikan arah dan tujuan tranformasi social.

Harus kita akui bahwa jalur politik telah dipakai dan terbukti ampuh dalam menghancurkan sebuah hegemoni dan rezim otoriter. Sejarah berkata, mahasiswa merupakan salah satu kekuatan pelopor di setiap perubahan perjalanan bangsa pasca kemerdekaan Indonesia. Tumbangnya Orde Lama tahun 1966, dan tumbangnya Orde baru tahun 1998 adalah tonggak sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia. Sepanjang itu pula, mahasiswa telah berhasil mengambil peran yang signifikan dengan terus menggelorakan energi “perlawanan” dan bersikap kritis membela kebenaran dan keadilan.

Jadi mahasiswa berpolitik, mengapa tidak?


Mengacu pada ayat Al-Quran di atas Allah jauh-jauh hari telah menyuruh kita untuk senantiasa ber-intropeksi diri (muhasabah) terhadap apa yang kita cita-citakan atau apa yang diharapkan (da sein) dengan apa yang terjadi (das solen) -intandur nafsun maqodamat- lalu setelah itu merencanakan (kembali) usaha-usaha yang akan kita tempuh.
Intandur nafsun nafsun lilgod sama maknanya dengan terminology poltik yang berarti mengatur, mengelola, merencanakan, mengevaluiasi sesuatu untukmencapai proses dan hasil yang terbaik.

Kaitannya dengan peran dan fungsi mahasiswa, pada bahasan makalah ini melingkupi muhasabah pada peran dan fungsi mahasiswa sebagai agen social. Serta apakah jalur politik buat mahasiswa saat ini sebagai jalur utama ataukah hanya alternaif bagi perjuangannya? Tanya kenapa?.

B.Tujuan penulisan.

Makalah ini di buat dalam rangka memenuhi salah satu tugas pengganti UTS (ujian Tengah Semester) pada mata kuliah System Politik Indonesia yang dibimbing oleh Bapak Drs. Cecep Suryana. Selain itu juga mudah-mudahan makalah ini bermanfaat khususnya bagi saya dan umumnya bagi pembaca sekalian. Semoga makalah ini menjadi setetes embun bagi dipadang pasir bacaan-bacaan yang kering akan ilmu dan cakrawala pencerahan.


BAB II

PARADIGMA TENTANG POLITIK DAN MAHASISWA

A.Rubahlah paradigma bahwa Dunia politik ? “Dunia WC”

Memang jika membaca judul diatas sedikit aneh dan nyleneh, tidak salah memang seperti itu realitanya banyak orang yang berpandangan miring –kalau tidak mau dikatakan salah- terhadap terminology politik, stereotif yang buruk terhadap politik memang tidak datang begitu saja. Jawaban dari semua ini adalah hasil dari proses perjalanan panjang yang menghiasi sejarah peradaban manusia, jaman dahulu sudah muncul sikap mengahalalkan segala cara untuk mencapai segala tujuannya yaitu mencapai sebuah kekuasaan, bahkan yang lebih parah lagi dalam mencapai tujuan tersebut seseorang bisa bertindak terhadap orang lain tanpa pandang kawan, yang ada adalah lawan dan juga jiwa money politic menghiasi wajah perpolitikan dari masa lampau hingga saat ini. Kesemua itu adalah salah satu contoh yang disebutkan, dan masih banyak lagi hal-hal lain yang menyebabkan sinyalemen politik kotor..

Sebenarnya reduksi kata politik menjadi hal-hal yang buruk memang sungguh kejam sekali, sebab mendasarkan pada dasarnya pengertian saja politik memang telah mengalami reduksi makna yang sangat jauh sekali. politik berasal dari bahasa yunani yaitu polis yang berarti negara atau kekuasaan. Yang kemudian berkembang menjadi kata dan pengertian dalam berbagai bahasa seperti; polity, politic, political, police, dan policy.

Maka politik merupakan suatu cara untuk mengatur atau mengolah bagaimana memperoleh kekuasaan didalam negara, mempertahankan kedudukan kekuasaan di dalam negara, mengatur hubungan antara negara dengan negara, atau dengan rakyatnya.

Untuk mengatur, memperoleh dan mempertahankan kedudukan kekuasaan tersebut kadangkala -bahkan banyak- orang menggunakan segala hal untuk mencapai semua itu. oleh sebab itulah politik dilabeli dengan kotor, sampai-sampei ada lelucon yang mengadakan bahwa untuk masuk ke dunia politik maka seseorang harus berdoa: “Allahuma inni a’udibika minal hubusi wal hobaisi”. Ya sah-sah saja doa itu diucapkan selama orang sudah sadar kekotorannya itu dan dia tak terjebak dan terpelosok pada “lubang kotor” itu.

Maka menurut hemat saya, sebagai pegangan dalam memasuki dunia politik adalah merubah paradigma kita tentang politik itu sendiri, mengganti pola pikir dan pandangan kita tentang politik yang penuh kekotoran dan menggantinya bahwa dunia politik adalah ladang ibadah.
Paradigma adalah cara pandang seseorang terhadap sesuatu, Sean Steven R Covey dalam bukunya The 7 Habits of highly Effective Teens mengilustrasikan paradigema seperti sebuah kacamata. Kalau seseorang mempunyai paradigma yang tidak lengkap atau salah pada dirinya atau kehidupan pada umumnya, itu sama seperti orang tersebut mengenakan kacamata yang keliru ukurannya. Lensa memepngaruhi bagaimana melihat segalanya. Akibatnya apa yang didapat adalah yang dia lihat. Contoh lain, kalau sesorang percaya bahwa dia pandai, keyakinan itu akan menjadikan dia pandai. Sebaliknya jika ia punya keyakinan tidak pandai, maka keyakinan itu akan menjadi kekuatan dan membuat dia tidak pandai.

Dan pada kenyataanya, jika kita mempunyai paradigma atau keyakinan bahwa dunia politik itu kotor, berarti paradigma dan keyakinan kamu tak ubahnya seperti kacamata kotor. Inilah yang disebut dengan paradigma negative.

Seperti disinggung diatas keyakinan yang salah, dan paradigma yang miring turut mempengaruhi sikap kita. Oleh karenanya tiada jalan lain selain merubah paradigma negative tentang politik itu kotor menjadi paradigma yang positive bahwa dunia politik adalah ladang ibadah. Insya allah dalam memasuki dan berjamah dalam dunia politik jiwa dan diri kita mempunyai ruh, giroh untuk melakukan ibadah dan bukan sebaliknya.

B.Tanggung jawab ganda; Akademis dan Social.

Mahasiswa merupakan sebuah terminology yang selalu hangat dan aktual untuk diduskusikan kapan saja dimana saja. Tentang peran dan fungsi mahasiswa merupakan bahan yang menarik sebab berbicara tentang peran dan fungsi berarti disana ada tiga unsur yang pertama: sejarah yang telah ditorehkan oleh mahasiswa-mahasiswa terdahulu, yang kedua: keadaan konkret atau relita saat ini peran dan fungsi mahasiswa dan yang terakhir: cita-cita atau pengharapan.

Dalam hal ini mahasiswa mempunyai tanggung jawab ganda, yang pertama tanggung jawab akademik dan yang kedua tanggung jawab social. Realitas yang terjadi, kedua peran tersebut sering dipandang sebagai dua buah tanggung jawab yang kontradiktif, di satu sisi ada mahasiswa yang hanya mengambil tanggung jawab akademik saja sehingga aktivitas yang dijalaninya hanya sekedar putaran ruangan kelas, kost, perpustakaan, warnet dan yang lainnya tak lebih, itulah yang mendominasi aktivitasnya. Sedangkan sebagian yang lain lebih berkonsetrasi pada tanggung jawab sosial dengan ekses yang menjadi sorotan pada masalah akademik yang see4ring terbengkalai, walaupun kedua hal tersebut hanya kasusistik

Memang ada benang merah yang dapat kita tarik dari kasus tersebut yaitu perihal kesenjangan pemahaman antara kedua tanggung jawab akademik dan social tersebut, sehingga terjadi pendikhotonian antara tanggung jawab tersebut. Rekonstruksi pemahaman antara dua hal yang kontradiktif tersebut merupakan salah satu alternative solusi pemecahan masalah, baik rekontruksi pemahaman terhadap tanggung jawab akademik maupun rekontruksi pemahaman terhadap tanggung jawab social. Pada akhirnya diharapkan dapat meminimalkan dikhotomi kedua tanggung jawab tersebut.

Mari kita analogikan kedua tanggung jawab itu seperti sayap burung. Sayap pada seekor burung tidak bisa berkerja sendiri-sendiri, untuk bisa terbang tidak cukup baginya mengepakan sayap kiri saja atau sayap kanan saja tanpa keduanya kerja sama. Sebab untuk bisa terbang keduanya (sayap kanan dan kiri) perlu sinergisitas peran agar terjadi maksimalisasi aktivitas yaitu terbang. Begitu pun dengan kedua tanggung jawab tersebut, bila salah satunya mengalami ketidakstabilan maka ada nilai dari sebuah aktivitas yang pincang.

Tanggung jawab akademik pada kenyataannya telah mengalami degradasi makna yang seharusnya, makna aksdemik sering dibatasi sempit sehingga ketika berbicara masalah tersebut sering salah kaprah. Akibtanya berimbas pada penyikapan yang tidak tepat, berbicara akademik sering dihubungkan dengan pembicaraan penghargaan bergelar IPK, hal yang dipahami tersebut hanyalah salah satu ekses dari sebuah proses, sehingga ketika ekses tersebut menjadi tujuan, banyak yang terjebak pada pemahaman sempit tersebut.

Selain itu adanya pemahamn sempit dalam paradigma proses pencerahan intelektual dalam sekat-sekat bernama ruang kuliah dan khotbah-khotbah dosen. Intinya tanggung jawab akademik tidak dibatasi permasalahn formalitas akademik saja, tetapi lebih kepada bagaimana seorang mahasiswa secara internsif mampu menjamah sumber-sumber intelektual dengan pemahaman holistik dan mengakar sehingga terjadi pencerahan intelektual dalam dirinya.

Pencerahan seorang mahasiswa adalah pencerahan yang terakumulasi dalam eksekutor gerakan dan tindakan, lalu gerakan yang dilandasi pencerahan intelektual tersebut (tanggung jawab akademik) mampu menjadi alternative solusi bagi permasalahn yang terjadi di masyarakat (tanggung jawab social). Proses pencerahan dalam diri mahsiswa yang diperoleh dari pencerahan intelektual yang tujuan besarnya diarahkan mengasah empati, sensitivitas sehingga memicu mahasiswa untuk inisiatif bergerak atau bertindak mengambil tanggung jawab dibidang social, sehingga proses pencerahan tersebut tidak terkubur dalam ruang-ruang kognitif idelaisme, atau kotemplasi intelektual saja yang tak mampu diwujudkan dalam pencerahan tindakan atau gerakan. Karena seperti ungkapan M. Iqbal, “kotempalsi tanpa aksi adalah kematian”

Init dari pembahasan mengenai tanggung jawab social sebelumnya, diharapkan mahasiswa mampu dengan pencerahan yang didapat dari kotemplasi intelektualnya tersebut mampu ditransferkan kepada orang-orang disekitarnya, masyarakat luas atau orang-orang disekitarnya menjadi tercerahkan dan mampu bersikap atas sesuatu yang terajdi disekitarnya secara tepat.

Dari uraian singkat di atas pokok tanggung jawab seorang mahasiswa terletak pada kemampuan menjadi pengelola (manajer) dirinya sendiri yang mengambil tanggung jawab akademik dengan menyerap pencerahan yang terdapat dalam ilmu dan mampu menjadi manajer bagi orang lain dengan menjadi motor dan inspirasi tindakan untuk nelakukan perbaikan social (tanggung jawab social) yang terjadi di masyarakat. Sehingga pembicaraan mahasiswa antara tanggung jawab social adalah bagaimana mahasiswa mampu menyinergikan tanggung jawab akademik dan tanggung jawab social tersbeut, seperti sinerginya kepakan sayap burung yang membawa tubuhnya terbang. Pada akhirnya secara tidak langsung mahasiswa telah mampu menjalankan fungsinya sebagai agent of control dan agent of change.

C. Kekuasaan lewat politik.

Fungsi mahasiswa sebagai kontrol sosial salah satunya dapat dijalankan lewat kekuasaan, dan kekuasaan sepeti disinggung diawal bahwa kekuasaan dapat diraih -salah satunya- melalui politik. Jalur inilah yang menjadi keyakinan Muhammad Abduh, bahwa untuk terjun dalam proses perubahan dan kontrol sosial maka jalur yang terbaik adalah jalur hirarkis kekuasaan (top-bottom), Jika hirarkis kekuasaan telah direngkuh maka untuk melakukan perubahan serta kontrol sosial mudah untuk dilakukan. Dan bukan tidak mungkin bagi mahasiswa untuk terjun menjadi pemimpin atau menjadi penguasa jika kondisinya benar-benar memungkinkan dan mahasiswa dapat memelihara dan mengawal reformasi melalui gerakan politik seperti ini.

Bahkan Fajroel Rachman memberikan komentar tentang pentingnya politik bagi mahsiswa bahwa gerakan mahasiswa seharusnya tidak berhenti sebagai gerakan moral dan gerakan menumbangkan rezim saja, tetapi juga harus merebut dan membangun kekuasaan. Tanpa kekuasaan, tidaklah mungkin bagi mahasiswa untuk mewujudkan cita-cita politiknya. Fajroel Rachman bahkan menyarankan sebagian pergerakan mahasiswa mendirikan partai politik dan menjadi bagian gerakan politik intraparlementer dengan terlibat dalam kancah politik formal sebagai elemen mahasiswa.

Prasangka negatif terhadap gerakan politik kekuasaan maupun terhadap gerakan politik lainnya harus kita singkirkan. Begitu pula sebaliknya. Semua gerakan mahasiswa adalah yang terbaik, sejauh mereka tetap berpegang kepada norma-norma yang berlaku dan tetap santun dalam menyampaikan aspirasinya. Justru, gerakan yang tidak baik adalah gerakan yang acuh tak acuh terhadap politik (apolitis) dan gerakan apatis terhadap realita sosial.

Menurut Arbi Sanit, ada lima sebab yang menjadikan mahasiswa peka dengan permasalahan kemasyarakatan sehingga mendorong mereka untuk melakukan perubahan. Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai pandangan luas untuk dapat bergerak di antara semua lapisan masyarakat. Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama mengalami pendidikan, mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di antara angkatan muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup unik melalui akulturasi sosial budaya yang tinggi diantara mereka. Keempat, mahasiswa sebagai golongan yang akan memasuki lapisan atas susunan kekuasaan, struktur ekonomi, dan akan memiliki kelebihan tertentu dalam masyarakat, dengan kata lain adalah kelompok elit di kalangan kaum muda. Kelima, seringnya mahasiswa terlibat dalam pemikiran, perbincangan dan penelitian berbagai masalah masyarakat, memungkinkan mereka tampil dalam forum yang kemudian mengangkatnya ke jenjang karier.

D.Peran dan fungsi mahasiswa; tinjauan historis.

Sejarah mencatat, mahasiswa tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya bangsa Indonesia. Kebangkitan nasional Indonesia diawali oleh Boedi Oetomo di tahun 1908, dengan dimotori oleh para mahasiswa kedokteran STOVIA dengan tokoh utama adalah dr Soetomo Setelah itu lahirlah organisasi lain semacam Sarikat Islam di Surabaya yang diketuai H.O.S Tjokroaminoto dan Indisce Partij di Bandung.oleh tiga serangkai (Douwes Dekker (Dr. Setiabudhi), R.M. Suwardi Suryaningrat dan Dr. Tjipto Mangunkusumo) dan masih banyak organisasi lainnya.

Pergerakan bangsa Indonesia dimulai dari pergerakan mahasiswa. Jauh sebelum proklamasi kemerdekaan, mahasiswa dan pemuda telah memiliki idealisme kebangsaan yang sangat kental dengan tekad mempersatukan wilayah nusantara sebagai satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa melalui konsep Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober tahun 1928. Gerakan-gerakan perlawanan terhadap tindak penjajahan oleh Belanda dan Jepang telah diilhami oleh konsep Sumpah Pemuda yang merupakan salah satu karya terbaik anak bangsa. Akhirnya, upaya mahasiswa termanifestasikan dalam pembacaan teks proklamasi oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945.

Dibawah kepemimpinan Soekarno, Indonesia berhasil mempertahankan kemerdekaannya dari tangan-tangan asing yang ingin masuk lagi ke Negara kita dan Indonesia berhasil diakui oleh dunia luar sebagai sebuah negara baru, tetapi sayang gaya kepemimpinan Soekarno yang sebelumnya demokratis menjadi otoriter Akhirnya di tahun 1966 terjadi huru-hara pemberontakan G30S/PKI .dan ditahun itu pula Soekarno harus mundur dari kursi peresiden RI akibat tuntutan akan perubahan dari mahasiswa dan pemuda yang sangat besar.

Akhirnya Soeharto naik menjadi Presiden baru dan tentu saja didukung penuh oleh militer. Hal ini menandakan berakhirnya Orde Lama dan diganti dengan Orde Baru. Tetapi sayang, penguasa Orde Baru mendepak para pemuda dan mahasiswa yang telah berperan dalam pergantian kepempinan dari Soekarno ke Soeharto, bahkan sejak akhir tahun 1970-an para mahasiswa dibatasi geraknya dalam berpolitik dan dikungkung ke dalam ruang-ruang kuliah di kampus. Sebaliknya tentara mempunyai peran yang lebih besar dalam masyarakat akibat dua perannya di Sipil ataupun di Militer (Dwifungsi ABRI).

Ternyata gaya kepemimpinan Soeharto jauh lebih otoriter, sehingga hak-hak masyarakat banyak yang dibatasi. Sikap represif para penguasa Orde Baru menyebabkan banyak mahasiswa yang ditangkap, tindakan seperti ini seakan mengaborsi lahirnya pemikiran-pemikiran kritis mahasiswa ketika itu.

Keotoriteran ini bertahan sampai 32 tahun lamanya dan Akhirnya di tahun 1998 “borok” orde baru keluar semua akibat krisis moniter yang menimpa kawasan dunia termasuk Indonesia. Indonesia yang banyak hutang dan pemerintahan yang penuh KKN menyebabkan ahasiswa dan pemuda protes dan menuntut turunnya Soeharto.

Akhirnya Soeharto turun 21 Mei 1998 dan menandakan berakhirnya orde baru di ganti dengan orde reformasi. Setelah Soeharto turun berturut-turut yan menjadi presiden adalah Baharuddin Jusuf Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri dan sekarang adalah Susilo Bambang Yudhoyono.

Yang menjadi permaslahan saat ini adalah bahwa pergerakan-pergerakan mahasiswa yang menghiasi cakrawala kehidupan berbangsa dan bernegara sampai saat ini dari pergerakan mahasiswa setelah bergulirnya sejak reformasi pada tahun 1998 nampaknya dihadapkan pada pluralitas gerakan yang sangat tinggi.

Harus kita akui bahwa jalur politik telah dipakai dan terbukti ampuh dalam menghancurkan sebuah hegemoni dan rezim otoriter. Dalam sejarah perjalanan bangsa pasca kemerdekaan Indonesia, mahasiswa merupakan salah satu kekuatan pelopor di setiap perubahan. Sepanjang itu pula mahasiswa telah berhasil mengambil peran yang signifikan dengan terus menggelorakan energi “perlawanan” dan bersikap kritis membela kebenaran dan keadilan.

Salah satu yang perlu diingat dalam setiap dinamika kebangsaan, peran pemuda dan mahasiswa memang tidak pernah absen. Tetapi selama ini peran mereka hanya sebatas “menurunkan dan mengganti sopir”, kemudian mendorong mobil Indonesia hingga bisa jalan lagi, saat sopir baru perlu adaptasi mengemudi, karena sering tak pernah berpengalaman “nyopir” negara. Setelah mobil jalan, mereka ketinggalan dalam cucuran keringat, kehabisan tenaga bercampur dengan asap knalpot mobil yang sudah melesat jauh meninggalkannya.

BAB III

Pergerakan Politik Mahasiswa

Pergerakan mahasiswa. Sebuah istilah yang dari masa ke masa senantiasa disertai diskursus wacana yang tajam mengenai fungsi dan perannya. Diskursus ini menjadi urgen karena ia akan sangat berkaitan dengan jati diri dan karakter pergerakan mahasiswa itu sendiri. Perdebatan yang terjadi biasanya dalam mendefinisikan dan mendeskripsikan gerakan mahasiswa, terutama berkaitan dengan karakter pergerakannya. Yaitu, apakah pergerakan mahasiswa adalah gerakan moral atau gerakan politik? Atau kedua-duanya

Apa yang harus dilakukan mahasiswa sekarang ini? tentu saja belajar dan yang tak kalah penting adalah kepekaan dan kepedulian mahasiswa terhadap masyarakat. Jangan sampai mahasiswa tak uabhnya seperti robot yang tidak mempunyai perasaan, tahunya hanya menjalankan perintah. Menjadi mahasiswa yang merakyat yang peduli akan kepentingan rakyat, Karena mau tidak mau pergantian pemegang tongkat estafet generasi pasti terjadi. Dan mahasiswa yang akan menerima pergantian estafet itu.

A.Gerakan politik nilai Vs gerakan politik kekuasaan

Sebenarnya, ada titik temu di antara dua aliran pergerakan-pergerakan mahasiswa di atas (pergerakan moral dan pergerakan politik) karena kedua-duanya juga meyakini gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral yang universal. Perbedaan terjadi berkaitan dengan gerakan politik yang dilakukan mahasiswa. Apakah itu sesuai dengan jati diri dan karakter pergerakan mahasiswa?

Perbedaan pandangan di atas menyebabkan mahasiswa terpolarisasi dalam dua kutub yang berlawanan. Karena itu, kita perlu melakukan redefinisi, paradigma baru pergerakan mahasiswa dalam rangka rekonstruksi jati diri dan karakter pergerakan mahasiswa Indonesia. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya rekonsiliasi antarkubu sekaligus langkah awal konsolidasi pergerakan mahasiswa Indonesia yang hari ini terkotak-kotak.

Kalau kita menganalisis secara cerrmsat, aktivitas pergerakan mahasiswa seperti demonstrasi, orasi, seminar, kongres, pernyataan sikap, tuntutan dan lain-lain, sebenarnya merupakan aktivitas politik. Semua itu merupakan sarana komunikasi politik lisan dan tulisan. Jadi secara jujur tak bisa dipungkiri bahwa gerakan mahasiswa merupakan gerakan politik. Namun, gerakan politik seperti apakah yang layak dimainkan pergerakan mahasiswa? Apa yang membedakannya dengan partai politik?

Ada konsep menarik dan menjadi sebuah alternatif yang cerdas. Hal ini berkaitan dengan mencuatnya konsep 'gerakan politik nilai' (value political movement) dan 'gerakan politik kekuasaan' (power political movement).

Gerakan politik nilai adalah gerakan yang berorientasi terciptanya nilai-nilai ideal kebenaran, keadilan, humanisme (kemanusiaan), profesionalitas dan intelektualitas dalam seluruh aspek pengelolaan negara. Sedangkan gerakan politik kekuasaan merupakan gerakan politik untuk mencapai kekuasaan seperti yang dilakukan oleh partai-partai politik.
Gerakan mahasiswa sebagai gerakan politik nilai ini tidak mempedulikan siapa yang berkuasa, karena siapa pun yang berkuasa akan menjadi sasaran tembak ketika melakukan penyimpangan. Ia tidak berkepentingan mendukung seseorang untuk menjadi penguasa, tapi siapa pun penguasa yang otoriter akan berhadapan dengan gerakan mahasiswa.

Hal tersebut jelas berbeda dengan ketika gerakan mahasiswa menjadi gerakan politik kekuasaan, karena ia sangat peduli siapa yang berkuasa dan senantiasa berusaha merebut kekuasaan itu, atau berusaha terus mempertahankan kekuasaan itu ketika ia menjadi penguasa atau membela organisasi/partai yang menjadi patronnya ketika menjadi penguasa. Gerakan politik nilai mahasiwa bersifat independen, tidak mendukung calon penguasa dan tidak masuk ke dalam sistem pemerintahan atas nama pergerakan mahasiswa. Karena, jika hal tersebut dilakukan, fungsi controlnya hilang dan tugas utama mahasiswa, yaitu belajar, menjadi terbengkalai.

Namun, ketika gerakan mahasiswa sebagai gerakan politik nilai, gerakan ini lebih memainkan fungsinya sebagai kontrol sosial dan tekanan sosial (social pressure) terhadap kekuasaan. Kalaupun gerakan menukik menjadi tuntutan mundur penguasa, itu didasari standar nilai yang jelas bahwa pemerintah sudah tak mampu dan bukan dalam rangka menaikkan seseorang menjadi penggantinya.

Gerakan politik kekuasaan biasanya tidak independen karena kepentingannya sempit: kekuasaan. Jika gerakan mahasiswa menjadi gerakan politik kekuasaan, maka bukan merupakan hal yang tabu untuk mengatasnamakan aktivis gerakan mahasiswa dalam rangka mendukung calon penguasa atau masuk ke dalam sistem, atau membela penguasa/partai yang merupakan patronnya.
Idealnya gerakan mahasiswa selain sebagai gerakan moral, juga merupakan gerakan politik nilai dan bukan gerakan politik kekuasaan. Gerakan politik kekuasaan merupakan area concern partai politik dan bukan untuk gerakan mahasiswa. Jika ada aktivis mahasiswa yang bermain dalam area tersebut, seharusnya tidak mengatasnamakan gerakan mahasiswa, tapi lebih baik bergabung dalam partai politik.

Gerakan politik nilai memang bersentuhan dengan aktivitas-aktivitas politik, menggunakan berbagai sarana komunikasi politik, dan memiliki target-target politik, tapi bukan berkaitan dengan perebutan kekuasaan. Memang dengan demikian, gerakan mahasiswa akan tampak seperti koboi pahlawan yang datang ke kota untuk memberantas bandit-bandit dan penjahat. Setelah bandit-bandit itu kalah, Sang koboi kembali pulang ke padang rumput.

Mahasiswa akan turun ketika menyaksikan rakyat terzalimi oleh bandit-bandit penguasa dan kembali ke kampus untuk belajar setelah rezim itu 'dihajar' dan diberi pelajaran. Lalu, bagaimana sesudah itu? Siapa yang akan memimpin kota sepeninggal sang koboi? Siapa yang akan memimpin negeri setelah sang diktator turun? Di sinilah rumitnya. Yang pasti, itu bukan tugas koboi muda karena ia masih harus belajar sehingga suatu saat nanti sampai masanya dia memimpin kota.

Itu bukan tugas gerakan mahasiswa, ia masih punya tugas akademis dan pembelajaran kaderisasi kepemimpinan di kampus yang menjadikannya siap sebagai para pemimpin masyarakat yang memiliki konsistensi idealisme seperti ketika masih di kampus.

Masalah kekuasaan lebih merupakan tugas partai politik. Gerakan mahasiswa hanya bertanggung jawab mengontrol dan mengawal transisi dan perkembangan demokrasi supaya tetap pada relnya, terlepas dari siapa yang berkuasa. Dalam pelaksanaannya, bukanlah hal yang tidak mungkin untuk berkoordinasi dengan partai politik, LSM dll ketika lembaga-lembaga tersebut menjunjung nilai-nilai moral universal seperti gerakan mahasiswa.

Meskipun demikian, ada pertanyaan yang muncul dan menggelitik. Mungkinkah terjadi suatu kondisi luar biasa memaksa keterlibatan mahasiswa untuk terjun menjadi para pemimpin negara? Menurut hemat penulis mungkin-mungkin saja. Hanya saja, mereka harus siap dengan konsekuensi seperti yang disampaikan Imam Syafi'i : Apabila orang muda terlalu cepat tampil menjadi pemimpin, maka ia akan kehilangan banyak waktu untuk ilmu!. Meskipun demikian, bukan hal yang mustahil pula seorang muda mengakselerasi kematangannya melalui tradisi ilmiah dan pergolakan social yang kental.

B. Gerakan mahsiswa diperismpangan jalan

(berdasarkan hasil jajak pendapat Litbang Kompas).
Sebagai sebuah kekuatan politik, gerakan organisasi kemahasiswaan masih memiliki legitimasi moral yang kuat. Sayangnya, meskipun harapan tinggi masih diletakkan ke pundak mahasiswa, ada kecenderungan gerakan politik mahasiswa kian melempem dalam menanggapi berbagai permasalahan riil bangsa saat ini.

Mantan Ketua MPR Amien Rais yang pernah menjadi ikon gerakan Reformasi 1998, dalam seminar mahasiswa akhir 2005, menilai, gerakan mahasiswa pascakejatuhan Soeharto telah berubah. Gerakan mahasiswa yang dulu bersemangat, kini seperti ”mati suri”. Aksi demonstrasi yang dilakukan untuk kepentingan rakyat tak banyak digelar, dan mahasiswa lebih banyak dibelenggu kemewahan hidup akibat kapitalisme (Kompas, 19-12-2005)

Terlepas dari benar atau tidaknya stetment Amien, pandangan yang sama agaknya kini juga dirasakan publik. Separuh bagian (50 persen) responden jajak pendapat menilai peranan mahasiswa dalam menyikapi berbagai kondisi bangsa semakin turun, meski 45,4 persen responden berpendapat sebaliknya. Kiprah gerakan politik mahasiswa yang sebelumnya bersemangat menyuarakan reformasi semakin sayup terdengar. Setelah rezim Soeharto tumbang, praktis tidak tampak lagi kebersamaan kaum muda memelihara hasil reformasi.

Aksi yang dilakukan dalam menyikapi kebijakan pemerintah tidak lagi memiliki kekuatan signifikan. Seandainya ada, relatif dilakukan terpecah-pecah dan tidak ada gerakan terpadu. Dalam pandangan sebagian responden (43 persen), kondisi demikian digambarkan sebagai gerakan politik yang terkotak dalam politik aliran tertentu.

Akibatnya, berbagai kebijakan publik yang semestinya mendapat kontrol ketat bisa lolos dengan relatif mulus. Kenaikan harga BBM, kenaikan tunjangan anggota DPR, gagalnya usulan hak angket dan interpelasi DPR merupakan contoh mandulnya kontrol kebijakan lewat jalur birokrasi dan parlemen. Jalur kontrol kebijakan publik melalui birokrasi dan parlemen sulit diandalkan.

Harapan terhadap revitalisasi peranan mahasiswa melalui organisasi kemahasiswaan tercermin dari ketidakpuasan publik yang membesar terhadap kiprah mahasiswa. Demikian juga sikap kritis gerakan politik mahasiswa dalam menyikapi kinerja pemerintah, DPR, maupun lembaga penegak hukum, digugat sekitar seperempat bagian responden (22-27 persen). Besarnya proporsi sikap kurang puas responden dalam menilai gerakan organisasi mahasiswa, meski tidak dominan, bermakna signifikan mengingat citra dan apresiasi gerakan mahasiswa selama ini mendapat nilai positif yang tinggi dari masyarakat. Sebanyak 71,2 persen responden masih menilai citra organisasi mahasiswa baik dan 21 persen menilai buruk.

Sementara itu, organisasi mahasiswa yang pada masa lalu telah turut memainkan peranan penting dalam sejarah perubahan kondisi bangsa ini, juga semakin tidak terdengar. Penilaian kepuasan terhadap Himpunan Mahasiswa Islam, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi,. Relatif besarnya jumlah responden yang mengatakan tidak tahu mengenai gerakan mereka, menunjukkan kian tak terdengarnya kiprah mereka di panggung sosial politik.Boleh jadi, faktor pengenalan terhadap organisasi mahasiswa turut memengaruhi penilaian.

Tak bisa dimungkiri, harapan yang ditumpukan kepada mahasiswa sebagai kekuatan pengubah dan pembaru tak lepas dari peranan mahasiswa dalam setiap momen penting bangsa ini. Sejak masa kemerdekaan, Orde Lama hingga Reformasi, gerakan mahasiswa senantiasa memberi ide persatuan nasional, sikap kritis terhadap kekuasaan yang menindas, dan keberpihakan yang tegas kepada kepentingan rakyat.

Di sisi internal mahasiswa, menurunnya persatuan gerakan mahasiswa (dan pemuda) setelah tumbangnya Orde Baru membuktikan sulitnya institusi kepemudaan dan mahasiswa bersatu dalam menghadapi persoalan masyarakat yang lebih riil. Penonjolan kepentingan dan visi kelompok senantiasa muncul bagaikan duri dalam daging dari sejarah pergerakan politik mahasiswa. Demikian juga potret saat ini, di tengah ”mati suri” aksi mahasiswa, sebagian responden (40,2 persen) menilai gerakan mahasiswa masih didominasi kepentingan dan visi kelompok.
Persoalan berikutnya terkait kompetensi intelektual mahasiswa sebagai kelompok yang masih harus menekuni studi keilmuannya dan mengejar prestasi. Sejauh ini peranan organisasi mahasiswa dinilai kurang menyentuh dimensi intelektualitas ketimbang dimensi sosial dan politik. Hanya 52,8 persen responden yang memberi apresiasi terhadap peran organisasi mahasiswa mengembangkan intelektualitas dibandingkan peran dalam sosial kemasyarakatan (61,2 persen) dan peran dalam gerakan politik (64 persen).

Kompetensi menjadi berarti, karena pada gilirannya mahasiswa dituntut mampu bersaing dalam pasar kerja dan hidup mandiri. Opini dari jajak pendapat September 2003 memperlihatkan pesimisme publik memandang tingkat kompetensi dan kemandirian mahasiswa masa kini. Lebih banyak responden yang sependapat bahwa mahasiswa kurang mandiri (48 persen, dibanding 44 persen yang mengatakan sudah mandiri); tidak bisa bersaing dengan mahasiswa luar negeri (48 persen dibanding 48 persen yang berpendapat sebaliknya), dan akhirnya tidak bisa turut menciptakan lapangan kerja (50 persen dibanding 46 persen yang mengatakan sebaliknya).

Minimnya kompetensi intelektual diperparah dengan sikap sebagian mahasiswa yang terlibat dalam tawuran di kampus, penyalahgunaan narkotika, maupun gaya hidup asosial dan hura-hura.
Kemurnian gerakan mahasiswa sering menjadi pertanyaan, apakah aktivitas di dalam gerakan organisasi mahasiswa murni didasarkan keinginan melakukan perubahan kondisi yang lebih baik, ataukah sekadar sebagai batu loncatan meraih kekuasaan atau kedekatan politik dengan pusat kekuasaan. Fenomena aktivis mahasiswa ’98 yang menjadi caleg pada Pemilu 2004 menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi publik percaya mereka memiliki idealisme dan komitmen membela rakyat, sehingga mampu memperbaiki sistem dari dalam.

Namun di sisi lain, kondisi tersebut rawan godaan dan iming-iming materi yang mengaburkan komitmen awal mereka. Seperti sinyalemen Amien Rais, gerakan mahasiswa masa kini pasif, karena manusianya sedang dibelenggu kenyamanan hidup. (Litbang Kompas)

BAB IV

GERAKAN POLITIK: sebuah pilihan alternative atau pilihan utama

A.Salah satu jalan dan bukan satu-satunya.

Selama ini, seperti ada penilaian lebih (high quality) kepada mahasiswa yang aktif pada kegiatan-kegiatan politik, baik di dalam (intra) maupun di luar (ekstra) kampus. Bahkan, gelar aktivis tereduksi dengan diidentikkan kepada mereka yang bersedia jatuh bangun dalam aktivitas politik. Dari beberapa segi, penilaian lebih itu wajar, terutama jika didasarkan adanya posisi atau jabatan strategis dan populis yang diberikan sebagai pahalanya.

Para mahasiswa dituntut untuk mengekspresikan diri semaksimal mereka mampu dengan meninggalkan gaya ASB (“Asala Bapak senang”) atau mengekor di belakang orang lain. Sudah bukan masanya lagi mahasiswa hanya datang ke kampus, duduk mendengarkan dosen berbicara, mendatangi perpustakaan sekedar mencari bahan paper yang tiap hari harus dikumpul untuk kemudian pulang ke kos, berleha-leha, main games, nonton TV atau malah sekedar pacaran sana sini. Sungguh itu sudah tidak lagi pada tempatnya.

Tuntutan saat ini mahasiswa harus belajar secara komprehensif, mencoba menelaah dan menganalisa setiap kejadian yang mereka hadapi atau bahkan suatu kali mereka perlu untuk membuat terobosan isu demi menembut otoritas kaku yang bercokol seolah tak terkalahkan. Gerakan-gerakan yang dilakuakn oleh mahasiswa adalah ladang pembelajaran meski mata kuliahnya tidak terhitung sekian SKS.

Bagaimana pun tidak bisa dipungkiri mahasiswa harus belajar berpolitik karena kehidupannya pasca kampus adalah kehidupan penuh politik, meski mereka bermain di dunia bisnis sekalipun. Phobi terhadap dunia politik sungguh bukan merupakan satu hal yang menguntungkan karena hal itu hanya akan semakin menenggelamkan mahasiswa itu sendiri pada keterpurukan berkepanjangan. mahasiswa tersebut akan mendapati dirinya sebagai kelompok yang merugi di kemudian hari. Secara empiris bisa diambil bukti output atau hasil dari mahaisiswa yang aktif dalam pembelajaran politik dengan mahasiswa yang hanya study oriented selama masa kuliahnya.

Namun, disisi lain ada alasan tersendiri untuk tidak terjun pada politik. Jangan sampai tugas utama mahasiswa sebagai akademisi dan memegang amanah orang tuanya terbengkalai karena aktivitas politik. Benar bahwa poitik merupakan proses yang memberikan dinamisasi karakter, kedewasaan, wacana, dan intelektualitas pada mahasiswa. Juga benar bahwa politik adalah wilyah yang serius, rumit, sekaligus panas, sehingga membutuhkan individu-individu yang berkualitas dan tahan banting. Namun, yang lebih benar, aktivitas politik bukanlah satu-satunya pilihan bagi mahasiswa untuk menempa diri dalam mendapatkan prestasi.

Banyak aktivitas lain yang dapat dijadikan sarana berekspresi dan tetap memberikan nilai lebih kepada mahasiswa. Jika didasarkan pada beragamnya minat, bakat, dan latar belakang disiplin ilmu di perguruan tinggi, berpolitik tidak lebih merupakan satu pilihan saja. Mahasiswa juga dapat menjalani aktivitas-aktivitas lain sebagai pilihan untuk berekspresi sesuai minat, bakat, dan latar disiplin ilmu masing-masing. Bahkan, melihat kondisi objektif sekarang ini, aktivitas politik bisa jadi merupakan pilihan yang dapat dikesampingkan, kalau bukan malah harus ditinggalkan.

Beberapa alasan bisa dikemukakan untuk mendasarinya. Pertama, aktivitas politik di tingkat mahasiswa umumnya hanya menjadi ajang mencari patron politik pada elite kekuasaan. Gerakan politik mahasiswa yang ideal didasari tanggung jawab moral dan independen, beradaptasi dengan kepentingan elite yang menjadi patronnya. Akibatnya, gerakan politik mahasiswa merapat dengan elite dan tidak lagi mengedepankan kepentingan dan aspirasi masyarakat.
Kedua, aktivitas politik juga membutuhkan pengorbanan dan ongkos mahal (high cost). Pengorbanan dan ongkos yang mahal itu mutlak diperlukan untuk mobilitas politik. Hukum politik menuntut mahasiswa terjun total. Sebab, bertindak setengah-setengah dalam aktivitas politik hanya akan menempatkan seseorang sebagai -meminjam istilahnya Antonio Gramsci- cacing-cacing tanah yang tidak akan pernah tercatat dalam sejarah.

Nah, dalam dalam totalitas itulah mahasiswa harus rela berkorban dan sudi mengeluarkan ongkos yang mahal: kuliah acap terganggu sehingga studi menjadi lama dan tentu saja biayanya akan bertambah. Meskipun dengan aktivitas politik manfaat-manfaat pragmatis bisa diperoleh, itu baru didapat setelah mahasiswa lebih dulu berinvestasi dengan memberikan pengorbanannya. Suatu kondisi yang sulit dihadapi dan ditanggung mahasiswa, khususnya yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah.

BAB VI

PENUTUP

A.Kesimpulan.

Ini tentang sebuah pilihan, semua pilihan mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Terserah akan menjadi mahasiswa akademis saja tanpa terjun pada politk, atau sebaliknya. Semuanya mempunyai resiko tersendiri. Tapi yang penulis tekankan kita harus tetap sadar pada tugas utama seorang mahasiswa yaitu belajar sebab itulah amanah yang pertama dipikul oleh seorang mahasiswa dari orangtuanya.

Selain itu, modal dasar yang harus dipegang dalam dasar gerakan mahasiswa harus bertumpu pada yaitu: yang pertama, Vision, yakni membangun tradisi intelektual dan wacana pemikiran melalui intelectual enlightement (pencerahan intelektual) dan yang kedua, intelectual enrichment (pengkayaan intelektual). Strategi pendekatan yang digunakan untuk pemaksimalan potensi kesadaran dan penyadaran individu yang memungkinkan terciptanya komunitas ilmiah.
Yang ketiga, Value hal yang sangat penting, value ialah usaha untuk mempertajam hati nurani melalui penanaman nilai-nilai moral agama sehingga terbangun pemikiran dan konseptual yang mendapatkan pembenaran dari Al Qur’an. Selain value juga yang tak kalah penting adalah Courage atau keberanian dalam melakukan aktualisasi program, misalnya dalam melakukan advokasi terhadap permasalahan masyarakat dan keberpihakan ikatan dalam pemberdayaan umat.

B.Saran.

Yang jangan pernah dilupakan adalah tugas utama dan tugas imti seorang mahasiswa. Tugas utama adalah sebagai akademisi; belajar. Sedangkan tugas inti Mahasiswa, bagaimana mengoptimalkan keseluruhan peran dan fungsi sebagai mahasiswa. Fungsi yang dimaksud adalah, fungsi cadangan masa depan (iron stock), fungsi agen perubah (agent of change), fungsi agen pengontrol (agent of change). Kata kuncinya adalah menjadi pembelajar sejati, sehingga mahasiswa mampu memiliki kedewasaan yang jauh meninggalkan umurnya dan pandangan-pandangan yang jauh meninggalkan zamannya. Agar mahasiswa senantiasa siap memenuhi panggilan kehidupan untuk menoreh sejarah kepahlawanan sebagai pemimpin sejati! Semoga saja!

Wallohu muwafiq ila aqwaami toriq. Allahu Akbar!

PUSTAKA ACUAN.

1.Al-Quran Nurkarim.

2.Covey, Sean, “The 7 Habits of Highly Effective Teens”, Jakarta: Binarupa Aksara, 2003.

3.Hakim, Masykur,Ph.d. “Pergolakan Reformasi dan strategi HMI” Jakarta: Al-ghazaly, 2001.

4.Arbi Sanit, Pergolakan Melawan Kekuasaan Gerakan Mahasiswa Antara Aksi Moral dan Politik, 1999.

5.Djibran, Fahd. “Being Superstar”, Bandung : PT Mizan Bunaya Kreativa, 2005.

6.Anwar, Yozar. “Angkatan 66; Subuah Catatan Haraian Mahasiswa”, Jakarta PT Djaya Pirusa, 1981.

7.Feith, Herbert & Lance Castle, 1996.“Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965”. Jakarta:LP3ES.

8.Cahyono,Imam.¬¬¬¬¬ “Melacak “Akar” Ideologi Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia”

9.Harian Kompas. Edisi 10 Mei 2006

10.Harian Republika.

11.Harian Pikran Rakyat. Suplemen Kampus, Edisi 6 April 2006.

12.--------------------------------------------------, Edisi 18 Mei 2006.

13.--------------------------------------------------, Edisi 20 Juli 2006.

14.--------------------------------------------------, Edisi 10 Agustus 2006.


15.--------------------------------------------------, Edisi 14 September 2006.

16.http://www.republika.com

17.http://www.kammi.or.id

18.http://www.solid.or.id

19.http://oki-sukirman.blogpot.com
2 comments 

2 comments:

SEKJEN PENA 98 mengatakan...

Memang banyak yang pergi
Tidak sedikit yang lari
Sebagian memilih diam bersembuyi
Tapi… Perubahan adalah kepastian
dan untuk itulah kami bertahan
Sebab kami tak lagi punya pilihan
Selain terus melawan sampai keadilan ditegakan!

Kawan… kami masih ada
Masih bergerak
Terus melawan!
www.pena-98.com
www.adiannapitupulu.blogspot.com

SEKJEN PENA 98 mengatakan...

Memang banyak yang pergi
Tidak sedikit yang lari
Sebagian memilih diam bersembuyi
Tapi… Perubahan adalah kepastian
dan untuk itulah kami bertahan
Sebab kami tak lagi punya pilihan
Selain terus melawan sampai keadilan ditegakan!

Kawan… kami masih ada
Masih bergerak
Terus melawan!
www.pena-98.com
www.adiannapitupulu.blogspot.com