Oleh: Oki Sukirman*
Ada Adagium lama mengatakan, bahasa menujukan jati diri atau indentitas suatu bangsa, maka sudah menjadi kelaziman setiap negara mempunyai bahasa tersendiri sebagai bahasa sehari-hari (bahasa nasional), bahasa adalah alat untuk manusia berkomunikasi, selain itu juga bahasa merupakan alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial, untuk menyatakan ekspresi diri, dan untuk mengadakan kontrol sosial. (Gorys Keraf.1997:3).
Sangat pentingnya peranan bahasa dalam kahidupan manusia, pada akhirnya bahasa bisa menujukan kebudayaan suatu bangsa, semakin banyak dan ragam bahasa pada sebuah bangsa, maka semakin tinggi kebudayaan yang dimilikinya. Sebab melalui bahasa, kebudayaan suatu bangsa dapat dibentuk, dibina dan dikembangkan serta dapat diturunkan kepada generasi-generasi yang akan datang. (Gorys Keraf, 1997: 3)
Oleh karenanya sejatinya, bagi setiap masyarakat hendaknya bangga dan senantiasa melestarikan nilai luhur kebudayaannya, bangsa Indonesia merupakan negara yang multiculture, beraneka ragam suku-suku yang tersebar dari mulai sabang sampai merauke dengan kekayaan bahasa yang cukup banyak dan bahasa telah menjadi simbol sebuah kebudayaan suatu suku atau ras dan inilah yang menjadi kekhasan dan keunikan bangsa Indonesia.
Setiap suku di Indonesia mempunyai bahasa yang beraneka ragam dan berbeda-beda, hal ini adalah kekayaan bangsa Indonesia sebagai warisan leluhur yang harus senantiasa dilestarikan. Misalnya, suku Sunda dengan bahasa Sundanya, suku Jawa dengan bahasa jawa, dan masih banyak lagi.
Bahasa Sunda, sebagai kebanggaan.
Tulisan ini bukan usaha pesuasif penulis untuk menumbuhkan rasa kesukuan diatas segalanya (chauvinisme), tetapi penulis mencoba menganalisis eksistensi bahasa sebagai kekayaan kebudayaan suku-suku di Indonesia dari “kontaminasi” globalisasi yang semakin merajalela, khususnya dalam hal ini suku Sunda dengan bahasa Sunda.
Realita saat ini ada kecenderungan para urang Sunda, dengan bahasa Sunda kian terpinggirkan, hal ini disebabkan semakin terkikisnya kesadaran masyarakat Sunda untuk mempertahankan kebudayaan leluhurnya yang menjadi kebanggaan dan identitas tatar pasundan itu, selain karena dipengaruhi oleh arus globalisasi yang semakin deras dengan salah satu prinsipnya yang menghancurkan batas-batas geografis, kultural dan sebagainya, juga tidak adanya usaha yang kuat dari berbagai pihak dan elemen masyarakat untuk mempertahankan jati diri masyarakat Sunda dari “gempuran” globalisasi.
Masyarakat Sunda cenderung memahami kebudayaan sebatas hasil fisik berupa artefak atau jenis-jenis ekspresi seni berupa ritual-ritual. Sehingga bahasa tidaklah menjadi bagian dari kebudayaan yang harus terus dipertahankan dan dilestarikan.
Urang Sunda seharusnya bangga dengan bahasa Sunda, sebab bahasa Sunda sebagai warisan dari leluhur yang mempunyai nilai-nilai luhur pula. Contoh nilai-nilai luhur tersebut dalam bahasa Sunda kita kenal ada istilah undak usuk yang berarti terdapat penyesuaian tingkatan–tingkatan etis dan tidak etis serta sopan dan tidak sopan ketika bahasa Sunda kita diucapkan kepada lawan bicaranya.
Contoh kata makan yang dalam bahasa Sunda yang berarti tuang, neda, emam, dahar, nyatu,. Kata-kata tersebut berbeda-beda pemaknaan serta pemakaiannya, sebagai contoh kata tuang adalah untuk ditujukan kepada yang orang lain atau lebih tua, kata neda tujukan untuk kepada diri sendiri, emam kepada anak-anak atau yang lebih muda dan, nyatu ditujukan untuk yang lebih rendah derajatnya seperti binatang.
Dan tentu saja tidak etis dan menyalahi tata kesopanan, jika salah satu kata ditukarbalikan. Seperti kata nyatu ditujukan kepda orang tua kita atau sebaliknya kata tuang kepada hewan paiaran kita. Disinilah yang menjadi kelebihan bahasa Sunda dari yang lainnya. Bahasa Sunda mempunyai nilai-nilai tata sopan santun, penghormatan dalam berkomunikasi.
Tapi kebanggaan yang seharusnya ada pada masyarakat Sunda itu seperti telah menjadi barang langka yang sulit ditemukan, lihat saja sekarang para anak muda di daerah-daerah yang –justru- basis kesundaannya yang kuat, “kesundaannya” sudah mulai luntur, jika tidak merasa malu untuk menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa pergaulan sehari-hari juga ada perasaan gengsi pada diri mereka dengan adanya embel-embel bahwa orang yang berbahasa Sunda adalah “orang kampung”, sehingga bahasa pergaulan sehari-hari mereka berubah dengan bahasa-bahasa yang –katanya- modern dan gaul.
Fenomena bahasa-bahasa gaul yang merebak atau fenomena bahasa “Loe-Gua” merupakan salah satu sebab terkikisnya kebanggaan masyarakat Sunda terhadap bahasa Sunda. Coba anda dengarkan bahasa pergaulan sehari-hari para kawula muda di sekolah-sekolah, mal-mal, jalan-jalan dan lainnya, sedikit sekali yang masih menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa-bahasa sehari-hari.
Penulis mempunyai pengalaman yang lucu kaitannya dengan bahasa Sunda yang sudah jarang digunakan, ketika penulis hendak makan di sebuah rumah makan khas Sunda di salah satu pusat pembelajaan, justru pelayan yang menawarkan makanan kepada penulis tidak dengan bahasa Sunda, bukan kalimat: “bade mesen naon kang? Yang keluar dari mulut pelayan rumah makan khas Sunda tersebut adalah mau pesan apa mas?.
Sebuah keanomalian, contoh konkret dalam kehidupan sehari-hari, sebuah rumah makan yang nyata-nyata berlabel rumah makan khas Sunda justru ternyata mereka hanya menjual makanan dan minuman khas Sunda saja, tanpa disertai dengan usaha untuk “menjual”, memperkenalkan dan melestarikan budaya Sunda itu sendiri kepada para pengunjungnya.
Sebuah Kekhawatiran.
Benar, ini merupakan sebuah kekhawatiran tersendiri bagi warga Sunda, bisa jadi duapuluh tahun kedepan bahasa Sunda menjadi bahasa yang asing bagi masyarakat Sunda sendiri.
Untuk mencari akar permasalahan dari fenomena ini, menurut penulis diperlukan melalui dua pendekatan. Pertama, melalui pendekatan kultural (culture approach). Telah disinggung diawal dengan adanya arus globalisasi memaksa kultur Sunda berubah wajah, saat ini para orang tua tidak lagi intens dan giat mengajarkan kepada anak-anaknya untuk membimbing dan menanamkan kebanggan berbahasa Sunda sejak dini kepada anak-anaknya, buktinya dikota-kota besar di Jawa Barat hampir rata-rata bahasa disetiap keluarga Sunda sudah beralih menggunakan bahasa Indonesia, memang penulis tidak menafikan bahwa bahasa Indonesia adalah penting sebagai bahasa nasional, tapi disamping itu perlu juga kiranya masyarakat Sunda melestarikan bahasa Sunda sebagai identitas dirinya.
Kedua, melalui pendekatan struktural (structural approach), Disinilah perlu adanya campur tangan dari pemerintah, dalam hal ini adalah pemerintah Jawa Barat. Pemerintah sebagai regulator dan pembuat kebijakan, perlu membuat sebuah peraturan atau kebijakan dalam rangka menjaga dan melestarikan budaya Sunda asli, misalnya dengan mengaktualisasi pola belajar mengajar di sekolah-sekolah dari mulai tingkat dasar sampai tingkat atas, agar pelaksanaan kurikulum pembelajaran mata pelajaran bahasa Sunda dibeberapa sekolah berjalan dengan efektif atau mewajibkan kalangan para pejabat dalam bahasa “kerja dinasnya” atau dalam rapat-rapat formal menggunakan bahasa Sunda. Memang terlihat sepele dan aneh tapi lebih baik terlambat dan dianggap aneh toh ini merupakan usaha untuk melestarikan yang menjadi budaya asli Sunda.
Memang lewat pendidikanlah salah satu jalan yang efektif untuk melestarikan bahasa Sunda, Sebab Sebagaimana yang dikatakan Bourdieu (1984) dalam Distinction: A Social Critique of the Judgment of Taste, bahwa kebutuhan budaya termasuk kebutuhan pada segala sesuatu yang berkaitan dengan “rasa” dan merupakan hasil pengondisian dan pendidikan.
Selain itu juga Ahmad Syafii Ma’arif (2001) menambahkan bahwa pendidikan merupakan sebuah wahana yang paling efektif untuk internalisasi nilai-nilai (values), karena dalam pendidikan terjadi proses transfer of knowledge (transfer pengetahuan), transfer of skill (trasnfer keterampilan) dan yang terpenting adalah terjadinya transfer of values (transfer niali-nilai normatif).
Sebab ketika proses pendidikan hanya sebatas pengajaran dengan menitikberatkan transfer of knowledge dan transfer of skill, meminjam istilah Paulo Freire, siswa didik akan menjadi manusia yang hanya memiliki kesadaran magis, pada akhirnya para siswa hanya bergumul pada sekedar pemenuhan dan pengguguran kewajiban belaka tidak atas dasar melestarikan dan mempertahankan nilai-nilai normatif pada bahasa Sunda.
Pentingnya pendidikan khsusunya pendidikan bahasa Sunda tergambar dari hasil Kongres Bahasa Sunda (KBS)VIII di Subang pada bulan Juli 2005, yang merekomendasikan bahasa Sunda harus menjadi pelajaran wajib mauatan lokal di sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), dan sekolah menengah umum (SMU), selain itu juga ditetapkan adanya standar ketuntasan belajar minimal (SKBM) yang harus dicapai oleh seorang siswa, misalnya seorang siswa bisa dikatakan menguasai bahasa asli etnik Sunda jika mendapatkan nilai diatas 5. (Media Indonesia 03/03/07).
Diharapkan dengan tingginya standar ketuntasan belajar minimal (SKBM), bahasa Sunda tidak lagi dimarginalkan, dianggap enteng dan tidak penting, hal inilah yang menyebabkan semakin rendahnya penguasaan bahasa Sunda dikalangan siswa. Konsekuensi dari tingginya nilai standar, para siswa dipacu untuk sungguh-sungguh mempelajari bahasa Sunda.
Pada dasarnya usaha pendidikan dalam upaya menumbuhkembangkan kebanggaan berbahasa Sunda tidak akan berhasil jika tidak ada dukungan-dukungan sebagai upaya mensukseskan pendidikan itu sendiri misalnya dengan memperkaya literatur-literatur dan buku berbahasa Sunda sebagai bahan bacaan dan acuan, mengadakan seminar-seminar dan lokakarya tentang kesundaan, mengapresiasikan segala kebudayaan Sunda dengan menampilkan acara-acara kesundaan dan lain sebagainya.
Penulis memberikan apresiasi yang positif terhadap perkembangan Tv lokal saat ini khususnya di Jawa Barat, diharapkan lewat Tv lokallah kebudayaan dan jati diri urang Sunda tetap terjaga dan dilestarikan. Sebagai contoh, upaya penggunaan bahasa Sunda sebagai bahasa utama pada Tv lokal merupakan upaya nyata media local itu dalam proses edukasi (pendidikan) untuk membumikan bahasa sunda di “bumi” Sunda.
Dengan upaya dan usaha-usaha yang telah dan akan dijalankan tentu harapan setiap sirah orang Sunda, bahwa jangan sampai bahasa Sunda menjadi bahasa yang asing “di rumah sendiri”. Sebuah keironian jika kita merasa bangga dengan bahasa-bahasa yang –katanya- modern dan gaul tapi justru merasa malu dengan bahasa Sunda yang justru “baju” kita sendiri.
Bahasa Sunda sebagai bentuk nilai luhur dari kekayaan kebudayaan suku Sunda, layaknya dilestarikan bukan karena semata-mata ia merupakan hasil karsa, cipta dan rasa masyarakat Sunda. Tetapi juga merupakan bagian dari pembentukan identitas masyarakat yang menghidupinya. Identitas individu atau kelompok selalu terkait dengan apa yang disebut Paul Ricoeur (1988) sebagai narrative identity. Individu maupun kelompok sosial membentuk identitas dengan menceritakan pelbagai kisah mengenai mereka yang akhirnya menjadi sebuah sejarah.
Jika bahasa Sunda telah menjadi asing, kelak apa yang akan kita ceritakan kepada anak-cucu kita sebagai urang Sunda? bahwa kita urang Sunda tapi tidak bisa berbahasa Sunda? Itukah?...
06/03/2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar