Hidup manusia penuh ketidakpastian, oleh karenanya kehidupan adalah sebuah fenomenologi, pada sisi inilah yang menjadi kekuatan manusia dalam menjalani skenario dan alur yang telah ditetapkan Sang Sutradara. Menjadi kekuatan dibalik ketidakpastian tersebut manusia selalu dan tetap memiliki asa dan harapan.
Bencana adalah sebuah fenomenologi, dan merupakan bagian dari kehidupan manusia. Bencana yang datang bisa bersifat ketidakpastian, ketidakpastian sebab orang tidak tahu kapan bencana itu akan datang. Bencana inilah yang paling besar dipengaruhi oleh faktor dan fenomena alam. Tsunami, gempa bumi, kekeringan, adalah salah satu contohnya. Bencana ini bersifat alami dan tidak bisa manusia ramalkan dan perkirakan sebelumnya yang hanya tinggal menunggu waktu saja.
Namun ada bencana yang bersifat kepastian, bencana yang semula tidak bisa diprediksikan, beralih pada fase kepastian dan bisa diramalkan, Longsor, banjir, adalah salah satu contohnya. Bencana macam inilah yang sebagian besar disebabkan oeh tangan-tangan manusia. Tegasnya karena faktor manusia pada jenis bencana bersifat tidak pasti bisa berubah menjadi sebuah kepastian.
Di Indonesia lengkap sudah bencana itu, dari mulai yang alami karena faktor alam seperti tsunami di Nangroe Aceh Darussalam dan gempa bumi yang terjadi dibeberapa daerah di Jawa, dan ada juga karena faktor ulah tangan-tangan manusia. Seperti saat ini banjir yang melanda sebagian besar daerah di Idonesia bahkan kota metropolitan Jakarta, adalah “tangan-tangan” manusia yang tidak bertanggungjawab yang menjadi faktor utama. Penebangan hutan yang illegal, membuang sampah disungai dan disembarang tempat, menjadikan daerah serapan air menjadi kawasan bisnis dan ekonomis sehingga tidak ada lagi lahan untuk menyerap air hujan. Adalah bukti nyata bahwa “tangan” manusia telah menyebabkan bencana bagi “tangannya” sendiri.
Seiring bencana-bencana yang silih berganti datang. Ada banyak pelajaran yang mesti kita ambil, salah satunya adalah sikap waspada dan mawas diri. Pertama, adalah sikap Waspada diri yang berarti sikap kehati-hatian diri dalam mengahadapi sesuatu, maka sikap waspada ini adalah untuk menuntut manusia agar selalu siap mengahadapi segala fenomena-fenomena alam yang terjadi yang mungkin bisa merugikan, lebih dari itu manusia harus mempunyai kesiapan untuk mengahadapi penderitaan bahkan kematian.
Kita bisa analogikan keharusan adanya sikap waspada dan mawas diri disetiap gerak langkah kita adalah ketika kita hendak tidur. Tanpa kita sadari bahwa tidur adalah kegiatan “perjudian” manusia terhadap tuhan. Yang dianggap “berjudi” sebab ketika kita hendak tidur berarti kita telah menaruhkan segala yang kita punyai termasuk jiwa raga pada “bandar perjudian”. Ya, apakah kita akan diberi kesempatan membuka mata kembali yang berarti dibangunkan lagi atau tidak kita tidak diberi lagi waktu untuk bisa merasakan kenikamatannya. Sebab pada dasarnya tidur adalah “kematian yang tertunda berkali-kali”. Dan kita selalu diberi kesempatan oleh-Nya untuk menikmati hidup dan kembali berjudi, apakah kita akan mempunyai kesiapan setiap saat?.
Sungguh sempurna Islam yang menganjurkan kepada para penganutnya untuk berdo’a setiap hendak ketika hendak tidur, do’a yang dicontohkan oleh rosullulah memilki substansi yang sangat dalam. Doa’ bismika allahuma ahya wa amut, adalah proses penyerahan diri manusia seutuhnya terhadap dzat yang memilikinya, berlindung dengan menyebut nama tuhan ketika kita hidup dan hendak tidur, juga berlindung ketika kita akan mati ketika ia tidur. Do’a tersebut merupakan sebuah kotempolasi yang mendalam untuk manusia bersikap waspada.
Dengan adanya sikap ketidakpastian antara dibangunkan kembali dan tidak, manusia selalu dituntut untuk selalu siap bahkan menyiapkan diri sebelum tidur dalam segala hal. Sikap waspada ini tergambar dari keseharian rosulluloh yang senantiasa merenung barang sejenak sebelum tidur, beliau merenungkan segala amalan-amalan yang telah diperbuatnya dari mulai bangun tidur sampai tidur kembali tak sampai disitu bahkan beliau selalu menuliskan wasiat tiap harinya dalam sebuah buku khsusus, andai saja ia tidak bisa bangun kembali maka cukuplah wasiat itu menjadi pesan terakhirnya. Benar saja ketika rosul meninggal dan buku wasiat itu ditemukan ternyata rosull berhutang sejumlah gandum pada salah seorang yahudi yang termasuk tetangganya.
Kedua, adalah mawas diri atau intropeksi diri. Sikap mawas diri berarti mencoba bercemin dengan segala hal yang telah dilakukan dan apa yang terjadi pada dirinya. Dengan bencana yang terjadi seharusnya menjadi moment mawas diri, apakah bencana yang terjadi dan menimpa kepada kita itu merupakan ujian ataukah karena peringatan dan adzab dari tuhan terhadap perbuatankita.
Bencana jika ditelaah dari perspektif teologis terbagi pada dua macam, pertama bencana yang merupakan diberikan oleh tuhan kepada manusia sebagai sebuah ujian. Mungkin inilah tingkatan yang paling tinggi, segala bencana yang datang adalah sebagai ajang pembuktian diri terhadap keimanan dan ketakwaan manusia terhadap tuhannya. Sepeti halnya seorang pelajar di sekolah yang dalam proses belajar pasti ada ujian, untuk mengukur sejauh mana keberhasilan siswa tersebut dalam proses belajarnya. Begitu juga manusia untuk mengetahui kadar keimanan terhadap tuhannya, maka pasti ia akan diuji dengan sebuah ujian dan salah satunya dengan bencana.
Yang kedua adalah bencana sebagai peringatan, hal ini diberikan oleh tuhan atas segala perbuatan manusia yang melanggar aturan main-Nya (rule of game). Sebagai peringatan agar manusia bertaubat dan kembali pada jalan-Nya.
Tuhan pada dasarnya telah memperingatkan manusia untuk senantiasa hidup waspada dan mawas diri. Sholat merupakan puncak doa manusia untuk menyerahkan hidupnya bagi dzat yang memilikinya. Inna solati manusiki wa mahyaya wa mamati lilahi robil alamin adalah sikap pasrah, tawakal dan penyerahan diri mansia seutuhnya dan seluruhnya terhadap tuhan, sebab manusia sadar pada hakikat segalanya adalah milik Tuhan.
Maka benar shalat dan sabar merupakan senjata yang paling besar bagi umat islam (Q.S 2:153) seorang yang telah meraih makna shalat dan sabar dengan sebenarnya maka ia akan selalu waspada terhadap segala hal yang akan terjadi. Dan akhirnya sikap waspada dapat terjewantahkan pada kehidupan sehari-hari dengan sikap hati-hati, tidak tergesa-gesa dan sabar.
Disaat bencana silih berganti datang menimpa kita sekarang ini maka sikap waspada dan mawas diri selalu dilestarikan. Waspada karena maut tak pernah pandang bulu datang kapan saja, mawas diri terhadap bencana yang datang apakah ini sebagai ujian ataukah sebagai peringatan. Dan cukupkanlah bagi kita sabar dan shalatlah menjadi harapan kita untuk hidup ini, tanpa semua itu manusia tidak akan mempunyai ketenangan hati dan akan selalu was-was.
06/02/2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar