07/02/2007

Hujan Lagi (tentu) Banjir Lagi

Akhirnya Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso menetapkah wilayah Jakarta sebagai Siaga satu banjir, bahkan banjir yang menimpa Jakarta sejak kamis (1/2) yang telah menenggelamkan beberapa daerah besar di Jakarta telah memasuki waspada. Deritapun didepan mata, jerit tangis tak terbendung, ancaman penyakit dimana-mana, kerugian telah dirasakan di mana-mana, bahkan Bappenas mengkalkulasikan kerugian negara mencapai 4,1 triliun, jumlah yang sangat besar.
Kegiatan ekonomi, layanan publik, transportasi dan komunikasi yang terganggu seakan melumpuhkan roda kehidupan warga Jakarata. Air yang besar dengan kebesaran-Nya mampu meneggelamkan bumi Jakarta beserta isinya, dan lagi manusia hanya bisa berpasrah diri dengan kebesarannya.
Banjir yang menimpa Jakarta memang bukan cerita baru, cerita tersebut telah lama didongengkan, bahkan banjir telah menjadi langganan utama warga Jakarat, yang pada akhirnya terbentuklah sebuah resistensi bahwa warga jakarta telah “berteman baik” dengan banjir.
Lagi, banjir ini menujukan betapa lemahnya manusia. Perlu dilakukan intropeksi sosial secara universal, mungkin saja ada yang salah dengan apa yang manusia lakukan sehingga Tuhan menghukum. Dilihat dari bencana banjir yang begitu parah, sudah jelaslah betapa “tangan-tangan” manusia menjadikan bencana bagi “tangannya” sendiri. Bukan rahasia umum, banyak sikap dan kebijakan-kebijakan manusia yang menyalahi aturan yang pada akhirnya merugikan banyak orang.
Tata ruang kota yang tidak teratur dan padat, pembangunan bangunan komersial yang mengorbankan lahan resapan air, pembuangan sampah pada sembarang tempat merupakan salahsatu bukti nyata penyebab banjir datang berkali-kali. Ironinya banjir telah bisa diramalkan akan datang, dengan skala 5 tahun sekali tapi pemerintah tidak pernah belajar. Maka filosofi untuk sekarang dan seterusnya: lebih baik mencegah dari pada mengobati, bayangkan saja setengan saja dari kerugian 4, 1 trilun tersebut di gunakan untuk mencegah banjir mungkin kerugian signifikan.
Yang harus dilakukan sekarang adalah bukan sibuk mencari kambing hitam, siapa yang salah tapi sebaliknya pemerintah harus berupaya membangun dan mengintropeksi secara kesuluruhan pada kebijakan-kebijakan pada tata ruang kota, manajemen bencana, yang akhirnya ditemukan satu benang merah, apa yang salah pada masalah ini? Setidaknya setelah ditemukan permasalahan utamanya, maka pemerintah harus berupaya memperbaiki agar tentu saja banjir tidak lagi menerjang ibu kota berkali-kali.
Yang paling urgen untuk saat ini adalah pertama, memperbaiki pengelolaan manajeman bencana, kita harus sadar bahwa Indonesia adalah “ladang bencana” oleh karenanya manajemen bencana harus segera di perbaiki. Menyolidkan garis koordiasi kebijakan-kebijakan, evakuasi korban dengan cepat dan cekatan dengan menempatkan pada tempat pengungsian yang menjamin segala kelengkapan kesehatan seperti makanan, air bersih, pakaian dan obat-obatan, dan yang lebih terpenting dari pengelolaan manajemen bencana tersebut adalah bagaimana bencana tersebut menjadi pelajaran berharga supaya tidak terulang kembali.
Kedua, mengevaluasi secara keseluruhan tata ruang kota, banjir tampaknya harus menjadi skala prioritas di negeri ini, segala daya dan upaya seharusnya lebih trekosentarsikan untuk masalah ini, termasuk mengkaji ulang tata ruang kota, dareha resapan jangan sampai di gagahi karena kepentingan komersial belaka dengan membangun gedung-gedung bertingkat untuk yang bersifat ekonomis dan komersial.
Ketiga, menanamkan sifat waspada dan mawas diri. Ini sangat diperlukan sebab bencana bisa kapan saja menimpa, tak pandang bulu entah para pejabat apalagi wong cilik, tak kenal waktu mau malam atau siang. Maka setiap orang harus tertanam sikap waspada dan kehati-hatian, lebih dari itu harus ada sikap mawas diri terhadap bencana yang datang. Apakah ini sebagai ujian ataukah sebagai peringatan.
Bagaimana pun bencana banjir di Jakarta ini bukan milik warga Jakarta semata, tapi menyangkut rakyat Indonesia, mudah-mudahan bencana ini dapat di ambil indah dan hikmahnya, agar kita senantiasa waspada, mawas diri dan lebih empati terhadap sesama. Yakinkan setiap peristiwa pasti ada hikmannya.
1 comment 

1 comments:

ibn ghifarie mengatakan...

Sekali lagi, Rahmat Bukan Laknat
Oleh Ibn Ghifarie

Sekali lagi, Kehadiran musim penghujan pasca bencana tak selamanya berubah menjadi laknat, malah terkadang membawa rahmat bagi kelompok tertentu. Tengok saja, komunitas pemulung. Mereka bisa mengais rezeki dari pelbagai gunungan sampah berupa kertas, dus, barang-barang bekas sampai tumpukan kayu yang mangkal di pinggiran pintu air. Mereka mendapat dua kali lipat upah dan barang. Demikian penuturan Tono (32) tiap hari mengais uang recehan dari tumpukan kertas; koran Rp 600/kg, ketas Rp 700/kg dan dus Rp 800/kg. Semenjak musibah naas itu Ia mendapatkan omset lebih. (Lintas Peristiwa TPI, 07/02)(baca selanjutnya di blog Alakadarisme!!)