06/02/2007

Dan Indonesia Pun Menjadi Penonton lagi.

Partai Final Piala AFF antara Thailand dengan Singapura yang di gelar pada hari Minggu (4/1) di Stadion Rajamangala, Bangkok kemarin menjadi sedikit hiburan tersendiri bagi rakyat Indonesia disaat bencana yang silih datang berganti, walaupun pada kenyataannya Indonesia tidak berlaga di final tersebut. Pesata akbar dua tahunan ini memang sedikit berbeda selain nama yang berubah dari Piala Tiger dan menjadi Piala AFF juga Indonesia membuat sejarah baru yaitu tidak lolosnya Timnas Indonesia ke semifinal. Ya, Timnas Indonesia tidak lolos ke semfinal walaupun dalam turnament itu timnas kita tidak terkalahkan dan mengemas nilai yang sama dengan Vietnam. Dengan nilai yang sama tersebut Indonesia harus rela mengubur keinginannya lolos ke semifinal karena kalah agregat gol dari Vietnam yang lebih subur.
Dengan format semifinal dan final home-away, memang menjadi ajang yang berbeda dengan ajang-ajang lain setidaknya setiap negara yang lolos ke babak semifinal tetap mempunyai peluang yang sama besar untuk tampil sebagai juara.

Singapura melaju ke semifinal dengan mempercundangi Malaysia, sedangkan Thailand melaju ke final dengan menggagahi Vietnam. Pertemuan kedua tim yaitu Singapura dan Thailand memang bukan hal yang mengejutkan banyak pihak sebab pada dasarnya mereka merupakan kekuatan besar di Asia Tenggara. Singapura sebagai Juara bertahan Piala Tiger 2004 –yang saat ini berubah Piala AFF-, dan Thaliand yang mempunyai tradisi prestasi yang bagus dalam kancah internsional.

Pada Partai Final pertama Singapura yang bertindak sebaagi tuan rumah, dann hasilnya Singapura menang 2-1 atas negara gajah putih tersebut walaupun dengan pinalti yang sedikit kontreoversial. Dan dilaga final yang ke dua Thailand yang bertindak sebagai tuan rumah bermain habis-habisan sebab dengan kekalahan1-2 bukan berarti titel juara sudah aman ditangan Singapura, Thailand memang sedikit ringan mereka cukup bermain imbang 0-0 saja mereka bisa juara tentu ditambah dengan dukungan para bobotoh setianya.

Namun hitungan diatas kertas melenceng, Singapura yang pada menit-menit awal digempur habis-habisan dan tidak bisa mengembangkan permainan, Thailand tidak sedikitpun memberi kesempatan kepada Singapura “bisa bernapas sejenak”. Usaha Thailand tidak sia-sia pada menit 17, Pipat Thonkanya mengjebol gawang Singapura yang dijaga oleh Lionel Lewis, kedudukan pun berubah 1-0. Spontan para bobotoh Thailand bersuka ria, namun saat itu Thailand belum pada posisi aman, jika mereka kemasukan satu gol saja dan bermain imbang maka mereka kalah. Maka Thailand pun mengejar satu gol lagi untuk mengamankan posisi.
Thailand tidak sedikitpun mengendurkan serangan dan terus menggempur pertahanan Singapura, namun sayang dewi fortuna malam itu (4/1) tidak berpihak pada Thailand, namun malah sebaliknya keasikan menyerang Thailand meninggalkan lubang di jantung pertahanan, dan pada menit 81, sebelum babak ke 2 usai pemain pengganti Khairul Amri dengan aksi individunya mampu mengecoh penjaga gawang Thailand Kittisak Rawangpa yang harus rela memungut bola di gawangnya sendiri.

Kontan dengan gol tersebut Singapura semakin diatas angin, apalagi permainan memasuki menit-menit akhir dan menyisakan sembilan menit lagi. Thailand yang ingin mengejar gol untuk menuntut perpanjangan waktu. Namun sampai akhir menit pertandingan dan wasit asal indonesia, Jemmy Napitatulu yang memimpin pertandingan itu meniupkan peluit panjang tanda berakhirnya pertandingan, Thailand harus mengakui keperkasaan Singapura dan merelakan singgasana kampium direbut Singapura dan berpesta didepan pendukung Thailand.

Maka Singapuralah yang dinobatkan sebagai Juara Piala AFF, ini merupakan torehan Juara untuk kedua kalinya pada kejuaraan dua tahunan ini, terakhir kali Singapura juara pada tahun 2004 yang sebelumnya bernama piala Tiger, dimana di Final Singapura mengalahkan Indonesia.
Ada pelajaran yang sangat berharga yang mesti kita ambil dari kompetesi dan perkembangan sepak bola di Asia Tenggara ini. Keikutsertaan Indonesia tahun ini pada pesta akbar sepak bola seasia tenggara merupakan prestasi terburuk dengan tidak bisa masuk babak semi final, padahal sebelumnya Indonesia sudah mempunyai tradisi “pasti” langganan untuk lolos ke semifinal. Tapi untuk saat ini Indonesia harus puas hanya menjadi penonton kesuksesan negara “kecil” ..

Ada sedikit tanya, adakah yang salah dengan persepakbolaan Indonesia, sehingga Indonesia tidak berprestasi? Tentu jika ditanya demikian jawabannya pasti ada yang salah, persoalanya saat ini terkadang Indonesia lebih mempersoalkan siapa yang salah dengan mencari kambing hitam dari pada mengevaluasi apa yang salah . Buktinya setelah kegagalan tersebut Indonesia langsung memecat pelatih asal inggris, Peter White yang divonis gatot (gagal total).

Mari kita bersama urai bersama dan mencari permasalahan utama dari kegagalan ini, hal yang lucu dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 200 ribu juta lebih, Indonesia seperti kesulitan mencari 11 pemain terbaik di seluruh nusantara.

Ya, saat Indonesia harus mengakui ketangguhan “murid-muridnya” yang dulu justru belajar dari Indonesia dan tidak pernah diperhitungkan, bahkan negara “kecil” Singapura pada tahuan 1990-an selalu menjadi bulan-bulan Indonesia, namun saat ini berbalik 360 derajat, Indonesia seperti belajar ke “muridnya” bagaimana bermain sepaka bola yang bagsu. Bahkan di final Piala Tiger 2004 Singapura mempercundangi “gurunya” tersebut dan merengkuh kampiun Piala Tiger.

Dari apa yang penulis cermati dari perkembangan sepak bole Indonesia, adad beberapa catatan yang mungkin harus menjadi perhatian. Pertama, masalah roda kompetisi liga sepak bola Indonesia. Bukan rahasia umum lagi permasalahan liga indonesia merupakan hal yang rumit, bagai benang kusut yang susah diurai kembali, liga yang digelar selalu saja menghasilkan kekecewaan, dari mulai pembagian wilayah, masalah perwasitan, sanksi-sanksi yang ebrsiaft gertak sambal, ulah para suporter yang tidak bertanggung jawab sampai lentingan-lentingan pemilik klub “campur tangan” untuk mengatur hasil pertyandingan.

Semua ini menjadi pekerjaan rumah yang serius, khusunya bagi badan yang bertanggung jawab pada roda kompetisi ini, yaitu Persatuan Sepaka Bola Indonesia (PSSI) dan Badan Liga Indonesia (BLI). Mereka harus sadar bahwa kompetisi liga Indonesia merupakan jantung dari sepak bola Indonesia, bila salah kelola tentu hasilnya pun akan tidak memuaskan. Diperlukan manusia-manusia terbaik, yang kompeten serta paham betul terhadapi persepakbolaan dalam mengurus roda persepakbolaan Indonesia ini.

Diharapkan dengan digarap oleh orang-orang yang profesioanal dibidangnya liga Indonesai dapat berjalan dengan Propesioanl pula dan bibit pemain terbaik indonesia bisa dengan mudah dipantau dan dijaring lewat roda kompetisi ini. Tegasnya dalam membangun liga sepak bola indonesia adalah di mulai dari dalam tubuh pengelola dahulu (internal) yang dalam hal ini adalah PSSI dan BLI.

Kedua, adalah tentang kebijakan pemain asing yang berlaga di Indonesia, hal ini sangat penting sekali. PSSI dan BLI seharusnya membuat kebijakan dan persyaratan yang ketat terhadap pemain asing yang ingin bermain di Indonesia, jangan sampai Indonesia menjadi “tong sampah” dan “bengkel” tempat berlabuhnya pemain asing, yang pada akhirnya bukannya memperlihatkan skill dan memberi contoh terhadap pemain Indonesia, bahkan mereka dapat merusak wajah persepakbolaan Indonesia. Kita sering lihat bagaimana pemain asing terkadang menjadi provokasi terjadinya keributan–keributan, bahkan emosi mereka yang tidak terkendali tak jarang memicu pemain kita untuk mengikutinya.

Dengan memberikan sertifikasi yang ketat, diharapakn pemain asing yang berlaga di liga Indonesia adalah orang-orang yang –kalaupun bukan terbaik- cukup baik kemampuannya. Sehingga diharapkan adanya alih skill dan style pada pemain lokal.

Tak sampai disana ini kembali pada kebijakan klub sendiri dalam pemakaian jasa pemain asing. Sah-sah saja pemain asing menjadi tumpuan utama, namun yang menjadi perhatian adalah jangan sampai dengan bertumpu pada pemain asing tersebutmelupakan bahkan menyisihkan pemain lokal, sehingga jam terbang dan jam main pemain loka lebih sedikit, yang pada akhirnya mereka menjadi penonton (tim cadangan) di “rumahnya sendiri”.

Ketiga, adalah sistem pembinaan pemain muda. Bagaimanapun inilah yang paling penting, bagaimana kompetesi untuk pemain-pemain muda sebagai program jangka panjang dapat digulirkan secara konsisten dan berkala, inilah yang harus lebih diperhatikana agara Indnesia terus tidak mengandalkan pemian pemain tua yang sudah termakan umur. Memang ini terasa permasalah kecil tapi untuk jangka panjang manafaat dari kompetisi pemain-pemain muda akan dirasakan.

Dengan kebijakan setiap klub untuk memiliki tim U-21 memang sangat bagus setidaknya ini adalah bukti untuk kearah sana, namun bagaimanapun harus ada liga dan kompetsi secara khusus yang menyelenggarakan kompoetsi bagi pemain junior secara profesiona;. Jangan sampai Indonesia berbudaya instan, yang mau cepat menikmati tanpa melalui proses yang panjang. Bagaimana pun sebuah tim yang dilahirkan dengan pola instasn maka hasilnya pun akan kurang maksimal.

Pada tulisan ini memang tataram ideal seperti yang diatas penulis uaraikan tapi ini kembali lagi pada kita; pengurus, klub, pemain dan rakyat Indonesia, sejauh mana tekad yang kuat serta usaha yang maksimal untuk menciptakan perstasi yang bagus bagi Indoensia di kancah internasional. Kalau pengelolaan ugal-ugalan dan asal-asalan jangan harap kita jadi “pemain utama”, selamanya kita akan jadi penonton keberhasilan “murid-murid” kita?. Pertanyaan sekarang, mau sampai kapan kita menjadi penonton?
Leave a comment 

0 comments: