LATAR BELAKANG MASALAH.
Perkembangan dunia jurnalisitik saat ini khususnya di Indonesia telah mencapai “orgasme”, puncak dari dunia jurnalistik Indonesia adalah ketika terbukanya kran kebebasan pers yang sebelumnya di tutup dan disumpet oleh kerangkeng kekuasaan.
Namun, hal itu menjadi buah simalakama. Disatu sisi kebebasan tersebut bagaikan angin segar dalam padang pasir kekeringan, sehingga setiap orang kapanpun dan dimanapun bebas tanpa melalui saringan dapat mendirikan media dan mengelurakan pendapat dan aspirasi. Tapi disatu sisi kebebasana tersebut telah menghasilkan berbagai ekses dan akses negatife, Peningkatan kuantitas penerbitan pers yang tajam (booming), tidak disertai dengan pernyataan kualitas jurnalismenya. Sehingga banyak tudingan "miring" yang dialamatkan pada pers nasional. Ada juga media massa yang dituduh melakukan sensionalisme bahasa melalui pembuatan judul (headlines) yang bombasis, menampilkan "vulgarisasi: dan erotisasi informasi seks.
Hal inilah yang menjadi latar belakang analisis dari makalah ini, sejauh mana sebuah media memiliki kualitas jurnalistik, bagaimana penggunaan dan pemakaian bahasa jurnalistik dalam menampilkan berita-berita, serta apakah sebuah media masih memegang ketentuan-ketentuan dan kode etik jurnalisitk.dalam melaksanakan kegiatan persnya.
Media yang penulis analisis pada makalah ini adalah Harian Umum ‘Media Indonesia”, dan penulis khusukan analisis penulis pada rubrik editorial. Editorial yang penulis analisis adalah pada tiga edisi dari tanggal 7 Januari sampai dengan 9 Januari 2006.
Analisis ini bersifat subjektif, sebab penulis sendiri masih proses pembelajaran untuk lebih memahami penggunaan bahasa jurnalistik pada sebuah media. Maka tentu banyak sekali kesalahan dan kekeliruan dari analisis saya ini. Oleh karenanya dengan segala kerendahatian penulis mohon maaf , tentu pemintaan mohon maaf sangat tidak cukup selanjutnya penulis selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik sebagai perbaikan dan pembelajaran di masa yang akan datang.
TINJAUAN TEORI
A. Apa Itu Editorial /Tajuk Rencana?
Tajuk rencana atau editorial adalah opini berisi pendapat dan sikap resmi media sebagai institusi penerbitan terhadap persoalan aktual, fenomenal, dan atau kontroversial yang berkembang dalam masyarakat. Opini yang ditulis pihak redaksi diasumsikan mewakili sekaligus mencerminkan penadapat dan sikap resmi media pers bersangkutan secara keselurahan sebagai suatu lembaga penerbitan media berkala. Suara tajuk renacana bukanlah suara perorangan atau pribadi-pribadi yang terdapat di jajaran redaksi atau bagian produksi dan sirkulasi, melainkan suara kolektif seluruh wartawan dan karyawan dari suatu lembaga penerbitan pers. Karena merupakan suara lembaga, maka tajuk rencana tidak ditulis dengan mencantumkan nama penulisnya.
Karakter dan kepribadian pers terdapat sekaligus tercermin dalam tajuk rencana. Tajuk rencana pers papan atas atau pers berkualitas misalnya, memiliki ciri antara lain senantiasa hati-hati, normatif, cenderung konservatif, dan menghindari pendekatan kritik yang bersifat telanjang atau tembak langsung adalam ulasan-ulasannya. Dalam pemuatan tajuk rencana pers papan atas, pertimbangan aspek politis lebih dominaan dibandingkan dengan pertimbangan sosiologis.
Tajuk renacana dari pers papan tengah atau pers populer berlaku sebaliknya. Pers populer lebih berani, atraktif, progresif, dan tidak canggung untuk memilih pendekatan kritik yang bersifat telanjang serta tembak langsuing. Apabila pers papan atas lebih mengutamakan pertimbangan aspek politis, maka pers papan tengah atau bahkan pers papan bawah justru memilih pertimbangan aspek sosiologis dalan pemuatan tajuk rencana.
Pers papan atas memiliki kepentingan yang jauh labih kompleks dibandingkan dengan pers papan tengah atau pers papan bawah. Kepentingan yang sifatnya jauh lebih kompleks itulah yang mendorong pers papan atas untuk cenderung bersikap konservatif dan akomodatif dalam kebijakan pemberitaan serta dalam pernyataan pendapat kebijakan pemberitaan serta dalam pernyataan pendapat dan sikap melalui saluran resmi tajuk rencana. Inilah kosekuensi pers modern sebagai industri jasa informasi yang bersifat padat karya sekaligus padat modal.
B. Karakteristik Bahasa Jurnalistik.
Secara spesifik, bahasa jurnalistik dapat dibedakan menurut bentuknya, yaitu bahsa jurnalistik surat kabar, bahasa jurnalistik tabloid, bahasa jurnalistik majalah, majalah jurnalistik radio siaran, bahasa jurnalistik televisi dan bahasa jurnalistik suart kabar, selain harus tunduk kepada kaidaja atau prinsip-prinsip umum bahasa jurnalistik, juga memiliki ciri-ciri yang sangat khsusu dan spesifik. Hal ini yang memebdakan dirinya dari bahasa jurnalistik majalah, bahasa jurnalistik radio, bahasa jurnalistik televisi, dan bahasa jurnalistik media on-line internet.
Adapun ciri utama dari bahsa jurnalistik yang secara umum berlaku untuk semua media berkala yaitu:
1. Sederhana.
Sederhana berarti selalu mengutamakan dan memilih kata atau kalimat yang paling banyak diketahui maknanya oleh khalayak pembaca yang sangat hetrogen; baik dilihat dari tingkat intelektualitasnya maupun karakteristik demografis dan psikografisnya. Kata-kata dan kalimat yang rumit, yang hanya dipahami maknanya oleh segelintir orang, tabu digunakan dalam bahasa jurnalsitik
2. Singkat.
Singkat berarti langsung kepada pokok masalah (to the point), tidak bertele-tele, tidak berputar-putar, tidak memboroslan waktu pembaca yang sangat berharga. Ruangan atau kapling yang tersedia pada kolom-kolom halaman surat kabar, tabloid atau majalah sangat terbatas, sementara isinya banyak dan beraneka ragam. Konsekuensinya apa pun pesan yang akan disampaikan tidak boleh bertentangan dengan filosofi, fungsi dan karakteristik pers.
3. Padat.
Padat dalam bahasa jurnalistik menurut Patmono SK, rekatur senior Sinar Harapan dalam bukunya Tehnik Jurnalistik (1996:45) berarti sarat informasi. Setiap kalimat dan paragraf yang ditulis membuat banyak informasi penting dan menarik untuk khalayak pembaca. Ini berarti terdapat perbedaan yang tegas antara kalimat singkat dan kalimat padat. Kalimat singkat tidak berarti memuat banyak informasi. Tetapi kalimat yang padat kecuali singkat juga mengandung lebih banyak informasi.
4. Lugas.
Lugas berarti tegas, tidak ambigu, sekaligus menghindari eufisme atau pengahlusan kata dan kalimat yang bisa membingungkan khalayak pembaca sehingga etrjadi perbedaan persepsi dan kesalahan konklusi.
5. Jelas.
Jelas berarti mudah ditangkap maksudnya, tidak baur dan kabur. Sebagi contoh, hitam adalah warna yang jelas, begitu juga dengan putih kecuali jika keduanya digabungkan maka akan menjadi abu-abu . perbedaan warna hitam dan putih melahirkan kesan kontras. Jelas disini mengandung tiga arti: jelas artinya, jelas susunan kata atau kalimatnya sesuai dengan kaidah objek predikat keterangan (SPOK), dan jelas sasaran atau maksudnya.
6. Jernih.
Jernih berarti bening, tembus pandang, transparan, jujur, tulus, tidak menyembunyikan sesuatu yang lain yang bersifat negatif seperti prasangka atau fitnah. Dalam pendekatan analisis wacana, kata dan kalimat yang jernih berarti kata dan kalimat yang tidak memilki agenda tersembunyi di balik pemuatan suatu berita atau laporan keculai fakta, kebenaran, kepentingan publik. Dalam perspektif orang-orang komunikasi, jernih berarti senantiasa mengembangkan pola pikir positif (psitive thinking) dan menolak pola pikir negatif (negative thinking).
Hanya dengan pola pikir positif kita kan dapat melihat smua fenomena dan persoalan yang teradpat dalam masyarakat dan pemerintah dengan kepala dingin, hati jernih, dan dada lapang.
7. Menarik.
Menarik artinya mampu membangkitkan minat dan perhatian khalayak pembaca. Memicu selera pembaca. Bahasa jurnalistik berpijak pada prinsip menarik, benar dan baku.
8. Demokratis.
Demokratis berarti bahasa jurnalistik tidak mengenal tingkatan, pangkat, kasta, atau perbedaan dari pihak yang menyapa dan pihak yang disapa sebagaimana dijumpai dalam gramatika bahasa Sunda dan bahasa Jawa. Bahasa jurnalistik menekankan aspek fungsional dan komunal, sehingga sama seklai tidak dikenal pendekatan feodal sebagaimana dijumpai pada masyarakat dalam lingkungan priyayi dan keraton.
9. Populis.
Populis berarti setiap kata, istiulah atau kalimat apa pun yang terdapat dalam karya-karya jurnalistik harus akrab ditelinga, di mata, dan di benak pikirna khalayak pembaca, pendengar, dan pemirsa. Bahasa jurnalistik harus merakyat, artinya diterima dan diakrabi oleh semua lapisan masyarakat. Kebalikan populis adalah elitis. Bahasa elitis adalah bahasa yang hanya dimengerti dan dipahami segelintir kecil oarang saja, terutama mereka yang berpendidikan dan berkedudukan tinggi.
10. Logis.
Logis berarti apa pun yang terdapat dalam kata, istilah, kalimat atau paragraf jurnalistik harusdapat diterima dan tidak bertentangan dengan akal sehat (common sense). Bahas jurnalisitk harus dapat diterima dan sekaligus mencerminkan nalar. Disini berlaku hukum logika
11. Gramatikal.
Gramatikal berarti kata, istilah, atau kaliamt apa pun yang dipakai dan dipilih dalam bahasa jurnalistik harus mengikuti kaidah tata bahasa baku. Bahsa baku artinya bahasa resmi sesuai dengan ketentuan taat bahasa serta pedoman ejaan yang disempurnakan berikut pedoman pembentukan istilah yang menyertainya. Bahasa baku adalah bahasa yang paling besar pengaruhnya dan paling tinggi wibawanya pada suatu bangsan dan kelompok masyarakat. .
12. Mengindari kata tutur.
Kata tutur ialah kata yang biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari secara informal. Kata tutur ialah kata-kata yang menekankan pada pengertian, sama sekali tidak memeprhatikan masalah stuktur dan tata bahasa.
13. Mengutamakan kalimat aktif.
Kalimat aktif lebih mudah dipahami dan lebih disukai oelh kahalayak pembaca dari pada kalimat pasif. Bahasa jurnalistik harus jelas susunan katanya, dan kuat maknanya (clear dan strong). Kalimat aktif lebih memudahkan pengertian dan memperjelas tingakt pemahaman. Kalimat pasif sering menyesatkan pengertian dan membingungkan tingkat pemahaman.
13. Menghindari kata atau istilah teknis.
Karena ditujukan untuk umu, maka bahasa jurnalistik harus sederhana, mudah dipahami, ringan dibaca, tidak membuat kening berkerut apalagi sampai membuat kepala berdenyut. Salah satu cara untuk itu ialah dengan menghindari pengguanan kata atau istilah-istilah teknis. Bagaimanapun, kata atau istilah teknis hanya berlaku untuk kelompok atau komuniats tertentu yang relatif homogen. Realitas yang homogen, menurut perspektif filsafat bahasa, tidak boleh dibawa ke dalam relatias yang hetrogen. Kecuali tidak efektif, juga mengandung unsur pemerkosaan.
Kalaupun tidak terhindarkan maka istilah teknis itu harus disertai penjelasan dan ditempatkan dalam tana kurung.
Surat kabar lebih banyak memuat kata atau istilah teknis, mencerminkan surat kabar itu:
(a) kurang melakukan pembinaan dan pelatihan terhadap wartawannya yang malas.
(b) Tidak memiliki editor bahasa.
(c) Tidak memiliki buku panduan peliputan dan penulisan berita serta laporan.
(d) Tidak memilki sikap profesional dalam mengelola penerbiatn pers yang berkualitas
14. Menghindari kata atau istilah asing.
Berita ditulis untuk dibaca atau didengar. Pembaca atau pendengar harus tahu arti atau makan setiap kata yang dibaca dan didengarnya. Berita atau laporan yang banyak diselipi kata-kata. Asing, selian tidak informatif dan komunikatif, juga sangat membingungkan.
Menurut teori komunikasi, khalayak media massa anonim dan heterogen. Tidak saling mengenal dan benar-benar majemuk, terdiri atas berbagai suku bangsa, latar belakang sosial-ekonomi, pendidikan, pekerjaan, profesi dan tempat tinggal. Dalam perspektif teori jurnalistik, memasukan akat atau istilah pada berita yang kita tulis, kita diudarakan atau kita tayangkan, sama saja dengan sengaja menyebar banyak duri ditengah jalan. Kecuali menyiksa diri sendiri, juga mencelakakan orang lain.
15. Tunduk kepada kaidah dan etika bahasa baku.
Pers, sebagai guru bangsa dengan fungsinya sebagai pendidik, pers wajib menggunakan serta tunduk kepada kaidah dan etika bahasa baku, bahasa pers harus baku, benar, dan baik.
Dalam etika berbahasa, pers tidak boleh menuliskan kata-kata yang tidak sopan, kata-kata vulgar, kata-kata berisi sumpah serapah, kata-kata hujatan dan makian yang sangat jauh dari norma sosial budaya agama, atau denagn rendah lainnya dengan maksud untuk membangkitkan asosiasi serta fantasi seksual khalayak pembaca.
C. Menulis Untuk Televisi.
Dalan penulisan berita untuk media televisi ada beberapa prinsip yang harus di pegang diantaranya:
1. Gaya Ringan bahasa sederhana. 6. Hindari ungkapan bombastis.
2. Gunakan prinsip ekonomi kata. 7. Hindari istilah teknis tidak dikenal.
3. Gunakan ungkapan lebih pendek. 8. Hindari ungkapan klise dan eufemisme
4. Gunakan kata sederhana. 9. Gunakan kalimat tutur.
5. Gunakan kata sesuai konteks 10. Harus kalimat aktif dan terstuktur
TINJAUAN ANALISIS.
A. Bukan so’ benar tapi belajar untuk menjadi benar.
Dengan berpedang pada teori-teori tentang penggunaan bahasa jurnalistik pada sebuah media, setidaknya menjadi pegangan dan landasan penulis dalam menilai dan menganalisis studi kasus yang penulis garap. Tidak muluk-muluk untuk benar atau dikatakan valid analisis ini, harapan penulis semoga ini sebagai pembelajaran dalam menganalisis dengan kemampuan yang kita miliki.
Sebagaimana telah disinggung pada latar belakang permasalahan, bahwa fokus analisisi penulis dalam tema penggunaan bahasa jurnalistik pada sebuah media, difokuskan pada rubrik editorial. Awalnya keraguan menyelimuti pikiran penulis, ada sedikit ketakutan sebab kita ketahui bersama bahwa editorial dibuat atau ditulis oleh media bersangkutan yang notebenenya adalah orang-orang yang kompeten dalam bidang jurnalistik.
Namun, keraguan dan ketakutan itu coba penulis buang sebab penulis mempunyai sebuah prinsip bahwa mereka yang ‘duduk’ di media juga adalah manusia yang –pasti- tak luput dari salah dan lupa. Alih-alih dari semua itu –jujur saja- penulis mencoba sedikit usil untuk mencari-cari kesalah-kesalahan orang lain, yang sebenarnya penulis juga belum tentu bisa dan mampu. Akhirnya hanya kata: subhanallah, maha sempurnanya Allah’lah yang sering keluar dari pikiran penulis. Dialah sumber kebenaran!
Dan yang perlu tegaskan penulis adalah analisis ini bukanlah sesuatu yang mutlak dan valid adanya, sebab penulis sadar bahwa penulis masih belajar dan perlu belajar banyak lagi. Sekali lagi ini bukan so’ benar atau jago tapi penulis belajar untuk benar dan jago. Semoga saja!
B. Analisis penggunaan bahasa jurnalistik.
1. Media Indonesia Rubrik Editorial Edisi 7 Januari 2006.
Yang pertama yang penuliscermati pada editorial Media Indonesia edisi 7 Januari 2006 adalah dari segi judul. Pertama, pada edisi 7 Januari Media Indonesia menulis seperti ini: Jangan Bunuh Penumpang [Kami]. Dari segi judul menurut penulissedikit ekstrim, kata bunuh adalah kata yang terlalu ekstrem untuk ditulis pada sebuah media yang notebenenya besar dan berpegang pada fungsi utama pers yaitu sebagai edukasi, kata bunuh merupakan kata yang mempunyai makna kejam dan sadis. Pada judul tersebut yang ditujukan pada Jasa Penerbangan dan Pemerintah adalah provokasi seakan-akan kesalahan utama pada kecelakaan itu disebabkan oleh kedua pihak tersebut sehingga ‘Media Indonesia’ menulis Jangan Bunuh Penumpang (Kami).
Kedua, pada judul Jangan Bunuh Penumpang (Kami), ada tanda kurung siku ( “[ ]”) pada kalimat ‘Kami’. Yang penulis tidak mengerti adalah apa tujuan kalimat ‘Kami” memakai tanda kurung siku.
Menurut Drs. AS Haris Sumadiria M.Si (Bahasa Jurnalisitik, 2006:237) fungsi utama tanda kurung siku adalah, (1) tanda kurung siku mengapit kata, huruf atau kelompok kata sebagai koreksi atau tambahan pada kalimat atau bagian kalimat yang ditulis orang lain. Tanda itu menyatakan bahwa kesalahan dan kekurangan itu memang terdapat dalam naskah asl. (2) tanda kurung siku mengapit keterangan dalam kalimat penjelas yang sudah dalam tanda kurung.
Jelas, tanda kurung siku pada judul ediotorial khususnya pada kalimat ‘Kami’ tidak masuk kriteria pemakaian tanda kurung siku. Kalaupun Media Indonesia menulis Jangan Bunuh Penumpang Kami, sungguh tidak mengurangi makna yang dimaksud dan justru lebih jelas apa yang dimaksud dan yang dituju oleh judul tersebut.
Ketiga, penulistertarik mencermati kalimat yang –menurut saya- tidak pantas untuk ditulis yaitu kalimat Berengsek!. Kalimat yang terletak pada paragraf empat ini sedikit membuat penulistersentak, lengkap kalimatnya seperti ini “Disisi lain, transportasi udara yang mestinya segalanya paling prima juga setali tiga uang. Berengsek! Padahal, sektor penerbangan pertumbuhan penumpangnya mencengangkan….”
Kalimat “Berengsek” termasuk pada gaya bahasa pertentangan yaitu sarkasme. Sarkasme sendiri adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung olok-olok atau sindiran pedas dan menyakiti (Poerwadarminta, 1976:875). Ciri utama bahasa sarkasme ialah selalu mengandung kepahitan dan celaan yang getir, menyakiti hati dan kurang enak didengar (Tarigan, 1985:92).
Dalam bahasa sehari-hari saja, kata ‘Berengsek’ mempunyai makna negatif bahkan, dalam acara-acara televisi asing, kata ‘Fuck’ yang berarti ‘Berengsek’ sering disensor dengan bunyi..Teeeet…. Ini menjadi sebuah ironi, Media Indonesia walaupun menggunakannya dalam bahasa tulis tapi makna yang dimaksud dan makan konotatifnya tidak sedikit pun bisa di kurangi yaitu kasar.
Dalam persfektif bahasa jurnalistik, sarkasme berkembang dalam suatu masyarakat sebagai cerminan masyarakat itu sedang sakit. Sarkasme menujukan kaidah normatif pada budaya peradaban tinggi, dianggap tidak lagi efektif dalam menjawab berbagai persoalan sosial-ekonomi dan politik suatu bangsa. Orang tidak lagi memilih pola pikir logis etis tetapi lebih suka mengembangkan cara-cara sikap dan perilaku sadis dan anarkis. Bahasa jurnalistik terlarang menggunakan kata-kata kasar, menyakiti hati, tidak enak didengar, vulgar, sarat sumpah serapah, dan lebih jauh lagi mencerminkan pola perilaku orang, atau kelompok masyarakat yang tidak beradab.(Drs. AS Haris Sumadiria, 2006: 161).
Bagaimanapun sekali lagi, media sebagai guru bangsa mempunyai tanggung jawab sosial moral terhadap ‘mudid’nya untuk senantiasa memberikan sikap optimistis, walaupun telah disentuh diatas bahwa penggunaan bahasa sarkasem menujukan keadaan masyarakat yang sedang sakit, tetapi menurut penulis jika sebuah media tetap menggunakan bahasa sarkasme dan ironinya keadaan masyarakat sedang sakit, seperti mencari kesempatan dalam kesempitan dan bukannya menyeleseikan masalah bahkan ‘airnya’ semkin keruh dan menciptakan masalah baru yaitu sikap pesimistis.
Dari keseluruhan dari mulai judul, penulisberpendapat bahwa judul sudah termasuk kriteria karakteristik bahasa jurnalistik yaitu sederhana, singkat, padat, lugas, jelas dan menarik. Sedangkan dari segi isi secara keseluruhan editorial media indonesia sudah mencakup pada kriteria karakteristik bahasa jurnalistik, bahasanya yang ringan dan mudah dimengerti juga pembahsannya tidak terlalu bertele-tele tapi to the point bahkan sekaligus sedikit ekstrim.
2. Media Indonesia Rubrik Editorial Edisi 8 Januari 2006.
Seperti halnya analisis penulispada Editorial edisi 7 Januari 2006, yang penuliscermati pada editorial Media Indonesia edisi 8 Januari 2006 adalah dari segi judul yaitu Manis bagi Pejabat Racun untuk Rakyat. Pertama, Media Indonesia menulis judul pada Editorial edisi 8 Januari 2006 dengan: Manis bagi Pejabat Racun untuk Rakyat. Judul yang ditulis sungguh menarik, dan mempunyai nilai sastra yang cukup bagus terutama rima (bunyi akhir kalimat) yang sama, seperti kata penjabat mempunyai rima yang sama dengan rakyat yaitu ‘at’. Ini menjadi daya tarik tersendiri, terutama menjadikan judul ini memenuhi kriteria karakteristik bahasa jurnalistik yaitu menarik.
Dari segi judul telah membuat pembaca tertarik untuk membaca selanjutnya, sebab dalam perspektif bahasa jurnalistik judul sangat menentukan langkah selanjutnya pada pembaca. Jika judul itu menarik dan membuat pembaca tertarik biasanya pembaca seperti didorong untuk membaca isinya secara utuh. Berbeda dengan judul yang monoton bahkan kering, membuat pembaca hanya ‘numpang lewat dan numpang lihat saja’ dan beralih pada tulisan lain.
Selanjutnya dari segi isi tulisan editorial ini, seperti halnya tulisan pada editorial yang lain, sifatnya to the point atau langsung pada yang dituju, selain itu juga bahasa yang digunakan mudah dicerna dan dimengerti oleh semua kalangan. Jadi bisa dikatakan bahasa yang dipakai telah memenuhi kriteria karakteristik bahasa jurnalistik; sederhana, singkat, padat, lugas, jelas dan menarik.
3. Media Indonesia Rubrik Editorial Edisi 9 Januari 2006.
Dari segi judul Media Indonesia menulis pada Editorial 9 Januari 2006 Parpol Terlalu Banyak. Judul yang ditulis sungguh sederhana, singkat, padat dan lugas. Judul tersebut cukup mewakili isi tulisan secara garis besar yaitu tentang semakin maraknya paratai politik menjelang pemilu.
Selanjutnya penulis cermati ada kejanggalan dari segi sisi tulisan. Khususnya pada kalimat orde reformasi pada paragraf keempat, secara jelas isi tulisan seperti ini isinya: “ Karena kapok dengan otoritarianisme dan pengebirian aspirasi, era reformasi kembali menganut sistem mulitipartai….” Yang menurut penulis terdapat kejanggalan adalah kata reformasi tidak ditulis dengan diawali huruf besar, sebab ini berbeda dengan kata era Orde Baru pada paragraf ketiga, pada kata Orde Baru ditulis dengan dimulai huruf besar. Untuk lebih lengkap isi tulisannya seperti ini: “Setelah Orde Baru tumbang, sistem tiga partai jebol. Politik Indonesia kembali menganut sistem multipartai sebagai reaksi atas keasadaran bahwa selama era Orde Baru terajdi penyumbatan aspirasi…”
Menurut Drs.As Haris Sumadiria (Bahasa Jurnalistik, 2006:213) bahwa huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua unsur nama negara, lembaga pemerintahan dan ketatanegaraan, serta nama dokumen resmi kecuali kata seperti dan. Dari tinjauan teori tadi jelas bahwa pada isi tulisan editorial tersebut pada kata era reformasi huruf reformasi harus diawali dengan huruf kapital sebab kata era reformasi termasuk pada bagian unsur negara, seperti halnya kata era Orde Baru yang diawali dengan huruf kapital. Maka kalimat itu seharusnya menjadi era Reformasi.
Selanjutnya, yang saya cermati pada paragraf ketiga belas, terdapat kalimat electoral threshold, lebih jelas susunan isi tulisannya yaitu: “Jadi, kita sebaiknya mengarah ke sistem parti sederhana. Tidak didasarkan dekrit atau keppres, tetapi pada ketentuan mengenai electoral threshold. Dengan demikian jika ingin menyederhanakan partai, naikan saja electoral threshold dari sekarang 3% menjadi 4 % atau 5 % bahkan lebih….”
Termasuk dari kriteria karakteristik bahasa jurnalistik adalah menghindarkan kata atau istilah asing, pada isi tulisan editorial tersebut kata electoral threshold adalah kata dan istilah asing dan penggunaan kata dan istilah asing tersebut menurut penulis kurang efektif sebab sedikit tidak dimengerti baik artinya atau maknanya.
Berita atau tulisan ditulis untuk dibaca atau didengar. Pembaca atau pendengar harus tahu arti atau makna setiap kata yang dibaca dan didengarnya. Berita atau laporan yang banyak diselipi kata-kata. Asing, selian tidak informatif dan komunikatif, juga sangat membingungkan.
Menurut teori komunikasi, khalayak media massa anonim dan heterogen. Tidak saling mengenal dan benar-benar majemuk, terdiri atas berbagai suku bangsa, latar belakang sosial-ekonomi, pendidikan, pekerjaan, profesi dan tempat tinggal. Dalam perspektif teori jurnalistik, memasukan akat atau istilah pada berita yang kita tulis, kita diudarakan atau kita tayangkan, sama saja dengan sengaja menyebar banyak duri ditengah jalan. Kecuali menyiksa diri sendiri, juga mencelakakan orang lain.
Solusinya adalah kalaupun terpaksa menulis kata atau isitilah asing maka kata tersebut hendaklah diberi sedikit penjelasan dengan menyisipkan arti atau makna pada tanda kurung, tujuannya agar pikiran pembaca sampai dengan apa yang dimaksud serta menjembatani pada tulisan selanjutnya. Sebab jika pada suatu kalimat terdapat sesuatu yang tidak dimengerti oleh pembaca bisa jadi hal ini akan mengganggu pada proses pemahaman kalimat dan tulisan berikutnya, alih-alih pembaca biasanya malas meneruskan bacaannya.
Secara garis besar tulisan ediorial ini menarik dan telah memenuhi kriteria karakteristik bahasa jurnalistik, selain hal-hal yang saya bahas diatas.
C. Tanggapan secara general
Secara keseluruhan saya cermati editorial Media Indonesia khususnya yang saya amati yaitu edisi 7, 8, dan 9 Januari 2006, pada dasarnya seluruhnya telah memenuhi kriteria karakteristik bahasa jurnalistik yaitu sederhana, singkat, padat, lugas, jelas dan menarik. Selian itu bahasanya yang khas yaitu langsung pada masalah (to the point) tidak bertele-tele. Walaupun sedikit ekstrim namun penyampaian ide, pendapat dan opini Media Indonesia mudah dimengerti dan ditangkap oleh semua kalangan.
Namun dari semua itu terdapat –yang menurut saya- kekurangan diantaranya, pertama, bahasa yang digunakan oleh Media Indonesia kenapa ringan dan mudah dicerna? Karena bahasa yang digunakan pada media indonesia khususnya pada rubrik editorial merupakan cerminan atau jiplakan dari editorial yang seringkali ditampilkan oleh Metro Tv, artinya jika hari ini –biasanya sekitar jam 19.00- Metro Tv menayangkan acara editorial malam maka editorial malam yang ditayangkan sekarang disajikan esok hari pada Media Indonesia dengan bahasa yang sama, tanpa sedikitpun perubahan. Sehingga jangan heran jika anada menyaksikan dan mendengarkan acara editorial malam, dan anda pun membaca koran Media Indonesia keesokan harinya, maka editorial yang ditampilakn oleh Media Indonesia dan anda baca akan sama miripnya dengan apa yang anda saksikan dan dengarkan kemarin di Metro Tv.
Jadi dari segi bahasa yang disajikan oleh Media Indonesia khususnya pada rubrik editorial adalah bahasa jurnalistik televisi. Yang menjadi masalah apakah sama atau tidak penggunaan bahasa jurnalistik dalam penyajian sebuah berita, opini di media cetak dengan media elektronik.
Berdasarkan teori yang penulis pahami adalah adanya perbedaan sajian bahasa jurnalistik antara di sebuah media cetak dengan media elektronik. Menapa? Sebab bagaimanapun bahasa jurnalistik dalam media cetal cenderung memakai kriteria karakterisitk bahasa jurnalistik yaitu sedangkan dalam media elektronik yang harus diperhatikan adalah gaya ringan bahasa sederhana, gunakan prinsip ekonomi kata, gunakan ungkapan lebih pendek, gunakan kata sederhana, gunakan kata sesuai konteks, hindari ungkapan bombastis, hindari istilah teknis tidak dikenal, hindari ungkapan klise dan eufemisme, gunakan kalimat tutur, reporter harus objektif, jangan mengulangi informasi, Istilah harus di uji kembali, harus kalimat aktif dan terstuktur, jangan terlalu banyak angka, hati-hatilah mencantumkan jumlah korban.
Jadi jika disimpulkan ada sedikit perbedaan cara penyajian bahasa jurnalistik pada media cetak dan media indonesia. Namun tentu saja penulis tidak menutup mata sebenarnya ada beberapa point tentang cara penyajian bahasa jurnalistik pada media cetak dan media elektronik yang sama diantaranya gaya ringan bahasa sederhana, gunakan prinsip ekonomi kata, gunakan ungkapan lebih pendek dan gunakan kata sederhana.
Kedua, yang penulis cermati adalah dari segi isi setiap opini dalam ediorial Media indonesia, penulis menilai bahasa yang kadang menggebu-gebu seakan mencerminkan bahwa editorial Media Indonesia seperti memanas-manasi dan mempropokasi. Walaupun memang hal itu dibenarkan sebab itu kebijakan sebuah media, tapi yang harus ingat adalah manakala proses penyampaian kritik dan pandangan tersebut tidak lagi proporsional dan terkadang menggunakan bahasa yang tidak pantas seperti di singgung diatas terdapat kata berengsek.
Sungguh kata tersebut tidaklah pantas disampaikan oleh Media Indonesia yang notebenenya adalah media yang besar dan mempunyai pengaruh yang besar pula. Media Indonesia harus sadar bahwa dirinya adalah guru bangsa yang muridnya bukan saja komunitas yang homogen, atau kalangan dewasa dan kelas menengah keatas tapi murid didiknya adalah komunitas heterogen.
Kenapa penulis katakan komunitas heterogen? Ya, walaupun sebenarnya media sendiri elah mengatur segmentasi, namun pada tataran distribusi Media Indobnesia bisa dilahap oleh siapa saja. Bagaimana jadinya jika anak kecil yang duduk di sekolah dasar (SD) mengucapkan kata berengsek pada gurunya, anak tersebut tidak seluruhnya salah bisa jadi hal ini menjadi wajar dan lebih parah lagi menjadi kewajaran karena pencitraan Media Indonesia pada bahasa yang disajikan dipandang menjadi hal yang lumrah, wajar dan lebih parah lagi menjadi hal yang benar.
Ketiga, yang membuat saya terkesan adalah tampilan editorial Media Indonesia ternyata berbeda dengan tampilan-tampilan editorial-editorial atau tajuk rencana pada media yang lain, dengan adanya gambar yang bersifat kalikatur membantu pembaca memahami isi tulisan. Bahkan ketika penulis pertama kali lihat gambar sebelum membaca judul dan isinya, pikiran penulis langsung terjembatani pada apa yang dimaksud dan dituju oleh Media Indonesia.
Kadang juga ada sedikit kelucuan dan membuat tersenyum pembaca yang tergambarkan pada gambar tersebut yang membuat pembaca terkesan pada pandangan pertama (dan selanjutnya terserah anda, he..he..). Hal ini membuat pembaca lebih rileks dalam membaca dan menciptakan suasana yang segar ketika membaca selanjutnya.
PUSTAKA ACUAN.
Sumadiria, AS Haris. 2006 “Bahasa Jurnalistik Panduan Praktis penulis dan Jurnalis”. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Sumadiria, AS Haris. 2006 “Jurnalistik Indonesia, Menulis Berita dan Feature”. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Harian Umum Media Indonesia edisi Minggu 7 Januari 2006 .
_________________________, edisi Senin 8 Januari 2006.
_________________________, edisi Selasa 9 Januari 2006.
www.media-indonesia.com
21/01/2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar