07/01/2007

Potret Pers Indonesia; antara kebebasan pers dan kebablasan pers



BAB I
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah.

Ketika reformasi tahun 1998 digulirkan di Indonesia, pers nasional bangkit dari keterpurukannya dan kran kebebasan pers dibuka lagi yang ditandai dengan berlakunya UU No.40 Tahun 1999. berbagai kendala yang membuat pers nasional "terpasung", dilepaskan. SIUUP (surat izin usaha penerbitan pers) yang berlaku di era Orde baru tidak diperlukan lagi, siapa pun dan kapan pun dapat menerbitkan penerbitan pers tanpa persyaratan yang rumit.

Dan euforia reformasi pun hampir masuk, baik birokrasi pemerintahan maupun masyarakat mengedepankan nuansa demokratisasi. Namun, dengan maksud menjungjung asa demokrasi, sering terjadi "ide-ide" yang permunculannya acap kali melahirkan dampak yang merusak norma-norma dan etika. Bahkan cenderung mengabaikan kaidah profesionalisme, termasuk bidang profesi kewartawanan dan pers pada umumnya.

Malah kalangan instansi pemerintahan swasta dan masyarakat ada yang berpandangan sinis terhadap aktivitas jurnalistik yang dicap tidak lagi menghormati hak-hak narasumber. Penampilan pers nasional/daerah pun banyak menuai kritik dan dituding oleh masyarakat. Sementara disisi alin banyak contoh kasus dan kejadian yang menimpa media massa, dan maraknya initmidasi seta kekerasan terhadap wartawan.

Pada tahun 2003-2004, perkara yang menarik perhatian public yaitu menimpa dua mass media nasional Harian "Kompas" dan grup MBM "Tempo" digugat grup PT Texmaco ke PN Jakarta Selatan. Kedua perkara tersebut kemudian dicabut ketika proses perkaranya sedang berjalan dipersidangan. Dalam kasus "Rakyat Merdeka", majelis hakim memutuskan bahwa pemred Rakyat merdeka dihukum karena terbukti turut membantu penyebaran.

Kemudian masih segar dalam ingatan kita awal tahun 2004. Grup MBM "Tempo" dikalahkan dipengadilan atas gugatan perkara pencemaran nasional baik yang diajukan pengusaha Tomy Winata. Hakim mengabulkan gugatan Tomy dan mengharuskan "Tempo" membayar ganti rugi USD 1 Juta dolar atau sekitar Rp.8.5. Miliar. Terhadap putusan hakim tersebut MBM "Tempo" keberatan dan menyatakan naik banding,

UU No.40 Tahun 1999 tentang pers, sebagaimana diketahui, telah membuka peluang lahirnya kebebasan pers. Setiap bulan lahir berpuluh-puluh penerbitan pers baru. Dalam waktu setahun, tercatat sekira 1.700 penerbitan baru di Indonesia. Padahal sebelumnya hanya 289. sementara di Jawa Barat yang sebelumnya hanya 10 penerbitan diawal reformasi, diawal reformasi bertambah menjadi sekirta 40 penerbitan.

Peningkatan kuantitas penerbitan pers yang tajam (booming), tidak disertai dengan pernyataan kualitas jurnalismenya. Sehingga banyak tudingan "miring" yang dialamatkan pada pers nasional. Ada juga media massa yang dituduh melakukan sensionalisme bahasa melalui pembuatan judul (headlines) yang bombasis, menampilkan "vulgarisasi: dan erotisasi informasi seks. Tetapi tentu saja kita tidak dapat melakukan generalisasi, harus diakui, bahwa masih banyak media massa yang mencoba tampil dengan elegan dan beretika, daripada yang menyajikan informasi sampah dan berselera rendah (bad taste).
Apakah benar pers nasional saat ini telah kebablasan?


BAB II
PERS DI INDONESIA.

A.Pengertian pers.

Apa bedanya jurnalistik dengan pers? Dalam pandangan orang awam, jurnalistik dan pers seolah sama atau bisa dipertukarkan satu sama lain. Sesungguhnya tidak, jurnalistik menujuk pada proses kegiatan, sedangkan pers berhubungan dengan media. Dengan demikian jurnalistik pers berarti proses kegaitan mencari, menggali, mengumpulkan, mengolah, memuat dan menyebarkan berita melalui media berkala pers yakni sura kabar, tabloid atau majalah kepada khalayak seluas-luasnya dengan secepat-cepatnya.

B. Sejarah perkembangan pers.

Pada zaman pemerintahan Cayus Julius (100-44 SM) di negara Romawi, dipancangkan beberapa papan tulis putih di lapangan terbuka di tempat rakyat berkumpul. Papan tulis yang disebut Forum Romanum itu berisi pengumuman-pengumuman resmi. Menurut isinya, papan pengumuman ini dapat dibedakan atas dua macam. Pertama Acta Senatus yang memuat laporan-laporan singkat tentang sidang-sidang senat dan keputusan-keputusannya. Kedua, Acta Diurna Populi Romawi yang memuat keputusan-keputusan dari rapat-rapat rakyat dan berita-berita lainnya. Acta Diurna ini merupakan alat propaganda pemerintah Romawi yang memuat berita-berita mengenai peristiwa-peristiwa yang perlu diketahui oleh rakyat.1

B.1. Sejarah perkembangan pers dunia (Eropa)

Sejarah perkembangan pers di dunia khusunya di eropa tak pernah jauh merupakan cerminan dari pada zaman Romawi dan ditandai dengan lahir wartawan-wartawan pertama. Wartawan-wartwan ini terdri atas budaj-budak belian yang leh pemiliknya diberi tugas mengumpulkan informasi, berita-berita, bahkan juga menghadiri sidang-sidang senat dan melaporkan semua hasilnya baik secara lisan maupun tulisan.

Surat kabar cetakan pertama baru terbit pada tahun 911 di Cina. Namanya King Pau, Surat kabar milik pemerintah yang diterbitkan dengan suatu peraturan khusus dari Kaisar Quang Soo ini, isinya adalah keputusan-keputusan rapat-rapat permusyawaratan dan berita-berita dari istana.

Di Eropa, sebenarnya surat kabar cetakan terbit untuk pertama kalinya dan siapa penerbitnya, tidak begitu jelas. Tetapi pada thaun 1605 Abraham Verhoeven di Antwerpen Belgia, mendapat izin untuk mencetak Nieuwe Tihdininghen. Baru pada tahun 1617 selebaran ini terbit dengan teratur yaitu 8-9 hari seklai. Tahun 1602 sudah memaki nomor urut dan nama yang tetap Nieuwe Tijdininghem.

Di Jerman, terbit surat kabar pertama bernama Avisa Relation Order Zeitung pada 1609. pada tahun yang sama juga terbit surat kabar Relations di Strassburg. Surat kabar ini diterbitkan oleh Johan Carolus. Di Belanda, surat kabar tertua bernama Coyrante uyt Italien en Duytschland terbit pada 1618. surat kabar ini diterbitkan oleh Caspar Van Hilten di Amsterdam. Di Inggris, surat kabar pertama bernama Curant of General news terbit pada 1662. Di Perancis, pemerintah menerbitkan surat kabar Gasete de France pada 1631. di Itali sudah ada surat kabar pada 1636.2

B.2. Sejarah perkembangan pers di Indonesia.

Di Indonesia, aktivitas jurnalistik dapat dilacak jauh kebelakang sejak penjajahn Belanda. Jurnalistik pers mulai dikenal pada abar 18, tepatnya pada 1744, ketika sebuah surat kabar berama Bataviasche Nouvelles diterbitkan dengan penguaaan orang-orang Belanda. Pada tahun 1776 , juga di Jakarta, tebit surat kabar Vendu Views yang mengutamakan diri pada berita pelelangan. Menginjak abad ke 19, terbit berbagai surat kabar lainnya yang kesemuanya masih dikelola oleh orang-orang Belanda.

Sedangkan surat kabar pertama sebagai untuk kaum pribumi dimulai pada 1854 ketika majalah Bianglala diterbtikan, disusul oleh Bromartani pada 1885, kedua di Weltevreden, dan pada tahun 1856 terbit Soerat Kabar bahasa Melajoe di Surabaya.3

Sejarah jurnalistik pers pada abad 20, ditandai dengan munculnya surat kabar pertman milik bangsa Indonesia, namnaya Medan Prijaji, terbit di Bandung. Surat kabar ini diterbitkan dengan modal dari bangsa Indonesia untuk Indonesia. Medan Prijaji yang dimiliki dan dikelola oleh Tirto Hadisuryo alias Raden Mas Djikomono ini pada mulanya, 1907, terbentuk mingguan. Baru tiga minggu kemudian, 1910 berubah menjadi harian. Tirto Hadisurjo inilah yang dianggap sebagai pelopor yang meletakan dasar-dasar jurnalistik modern di Indonesia, baik dalam cara pemberitaan maupun dalam cara pembuatan karangan dan ikatan 4

B.2.1.Dari bulan madu ke Gelap Gulita.

Setelah proklamasi ekmerdekaan, 1945, pers Indonesia menikmati masa bulan madu. Di Jakarat dan di berbagai kota, bermunculan surat kabar baru, pada masa ini, pers nasional bias disebut meujukan jatidirinya sebagai pers perjuangan. Orientasi meteka hanya bagaiaman mengamankan dan mengisi kekosongan kemerdekaan. Lain tidak. Bagi pers saat itu, tidak ada tugas yang mulia kecuali mengibarkan merah peutih setinggi-tingginya.

Pers pada masa ini lebih banyak memerankan diri sebagai corong atau teompet partai- partai politik besar. Era inilah yang disebut era pers partisan. Dalam era ini pers Indonesia terjebak dalam pole sekterian. Secara filosofis pers tidak lagi mengabdi kepada kebenaran untuk rakyat, melainkan kepada kemenangan untuk pejabat partai.

Sejak Dekrit Presiden 1 Juli 1959, pers nasional memasuki masa gelap gulita, setiap perusahaan penerbitan pers diwajibkan memiliki surat izin terbit (SIT). Lebih parah lagi, setiap surat kabar diwajibkan menginduk (berafiliasi) pada organisasi politik atau organisasi massa.

B.2.2.Kebebasan Jurnalistik pasca 1965.

Menurut Jakob Oetama, sejka 1965 itulah terjadi perubahan besar dalam dunia jurnalistik Indonesia. Pada mulanya, perkembangan itu disebabkan oleh tiga hal. Pertama, peristiwa-peristiwa tegang yang terjadi setelah G 30 S/PKI. Kedua, kebebasan pers yang menjadi lebih leluasa dibandingkan denga periode sebelumnya. Ketiga, barangkali juga embrio sikap profesionalisme dalanm redaksi dan dalam pengelolaan bisnis berupa sirkulasi, iklan, serta pengelolaan keuangan5 dan saat tahun 1966 terjadi pasang surtu ekonomi, politik, social dan budaya, fluktuasi kebebasan pers masih tetap lebih besar daripada sebelumnya.

B.2.3.Jurnalistik dalam orde reformasi.

Seperti biasa, setiap kali suatu rezim tumbang, disitulah pers menikmati masa bulan madu. Kelahiran orde reformasi sejak pukul 12.00 siang, kamis 21 Mei 1998 setelah Suharto menyerahkan jabatan presiden kepada wakilnay B.J. Habibie, disambut dengan suka cita. Terjadilah euphoria di mana-mana. Kebebasan jurnalistik berubah secar drastic menjadi kemerdekaan jurnalistik, Departemen Penerangan sebagaai malaikat pencabut nyawa pers, dengan serta merta dibubarkan.

Secara yuridis, UU Pokok Pers No.21/1982 pun diganti dengan UU pkok pers No.40/1999. dengan undang-undang dan pemerintahan baru, siapa pun bisa menerbitan dan mengelola pers. Siapa pun bisa mnejadi wartawan dan masuk dalam organisasi pers mana pun. Tak ada lagi kewajiban hanya menginduk kepada satu organisasi pers. Seperti ditegaskan Pasal 9 Ayat (1) UU Pokok Pers No.40/1999, setiap warga negara indonewsia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers. Pada pasal yang sams ayat berikutnya 92) ditegaskan lagi, setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum indonesia.

Dalam era reformasi, kemerdekaan pers benar-benra dijamin dan senantiasa diperjuangkan untuk diwujudkan. Semua komponen bangsa memilki komitmen yang sama: pers harus hidup dan merdeka. Hidup menurut kaidah manajamen dan perusahaan sebagai lembaga ekonomi. Merdeka menurut kaidah demokrasi, hak asasi manusia, dan tentu saja supemasi hukum.

B.2.4.Pers Indonesia menggenggam bara.

Pers Indonesia menggenggam bara. Judul itilah yang ditampilkan Harian Pagi kompas Edisi 7 Febuari 2005 ketika mengangkat laporan hasil jejak pendapat (polling) memperingati Hari Pers Nsional 9 Febuari 2005.

Hasil jejak pendapat anara lain menyimpulkan, setelah tujuh tahun kemerdekaan dinikmati, dunai pers indonesia kembali dihadapkan pada posisi dilematis, antara mempertahankan ataukah mengerem kebebasan yang dimiliki. Di satu sisi kekuasaan represif Orde baru membuat dunia pers menikmati masa gemilang dengan kebebasan yang seolah tidak terbatas. Namun, di sisi lain, liberaliasi pada akhirnya mengundang kekhawatiran publik.


BAB III
FUNGSI UTAMA DAN UNSUR-UNSUR PERS

A. Fungsi Utama Pers.

Pada dasarnya, fungsi pers dapat dirumuskan menjadi 5 bagian yaitu6:

1. Pers sebagai Informasi (to inform)

Fungsi pertama dari lima fungsi utama pers ialah menyapaikan informasi secepat-cepatnya kepada masyarakat yang seluas-luasnya. Setiap informasi yang disampaikan harus memenuhi kriteri dasar: actual, akurat, factual, menarik atau penting, benar, lengkap, utuh, jelas-jernih, jujur adil, berimbang, relevan . bermanpaat dan etis.

2. Pers sebagai Edukasi (to educate).

Apa pun infromasi yang disebarluaskam pers hendaklah dalam kerangka mendidik (to educate). Sebagai lembaga ekonomi, pers memang dituntut berorientasi komersil untuk memperoleh keuntungan financial . namun orientasi dan misi komersil itu, sama sekali tidak boleh mengurangi, apalgi meniadakan fungsi dan tanggung jawab social, Seperti ditegaskan Wilbur Schramm dalam men, messages, dan media (1973), bagi masyarakat, pers adalah weatcher, teacher dan forum (pengamat, guru dan forum).

3. Pers sebagai koreksi ( to influence).

Pers adalah pilar demokrasi keempat setelah legislative, eksekutif, dan yudikatif dalam kerangka ini, kehadiran pers dimaksudkan untuk mengawasi atau mengontrol kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif agar kekuasaan mereka tidak menjadi korup dan absolut.

Dalam negara-negara penganut paham demokrsi, pers mengemban fungsi sebagai pengawas pemerintah dan masyarakat (watchdog function). Pers senantiasa menyalak ketika melihat berbagai penyimpangan dan ketidakadilan dalam suatu masyarakat atau negara. Dengan fungsi kontrol sosial (social control) yang dimilikinya itu, pers bisa disebut sebgai institusi soail yang tidak pernah tidur. Namun dalam mengemban kontrol sosal, pers pun tunduk pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pers tidak steril dari norma-norma sosial budaya adama stempat. Pers tiudak kebal hukum, pers tidak bisa dianggap sebgai huku itu sendiri. Siapa pun yang dirugikan oleh pers bisa mengajukan gugatan hukum apabila penyelesaian melalui koridor yang ada seprti penggunaan hak koreksi, hak jawab dan pengajuan nota kebeqatan terhadap Dewan Pers, dianggap tidak memuaskan.

4. Pers sebagai rekreasi (to intertain).

Fungsi keempat pers adalah meghibur, pes harus mampu memeankan dirinya sebagai wahan rekreasi yang mnyennagkan seklaigus yang menyehatkan bagi smeua lapisan masyarakat. Artinya apa pun pesan rekreatif yang disajikan mulai dari cerita pendek sampai kepada teka-teki silang dan anekdot, tidak boleh bersifat negatif apalagi destruktif.

5. Pers sebagai mediasi (to mediate)

Mediasi artinya penghubung atau sebgai fasilatator atau mediator. Pers harus mampu menghubungkan tempat yang satu dengan tempat yang lain, peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain, orang yang satu dengan eristiwa yang lain, atau orang yang satu dengan orang yang lain pada saat yang sama. Dalam buku karya McLuhan, Understanding Media (19966) menyatakan pers adalah perpanjang dan perluasan manusia (the extented of man)

B. Unsur-Unsur Pers.
B.1. Landasan Pers7.

Menurut Keputusan Dewan Pers No.79/XIV/1974 tertanggal 1 Desember 1974 yang ditandatangani Menpen Mashuri, SH, pers nasional berpijak kepada enam landasan. Pada zamn Orde Baru, enam landasan tersebut dijadikan semacam “rukun iman” bagi para pengusaha pers dan kalangan praktisi jurnalisitk agar tidak tersandung dan bebas dari ancaman perbredelan yang setiap saat mengahntui mereka oleh “hantu” pemerintah.

Secara yuridis, ketika itu UU Pokok Pers No.21 1982 (sekarang UU pokok pers No. 40/1999( memang dikenal dengan tegas menyatakan terhadap pers nasional tidak dikenai pembredelan. Namun secara politis, pemerintah sering tak menggubrisnya . pemrintah melalui Depatemen Penerangan bisa kapan saj membrangus pers yang dianggapnya “tidak sejalan dengan kebijakan pimpinan nasional”. Deppen pada waktu itu adalah depertemen yang paling ditakuti oleh siapa pun yang berkecimplung dalam penerbitan pers nasional.

Dalam SK Dewan Pers 79/1974 ditegaskan, pers nasional berpijak kepada enam landasan, yakni (1) landasan idiil adalah pancasila, (2) landasan konstitusional adalah UUD 1945, (3) landasan strategis operasional adalah garis-garis besar haluan negara (GBHN), (4) landasan yuridis formal adalah tata nilai dan norma budaya agama yang beraku pada masyarakat bangsa indonesia, dan (6) landasan etis opersioanl adalah kodi etik persatuan wartawan indoensia (PWI)

Namun yang menjadi permasalahan apakah SK Dewan Pers 79/1974 yang dikeluarkan pada era pemerintahan otokratis itu masih relevan untuk dijadikan rujukan bagi pers saat ini yang telah bernjak pada era demokratis?. Kami berpendapat bahwa sebagian kecil landasan tersebut sudah tidak relevan. Sedangkan untuk sebgain bear dampai kini masih tetap sangat relevan setelah disesuaikan dengan perkembangan serta ketentuan yang berlaku.

Untuk yang tidak relevan, misalnya tentang landasan strategis opersional, dalam era reformsai MPR tidak lagi menetapkan GBHN. Begitu juga dengan landasan etis, keharusan untuk menginduk hanya kepada satu organisasi profesi sudah sangt kadalruwarsa sebab kini wartawan boleh bergabung dengan salah satu organisasi profesi pers mana saja yang diinginkannya.

Lantas apakah landasan pers nasional jadi menyusut dari enam menjadi lima atau empat landasan, misalnya? Kami berpendapat, jumlah tidak mengalami perubahan tetap enam landasan. Hanya isinya dan urutuannya saja yang diubah serta disesuaikan. Bagaimanapun pers nasional perlu tetap memiliki landasan untuk menghindari ironi, tirnai, dan bahkan hegemoni kekuasaan dalam tumbuhnya sendiri.

B.1.1. Landasan Idiil.

Yakni landasan idiil pers, tetap pancasila. Artinya, selam ideologi negara tidak diganti, suka atau tidak suka, pers nasional harus tetap merujuk kepada pancasila sebagai iedeologi nasional, dasar negara, falsafah hidup bangsa, sumber tata nilai, dan sumber segala sumber hukum.

Di negara manapun, pers sangat dipengaruhi dan sangat bergantung pada ideologi serta sistem politik yang dianut negar bersangkutan. Dalam negara monarki, lahir dan berkembang pers monarki. Dalam negara liberal, lahir dan berkembang pers liberal kapitalistik. Lalu dalam negara majemuk seperti di indonesia, apakah etis mengambangkan pers liberal kapitalisitk yang berorientasi komersial semata dan hanya mengabdi kepada pemilik modal?

B.1.2. Landasan Konstitusional.

Landasan konstitusional, berarti menujuk kepada UUD 1945 setelah empat kali dilakukan amandemen dan ketetapan-ketetapan MPR yang mengatur tentang kebebasan berserikat, berkumpul, dan kebebasan menyatakan pikiran, pendapat baik lisan ataupun tulisan.

UUD bukanlah kitab suci yang tak boleh diganti atau direvisi. UUD tidak perlu disakralkan. Dangat berbahaya apabila UUD hanya dijadikan alat ritual. UUD harus dijadikan senanriasa aktual. Pers nasional harus memiliki pijakan konstitusional agar tak kehilangan kendali serta jati diri dalm kompetisi era global.

B.1.3. Landasan Yuridis Formal.

Landasan yuridis formal, mengacu kepada UU Pokok Pers No.40/1999 unutk pers, dan UU Po0kok Penyiaran No.32/2002 untuk media radio siaran dan media telivisi siaran. Sekedar actaatn, dalam UU Pokok Pers No.40/1999, pers dalam arti media cetak berkala dan pers dalam arti media radio siaran berkala dan media televsisi siaran berkala, diartikan sekaligus diperlakukan sama sehingga menjadi rancu serta difungsional.

B.1.4. Landasan strategis Operasional.

Landasan strategis operasional, mengacu kepada kebijakan redasional media [ers masing-masing secara internal yang berdampak kepada kepentingan sosial dan nasioanl. Setiap penerbitan pers harus memilki garis haluan manajerial dan redaksional.

Garis haluan manajerial berkaitan erat dengan filosofis, visi, orientasi, kebijakan dan kepentingan komersial. Garis haluan redaksional mangatur tentang kebijakan pemberitaan atau sesustu yang menyangkut materi isi serta kemasan penerbiutan media pers.

B.1.5. Landasan sosiologis Kultural.

Landasan sosiologis kutural berpijak pada tata nilai dan norma sosial budaya agama yang berlaju pada dan seklaigus dijunu8nmg tinggi oleh masyarakat bangsa indonesia. Pers indonesia adalah pers naisonal yang sarat dimuati nilai serta tanggung jawab. Pers kita bukanlah pers liberal. Dalam segala sikap dan perilakunya, pers nasional dipengaruhi dan dipagari nilai-nilai kultural.

B.1.6. Landasan Etis Propesional.

Landasan etis propesional menginduk kepada kode etik profesi. Setiap organisasi pers harus memiliki kode etik. Secara teknis, beberapa organisasi pers bisa saja sepakat untuk hanya menginduk keada satu kode etik. Tetapi secara filosofis, setiap organisasi pers harus menyatakan terkait dan tunduk kepada ketentuan kode etik. Ini berarti tiap organisasi pers boleh memiliki kode etik sendiri, boleh juga menyepakati kode etik bersama

B.2. Pilar penyangga pers. 8

Pers itu ibarat sebuah bangunan, pers hanya akan bisa berdiri kokoh apabila bertumpu pada tiga pilar penyangga utama yang satu sama lian berfungsi saling menopang, tritunggal/ ketiga pilar itu ialah:

1.Idealisme.

2.Pada pasal 6 UU Pokok pers No.40/1999,
Pers nasional melaksanakan peranann sebagai berikut:
1)Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.
2)Menegaskan nilai-nilai dasar demokrasi dan hak-hak asasi manusia serta menghormati kebhinekaan.
3)Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat akurat, dan benar.
4)Melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap halhal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
5)Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Idealisme adalah cita-cita, obsesi, suatu yang terus dikejar untuk bisa dijangkau dengan segala daya dan cara yang dibenarkan menurut etika dan norma profesi yang berlaku serta diakui oleh masyarakat dan negara. Menegakan nilai-nilai demokrasi dan hak asai manusia, memperjuangkan keadilan dan kebenaran adalah contoh idealisme yang harus senantiasa diperjuangkan pers. Dasarnya, Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 3 ayat (1) UU Pokok Pers No.40/1999, pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial.

2. Komersialisme.

Pers tidak hanya harus punya cita-cita ideal. Pers sendiri harus punya kekuatan serta keseimbangan. Kekuatan untuk mencapai cita-cita, dan keseimbangan dalam mempertahankan nilai-nilai profesi yang diyakininya. Agar mendapat kekuatan, maka pers harus berorientasi kepada kepentingan komersial. Seperti ditegaskan pasal 3 ayat (2) UU Pokom Pers No.40/1999, pers nasional dapat berfungsi sebgai lembaga ekonomi.

Sebagai lembaga ekonomi, penerbitan pers harus dijalankan dengan merujuk pada pendekatan dan kaidah ekonomi, efisiensi dan efektivitas. Tegasnya, idealisme tanpa komersialisme hanyalah sebuah ilusi.

3. Profesionalisme.

Menurut Alex Sobur dalam bukunya Etika Pers, Profesionalime dengan Nurani (2001:83) makna profesional adalah:
a.Profesional menggunakan organisasi atau kelompok profesional sebagai kelompok refensi utama.
b.Profesional melayani masyarakat.
c.Profesional memiliki kepedulian atau rasa terpanggil dalam bidangnya,
d.Profesional memiliki rasa otonomi.
e.Profesional mengatur dirinya sendiri (self regulation).

Profesionalime berarti isme atau paham yang menilai tinggi keahlian profesional khususnya, atau kemampuan pribadi pada umumnya, sebagai alat utama untuk mencapai keberhasilan.

Seseorang bisa disebut profesional apabila dia memenuhi enam ciri berikut:

a.Memiliki keahlian tertentu yang diperoleh melalui penempaan pengalaman, pelatihan, atau pendidikan khsusus dibidangnya.
b.Mendapat gaji, honorium atau imbalan materi yang sesuai dengan keahlian, tingkat pendidikan, atau pengalaman yang diperolehnya.
c.Seluruh sikap, perilaku dan aktivitas pekerjaannya dipagari dengan dan dipengaruhi oleh keterikatan dirinya secara moral dan etika terhadap kode etik profesi.
d.Secara sukarela bersedia untuk bergabung dalam salah satu organisasi profesi yang sesuai dengan keahliannya.
e.Memiliki kecinaan dan dedikasi luar baiasa terhadap bidang pekerjaan profesi yang dipilih dan ditekuninya.
f.Tidak semua orang mampu melaksankan pekerjaan profesi tersebut karena untuk bisa menyelaminya mensyaratkan penguasaan keterampilan atau keahlian tertentu.

Dengan merujuk kepada enam syarat tersebut, maka jelas pers termasuk bidang pekerjaan yang mensyaratkan kemampuan profesionalime. Sebgai lembaga kemasyarakatan, pers memang anagt luwes, fleksibel, dalam menyikapi apa pun persoalan atau fenomena yang timbul dan berkembang dalam masyarakat. Namun sebagi lembaga ekonomi, tak ada pilihan lain bagi pers kecuali berorientasi secara komersial. Dari orientasi komersial itu, pers diharapkan meraih keunggulan finansial, industrial, institusional, moral dan sosial.
Tinjauan Analisis.

BAB IV
PERS DAN POLITIK

A. Hubungan Pers dan Politik Tinjauan History.

Pada era reformasi saat ini, ada fenomena yang menarik kaitannya politik dan pers. Banyak wartawan ikut serta terjun ke dunia politik. Para wartawan kini bukan hanya memberitakan pendidikan politik “dua+dua=empat”. Mereka juga ingin menjadi balon (bakal calon) yang ingin memimpin dan menjadi pemimpin.

Apa salah? Tentu tidak. Sebab, sejak zaman perjuangan kemerdekaan, wartawan indonesia memnag sudah dekat dengan politik. Ini tercermin, misalnya dalam kongres pertama PWI, 3 Febuari 1946. di Solo. Kongres itu sangant unik, tulis wartawan Suardi Tasrif (1976). Bukan saja untuk ukuran indonesia, tapi mungkin seluruh dunia. Sebab yang dibicarakan bukan soal pers yang bebas dan bertanggung jaab, “melainkan soal mengusir musuh dari tanah air dengan semangat kemerdekaan”.

Aktivis politik.

Kisah itu memang ada dasarnya. Ignas Kleden (1987) menyebut hampir semua pemimpin Indonesia di zaman perjuangan adalah “penulis aktif pers”. Kegiatan pers sejak awal didukung para intelektual terbaik bangsa. Mereka memakai pers jadi medium politik. Pers jadi muara pikiran kemerdekaan diapungkan.

Cara orang Cina (Tionghoa peranakan) dicontoh. Menerbitkan surat kabar bukan hanya untuk bisnis. Namun merangkap sarana membentuk opini publik. Tempat menyalurkan “ketidakpuasan kalangan Tionghoa disektor bisnis dan secara sosial” para pemerintah. Dengan resep itu, maka lahir gerakan Tionghoa modern. Lewat pembentukan pan-Tionghoa.

Belajar dari situ, para aktivis nasionalisme pribumi tergerak Abdul Rivai dan R.M.Tirto Adhi Soerjo, misalnya. Dwimingguan Bintang Hindia di Amsterdam, digerakan Abdul Rivai untuk isu-isu politik pendidikan dan kemajuan pribumi. Mingguan Medan Prijaji didirikan Tirto Adho Soerjo, pada 1 Januari 1907, sebagai forum opini” politik pribumi.

Begitulah kisah-kisah kewartawanan politis dimasa koloni. Yang melibatkan pula sejumlah nama, seperti Abdul Muis di Majalah Hindia Sarekat. Wahiddin Sudiro Husodo di Majalah Retnodhemilah. Keaktifan kewartawanan politis itu terus berlanjut sampai ke zaman Jepang, Kemerdekaan, Orde Lama, dan Orde Baru. Tiap periode memutarkan kisah-kisah tersendiri. Masing-masing punya “orde” berpolitik tertentu. termasuk, pada orde reformasi kini.

B. Hubungan Pers dan Politik Kini.

Maka itu, jika wartawan kini berpolitik terang-terangan memang punya sejarahnya. Jika mereka menjadi corong rakyat bukanlah hal yang tidak mugkin. Jika mereka mematut-matut diri di rapat partai politik, tidak perlu heran bahkan, jika mereka nanti ikut bergoyang dombret, dipanggung kampanye, janaan ditertawakan. Pun untuk yang menjadi peserta who want to be president? Kenapa tidak?

Duduk perkaranya tinggal di soal, bisakah ia melaksanakan tugas kewartawanan dengan baik? Bukankah wartawan punya tugas yang cukup berat? “wartawan harus berpegang teguh pada kebenaran dan setia kepada rakyat” tegas Bill Kovach dan Tom Rosendstiel (2001). Wartawan bekerja demi kemaslahatan publik. Ia tidak boleh gampang was-was dan berpihak pada urusan selain berita. Kerja memverifikasi beritanya, selain harus transparan dan sistematis, mesti independen. Tidak selingkuh dengan partai poitik atau penguasa atau pengusaha. Sebab bisakah mengharapkan wartawan meliput secara benar orang yang memiliki hubungan personal, intim dan loyalitas dengannya?

Harus ada jarak personal agar wartawan. Bisa meliput dan menilai berita dengan mandiri,. Dari sanalah, antara lain kebenaran, sebagai penyampai kisah yang punya kredibilitas.

Pengakuan tersebut diperoleh tidak take of garanted. Tetapi secara berulang-ulang, terus-menerus, diupayakan melalui pelbagai kode dan konvensi kebenaran yang layak dipercaya khalayak. Kredibilitas. (McNair, The Sociology of Journalism.1998).

C. Pers negatif dan positif.

Tatkala angin reformasi berhembus dengan kencang, koridor demokrasi pun perlahan tetapi pasti mulai terkuak. Ruang publik yang sebelumnya penuh dedngan jaring laba-laba kekuasaan yang setiap saat bisa membelenggu kebebasan pers Indonesai. Suara-suara alternatif yang sekian lama mengendap dibalik bilik kebisuan publik tiba-tiba menyeruak, seperti burung yang lepas dari sangkarnya, terbang kesana kemari.

Kalau kita coba lukiskan perkembangan pers Indonesia akhir-akhir ini, paling tidak ada beberapa hal penting yang menujukan perubahan wajah pers pasca- Soeharto.

Pertama, deregulasi media yang dilakukan rezim pasca-Soeharto seperti ditandai dengan dipermudahnya memperoleh izin dan dicabutnya sistem SIUPP telah menyebabkan maraknya penerbitan pers. Sayangnya peningkatan kuantitas media, belum dengan sendirinya disertai oleh perbaikan kualitas jurnalismenya.

Sementara media yng cenderung partisan terus melakukan “sensasionalisme bahasa” seperti tampak lewat pemilihn judul (headline) yang bombantis atau desain cover yang norak, majalah dan tabloid hiburan justru melakuakn “vulgariasasi” dan “erotisasi” informasi seks. Kalau bisa diebut sebagai pers negatif, seperti itulah kriterianya.

Kedua, maraknya apa yang disebut sebagai “media baru” (new media) dikalangan masyarakat kita akhir-akhir ini. Untuk menyebut di antaranya adalah internet dan teknologi multimedia yang semakin canggih. Akses internet membawa budaya baru dalam pemanfaatan waktu luang (leisure time). Dengan Internet, batas-batas ruang dan waktu telah musnah. Dan banyak lagi nilai manfaat dan nilai positif yang bisa diambil dan digunakan oleh pengguna media, demi efisiensi dan efektif kegiatan sehari-hari, tak berlebih jika kategori pers seperti adalah pers positif.

Ketiga, menguatnya fenomena aoa yag dikenal sebagai tesisi “imprealisme media. Fenomena ini disebablan globaliasi media transnasional dan invasi produk hiburan impor yang menguasasi pasar media dalam negeri.

D.Pers Kepentingan.
Benarkah media massa bebas keentingan? Jawabanya :tidak! Medi massa selalu terikat dan tumpang tindih dan sarat dengan pesan sponsor pemilik media, agenda terselebung dewan redaktur atau pun pelampiasan idealisme si waratwan. Ecenderungan pemberitaan media mssa akhir-akhir ini memperlihatkan bahwa sadar atau tidak, ia mampu membakar pertentangan antar suku, agama dan ras.

Untuk lebih jelas lihat gambar pada lampiran.

BAB V
POTRET PERS DI INDONESIA

A. Permasalahan dalam kebebasan pers.

Kebebasan pers yang muncul pada masa era reformasi ini ternyata membawa permasalahan baru. Peningkatan kuantitas penerbitan pers yang tajam (booming), tidak disertai dengan pernyataan kualitas jurnalismenya. Sehingga banyak tudingan "miring" yang dialamatkan pada pers nasional. Seperti kecurigaan pada praktek "jurnalisme preman", "jurnalisme pelintiran", jurnalisme omongan", dan tudingan-tudingan negative lainnya.

Ada juga media massa yang dituduh melakukan sensionalisme bahasa melalui pembuatan judul (headlines) yang bombasis, menampilkan "vulgarisasi: dan erotisasi informasi seks. Tetapi tentu saja kita tidak dapat melakukan generalisasi, harus diakui, bahwa masih banyak media massa yang mencoba tampil dengan elegan dan beretika, daripada yang menyajikan informasi sampah dan berselera rendah (bad taste)

Kemungkinan lain penyebab pers terus disorot, bahkan ada yang menyebut pers “kebablasan” adalah karena kurang profesionalnya jajaran aratwannya, kekurangan yang paling uatam adalah soal kemampuan memahami permasalahan yang akan diberitakan dan teknis ketermapilan menuliskannya. Untuk itu, wartawan di era reformasi perlu menguasai pengetahuan umum, skill, dan kepandaan menulis serta berapresiasi dalam kebebasan yang komperhensif dan partisipatif.

Memang aer reforamsi melahirkan dilema, masyarakat belum mamahami betul apa itu kebebasan pers serta apa yang akan dirasakan dari kebabasan itu sendiri. Masyarakat belum sadar sebenarnya kebebasan tersebut bukanlah untuk kepentingan kalangan pers sendiri, sebab secara tidak langsung ataupun langsung pers nasional merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan bangsa dan negara.

B.Masyarakat yang jenuh media.

Para ahli menyebut budaya dan masyarakat muktahir sebagi masyaakat yang enuh engan medi (medai saturrated society). Masyarakat muktahir adalah masyaraat yang dilimpahi dengan informasi berupa gambar, teks, bunyi, dan pesan-pesan visual, masyarakat yang dibanjiri informasi dan pesan-pesan komersial.

Mayarakat yang jenuh media ternyata juga telah menyebabkan narkotisasi media bagi masyarakat. “narkotiasasi” (narcotization) adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan efek negatif atau efek menyimpang (dysfunction) dari medai massa. Istilah ini sebenarnya berasal dari Paul F.Lazarsfeld dan Robert K Merton. Dalam eseinya, “Mass Comuniation, Popular Tate and Organized Social Action” (1984), mereka menggunakan istilah “narkotizing Dysfunction” untuk menyebeut konsekuensi sosial dari media massa yang sering diabaikan. Media massa mereka pandang sebagai peneyabab apatisme politik dan keleusan massa.

Media massa dipandang tekah menyebabkan berkurangnya aktivitas dan keadaan “pingsan” (stupor) yang dialami khalayak. Media massa dainggap sangat efektif untuk membuat orang kecanduan, karena media massa telah menjadi “narkotika sosial yang paling efisien dan paling bisa diterima”. Informasi media pun mempunyai efek tak ubahnya seperti efek obat bius atau narkotika. Dengan media orang mersa akan semakin anyak memliki informasi tentang dunia dan peristiwa di sekitar mereka, tetapi pengetahuan itu sebenarnya hanyalah permukaan. Dengan informasi yang melimpah oang seakan-akan bisa menjadi serbathau segala hal, tapi sebenarnya mereka hanya dapat pengethaun yang dangkal dan terpenggal-penggal. Mereka bukan dasar butuh tapi karena memang terus menerus disuguhi eada meak.
Pada akhirnya, orang-oarang menjadi kurang tercerahkan dan berkurang pula mintanya untuk terlibat dengan hal-hal yang bersifat aktual

BAB VI
KEBABASAN PERS ATAU KEBABLASAN PERS.

A. Menilik wajah pers kita: antar kebebasan dan kebablasan.

Apa yang pantas kita perbincangkan wajah pers nasional saat ini? Ada yang mengatakan, pers kita tengah memasuki sebuah era baru, era penuh kebebasan. Ini sejalan dengan perubahan pada konstalasi politik dan konstitusi nasional, yang memungkinkan para insan pers tidak lagi harus merasa jeli oleh kemungkinan kena brendel atau Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP)-nya dicabut. Eurofia kebebasan ini mewabah di mana-mana. Usaha penerbitan bermunculan bak cendawan di musim hujan.

Namun, pada saat bersamaan muncul juga pendapat bahwa kebebasan pers kita sudah kelewatan, alias kebablasan. Dalam hal ini pers dianggap sudah keluar dari batas kepatutan atas peran yang dimainkannya. Di san-sini muncul suara keluhan dan nada ketir masyarakat, yang pada intinya bermuara pada keprihatianan terhadap pemberitaan media massa yang sebagian diantaranya terkesan tidak lagi mempertimbangkan dampaknya pada khslayak dan tiadanya unsur prioritas pemberitaan.

Berbicara tentang pers, tentulah kita harus memasukan semua jenis media massa, mulai dari cetak, elektronik, hingga cyber media. Tak bisa dibantah, keprihatinan publik ada benarnya. sejumlah fakta sudah demikian terbuka untuk bisa dijadikan alasan. Di ketiga jenis media massa tersebut, kita bisa menyaksikan sejumlah distorsi dan penyelewengan-penyelewengan fungsi pers, mulai dari pemberitaan yang tidak akurat, kurang memerhatikan unsur cover both side, diabaikannya kaidah-kaidah kode etik jurnalistik (KEJ), hingga seringnya terjadi praktik pemeasan dan intimidasi oleh insan pers.

Yang tak kalah menyeramkan adalah tayangan televisi dan internet, yang bukan saja dianggap mengeksploitasi pornografi dan kekerasan sehingga dianggap meresahkan masyarakat, tetapi juga sudah mengganggu dan merampas kenyamanan publik yang menjadi objek pembereritaan itu sendiri.ada baiknya coba kita hitung, adakah kerugian psikologis yang dialami seseorang yangh sengaja “dijebak” menajdi objek dalam sebuiah acara yang seolah-olah dirinya dikejar-kejar hantu atau menjadi seorang tersangka dalam sebuah tindak kriminal. Bisa juga disodorkan kasus adegan syur Yahya Zaini dan Maria Eva. Apakah ini pertanda bahwa wajah pers kita demikian buruknya?

Kita memang harus berani mengatakan bahwa dalam dinamikanya, pers kita masih dalam proses pendewasaan. Dukup wajar jika di sana-sini masih jumpai sejumlah kelemahan, distorsi atau malah penyewengan. Meski demikian, memvonis pers sebagai satu-satunya pihak yang bersalah juga rasanya tak adil. Jika wajah pers demikian buruk, bukankah itu menjadi gambaran masyarakat kita sendiri? Barangkali, ada perlunya kita cermati pernytaan Prof, Stephen Hill, Direktur UNESCO Indonesia. Menurutnya, media hanyalah alat legitimasi perilaku dan tindakan bukan alat yang menciptakan keduanya.

Karena itulah, barangkali yang harus diuapayakan agar wajah pers tidak seburuk sekarang, adalah bagaimana menciptakan sebuah titik temu atau keseimbangan antara kebebasan yang dimiliki media massa dan garis batas yang boleh dilaluinya. Keseimbangan itu harus dibuat dengan tanggung jawab, bukan dengan pengekangan. Tanggung jawab media dalam membangun budaya harus diletakkan pada penegmbangan kemampuan pekerja di media massa itu sendiri. Dan itu hanya mungkin bisa dilakukan jika memang perangkat hukum yang ada di negeri ini mamapu mengakomodasikan peran dan fungsi pers tanpa harus kehilangan wibawanya.

Bagaimaan pun, pers bisa memainkan dua sisi yang berbeda. Pers bisa menjadi faktor kunci yang memberikan pencerahan dan mencerdaskan bagi publik. Menumbuhkan rasa optimisme, dan bahkan menguatkan budaya bangsa. Namun pada sisi lain, pers juuga bisa melumpuhkan, menjadi alat perusak taatnan kehidupan, bahkan disintegrsaikan bangsa. Untuk itulah, seklai lagi, sangat dibutuhkan, satu titik temu dan kesamaan pandang mengani sosok pers nasional.

B. Ancaman Kebebasan Pers.

Ancaman terberat bagi kemerdekaan pers d Indonesia saat ini justru dari kelompok massa. Walaupun ada ancaman dari pemerintah, polisi, maupun tentara, namun ancaman tersebut dari lembaga-lembaga tersebut atau perorangn dalam lembaga itu bisa lebih terkontrol, karena mereka punya pemimpin, yang bisa dimintai pertanggungjawaban, dan lembaga-lembaga itu mempunyai aturan baku yang dapat dijadikan rujukan.

Ancaman lain terhadap kemerdekaan pers adalah tidak kalah pentingnya adalah dari peraturan perundangan lainnya, khususnya KUH pidana dan KUH perdata.peristiwa yng menimpa Tempo, Koran Tempo, Rakyat Merdeka, dan koran lainnya menjadi pelajaran yang berharga bagi masyarakat pers dan penyiaran. Banyak orang bahkan para penegak hukum yang ebih memilih peraturan perundangan di luar UU no.40/1999 tentang Pers, dari pada menggunanakn uu Pers itu sendiri, dalam menyelesaikan masalah pemberitaan.

BAB VII
PENUTUP

A. Kesimpulan.

Kebebasan pers yang sedang kita nikmati sekarang memunculkan hal-hal yang sebelumnya tidak diperkirakan. Suara-suara dari pihak pemerintah misalnya, talh menanggapinya dengan bahasanya yana khas; kebebasana pers di ndoesia telah kebablasan! Sementara dari pihak asyarakat, muncul pula reaksi yang lebih konkert bersifat fisik.

Barangakali, kebebasana pers di Indonesia telah mengahsilkan berbagai ekses. Dan hal itu makin menggejala tampaknya arena iklim ebebasan tersebut tidak dengan sigap diiringi dengan kelengakapan hukumnya. Bahwa kebebasan pers akan memunculkan kebabasan, itu sebenarnya merupakan sebuah konsekuensi yan wajar. Yang kemudan harus diantisipasi adalah bagaimana agar kebablasan tersbeut tidak kemudian diterima sebagai kewajaran.

B. Saran.
Peningkatan Kualitas Pers.

Bersamaan dengan peningkatan perlindungan terhadap kemerdekaan pers, lembaga pers harus selalu menyempurnakan kinerjannya sehingga mampu menyampaikan informasi yang akurat, tepat, cepat, dan murah kepada seluruh masyarakat.

Sudah saatnya lembaga pers terus menyempurnakan diri dalam menyampaikan informasi, dengan selalu melakukan penelitian ulang sebelum menyiarkannya, melakukan peliputan berimbang terutama untuk berita-berita konflik agar masyarakat memperoleh informasi lebih lengkap untuk turut menilai masalah yang sedang terjadi.

Penyempurnaan kualitas pers merupakan kerja keras yang dilakukan hari demi hari untuk kepentingan masyarakat.

Gerakan Melek Media.

Salah satu jalan untuk menyembuhkan dari narkotisasi media adalah dengan menggalakan apa yang disebut dengan “media Literacy” atau pendidikan melek media. Pendiaiakn melek media mempunyai arti penting, karen aia meletakkan titik berat pehatian kepada upaya pemberdayaan khalayak media.

Pendidikan melek media mengembalikan titik berat upaya pembedayaan sepenuhnya ada di diri si khalayak media (pembaca, pendenganr dan pemiras). Orang-orang yang melek media (Media Literari People) jelas akan saenantiasa jeli dan kritis terhadap media.

Program Media Literacy dimaksudkan mendidik kahlayak suapaya senantiasa bersiakp kritisa terhadap infrmasi apapun yang ai teriam dari media. Media Litercy juga menanankan pentingnya kebiasaan untuk bersikap selektif atassetiap mata acara yang akan ditonton atau setiap berita yang akan dibaca. Sebab oarang-rang yang krang terdidik dalam memahami medialah yang lebih rentan bagi bentuk bentuk manipulasi yang halus.

Paling tidak ada lima unsur yang fudamental dalam pendidikan media literacy. Yakni, kesadaran terhadap dampak media; pamahaman terhadap proses komunikasi massa; strategis untuk menganalisis dan mendiskusikan pesan-pesan media; pemahaman terhadap isi media sebagai tekad yang menyajikan pandangan bagi kehidupan dan budaya kita; dan kesanggupan untuk menikmati, memahami dan mengapresiasi isi media.

DAFTAR PUSTAKA.

Sumadiria, As Haris. 2005. Jurnalistik Indonesia. Bandung. Simbiosa Rekatama Media.
Hamzah, A, I Wayan Suandra dan BA Manalu. 1987. Delik-Delik Pers di Indonesia. Cetakan Pertama. Jakarta: Media Sarana Pers.
Effendy, Onong Uchjana. 1993. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Cetakan Pertama. Bandung: Citra Aidya Bakti.
Oetama, Jakob. 1987 Perspektif Pers di Indonesia. Cetakan Pertama. Jakarat:LP3ES.
Sudibyo, Agus dkk. Kabar-Kabar Kebencian.Jakarta: Insistut Studi Arus Informasi.2001
Koran HU Pikiran Rakyat, Edisi Sabtu, 9 Febuari 2002.
_____________________, Edisi Rabu 8 Mei 2002.
_____________________, Edisi Selasa, 7 Mei 2002.
_____________________, Edisi Senin 9 Febuari 2004
Koran HU Media Indonesia, Edisi Jumat, 9 Febuari 2001.
Koran HU Republik, Edisi Jumat 9 Febuari 2001.
Koran HU Kompas, Edisi Senin 9 Febuari 2004.
________________, Edisi Jumat 4 Juli 2003.
7 comments 

7 comments:

Anonim mengatakan...

Thanks. Berkat tulisanmu ini aq bisa ngerjain tugasku dengan baik dan benar.Semoga sukses di masa mendatang.(Janji ga bakal tak copy-paste.Aq bukan plagiat kok)

Anonim mengatakan...

makasih,
saya mengambil beberapa bagian dari tulisan Anda untuk dijadikan referensi tugas saya. di dalamnya, saya mencantumkan alamat blog Anda. sekali lagi terima kasih.
salam.

Anonim mengatakan...

Thanks bgt buat tulisannya kak.Kebetulan aku butuh buat tugas PKN di sekolahku.

Salam kenal

Anonim mengatakan...

ka..aku ambil beberapa bagian tulisan ka" ya...wat tugas Pkn...
makaci....

Anonim mengatakan...

pada bab V, paraghrap ke empat, di akhir tulisan anda... tolong di perjelas lagi tulisannya. agar saya juga dapat memberikan kritik dan saran pada tulisan anda. makasih

shafrudin mengatakan...

pada bab V, paraghrap ke empat, di akhir tulisan anda... tolong di perjelas lagi tulisannya. agar saya juga dapat memberikan kritik dan saran pada tulisan anda. makasih.

Bagus pryz mengatakan...

ok bro...thanks...