24/03/2024

Puasa bermedi(t)a(si) Sosial.

Malam itu entah apa yang ada dipikiran saya. Tetiba saya terpikir untuk berpuasa media sosial. Trigger nya sih pernah baca twittan di Twitter, ada orang yang bisa full satu bulan puasa bermedia sosial.

Semua media sosial yg dimiliki dinonaktifkan. Dan full satu bulan tidak berinteraksi atau bersentuhan dg media sosial. Hasilnya secara psikis katanya lebih sehat, lebih bugar dan mendekatkan dg orang-orang terdekat.

Saya merasakan bahwa media sosial sekarang seperti teman dekat yg tidak dipisahkan. Bangun tidur sampe mau tidur kembali pasti buka media sosial.

Twitter dengan segala drama nya, Instagram dengan segala flexing nya, atau tiktok dg video-video fyp yg selalu bikin penasaran sampe tak tau waktu, atau sampai sekedar Facebook hanya untuk mengcek status teman. 

Puasa bermedia sosial pun memang sudah jauh-jauh hari terpikir, apalagi sekarang kan bulan ramadhan. Bulan puasa. Saya berpikir, bukankan berpuasa itu adalah mengontrol. Ya, saya jujur saya belum bisa mengontrol diri dalam hal ini dengan media sosial.

Ada sih perasaan FOMO, apa yg lagi rame atau tertinggal berita atau informasi dari luar. Tapi selama ini toh jadi orang pertama yg serba tau informasi jg ga jadi apa-apa. Hanya sekedar tahu dan bahan obrolan dalam tongkrongan semata. Selebihnya hanya hiburan mungkin dari media sosial tersebut.

Oke deh, sejak tadi pas sahur. Saya sudah logout semua media sosial sya: Twitter, tiktok, Instagram, Facebook. Mudah mudahan kuat ya. Sya mencoba bermeditasi dan mengalihkan energi libido bermedsos ini dengan baca buku. 

Semoga saja konsisten ya. :)

Jumat, 22 Maret 2024/ 12 Ramadhan 1445 H.

20/05/2023

Menguatnya Parlemen Media Sosial

 

Oleh: Oki Sukirman, S.Sos., M.Si

Pesatnya perkembangan teknologi telah mengantarkan dunia pada satu era yang disebut dengan era globalisasi. Era globalisasi adalah era di mana adanya kecenderungan budaya di wilayah-wilayah di dunia, baik secara geografis, sosiologis menjadi terhubung dalam system sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang sama dan seragam.

Akademisi Ilmu Politik asal Universitas Aachen, Emanuel Ritcher menjelaskan globalisasi dengan sangat gamblang, globalisasi merupakan jaringan kerja global secara bersamaan yang menyatukan masyarakat yang sebelumnya terpencar-pencar dan terisolasi dalam saling ketergantungan dan persatuan dunia.

Salah satu anak kandung yang terlahir dari rahim teknologi yang sangat berpengaruh adanya globalisasi adalah media sosial. Media sosial merupakan masterpiece terbaik yang dihasilkan oleh teknologi, di mana manusia mau tidak mau dipaksa untuk saling terkoneksi, terbuka secara cepat.


Benar saja pendapat yang dikemukakan oleh Van Dijk dalam Nasrullah (2015) bahwa media sosial adalah platform media yang memfokuskan pada eksistensi pengguna yang memfasilitasi mereka dalam  beraktifitas maupun  berkolaborasi. Karena itu media social dapat dilihat sebagai medium (fasilitator) online yang menguatkan hubungan antar pengguna sekaligus sebuah ikatan sosial.  Maka skurang-kurangnya bagi orang yang sudah melek teknologi pasti mempunyai media sosial sebagai sarana mengaktualisasikan diri.

Kehidupan sosial, budaya, ekonomi bahkan politik sangatlah dipengaruhi dengan adanya media sosial. Saat ini setiap orang bisa mengakses ruang public kemudian membagikan kepada khalayak banyak baik sebagai informasi, hiburan ataupun control sosial.

Dalam kehidupan sosial misalnya sudah banyak peristiwa-peristiwa yang dulu mungkin tidak terbayangkan menjadi konsumsi massal. Kini setiap orang melalui media sosialnya mampu merekam setiap kejadian-kejadian sosial di sekitarnya kemudian menjadi viral.

Ketimpangan sosial, ketidakadilan dalam penegakan hukum atau bahkan aspirasi-aspirasi politik yang selama ini tersendat, mampu disuarakan dan digemakan melalui media sosial. Manakala saluran-saluran politik formal (parlemen) tidak bekerja dengan semestinya, maka hadirnya media sosial menjadi alternatif utama dalam membangun kehidupan sosial politik yang berkeadilan. Itulah yang kini disebut dengan Parlemen Media Sosial.

Jika dahulu ada yang disebut dengan parlemen jalanan, di mana kanal menyuarakan aspirasi-aspirasi dilakukan dengan cara demontrasi turun ke jalan. Parlemen media sosial bisa dilakukan melalui sebuah dadget yang dimiliki oleh setiap orang.

Kasus yang menjerat Rafael Alun Trisambodo seorang pegawai Ditjen Pajak Kementerian Keuangan yang didakwa dengan pencucian uang adalah kerja dari parlemen media sosial. Dimana warganet dengan kritis membuka tabir kehidupan Rafael Alun melalui media sosial anaknya yang memposting barang-barang dan kehidupan mewah. Masyarakat merasa heran, sebagai Pegawai Negeri Sipil mempunyai kekayaan yang tidak wajar.

Peristiwa lain di mana masyarakat Lampung dengan kritis, mengkritik pembangunan infrastruktur jalan di Provinsi Lampung yang tidak kunjung diperbaiki. Dengan kekuatan parlemen media sosial, Presiden Jokowi sampai turun ke Provinsi Lampung yang akhirnya Presiden Jokowi mengambil alih perbaikan jalan oleh Kementerian PUPR.

Walaupun parlemen media sosial ini terbentuk dengan alamiah dan bergerak secara sporadis, namun bisa dikatakan bahwa parlemen media sosial ini menjadi solusi efektif manakala suara-suara dan aspirasi-aspirasi masyarakat yang seharusnya tersalurkan mandeg dengan procedural-prosedural politik yang rumit.

Namun demikian ada beberapa catatan dalam gerakan parlemen media sosial ini agar berjalan efektif dan mempunyai kekuatan yang menggema menjadi isu public. Pertama, sampaikanlah isu dan peristiwa dengan informasi yang utuh berdasarkan fakta dan realita. Penting saat mengangkat sebuah isu atau peristiwa menampilkan informasi yang utuh, tidak secara parsial karena kepentingan terselubung.

Kedua, pergunakalah kalimat yang sopan, tidak tendesius dan jangan melakukan doxing. Doxing adalah penyebaran informasi pribadi seseorang yang bertujuan untuk menjatuhkan orang tersebut. Alih-alih sebagai kritik sosial, namun jika dilakukan justru tidak tepat malah akan berhadapan dan melawan hukum.

Ketiga, lakukanlah dengan terus-menerus dan terhubung dengan akun-akun yang bergerak dengan gerakan yang sama. Gerakan parlemen media sosial sebagai control sosial memang harus dilakukan dengan konsisten dan simultan. Tidak menyerah karena isu yang diangkatnya tidak menjadi viral misalnya. Lakukanlah keterhubungan dengan akun-akun media sosial yang concern pada gerakan yang sama dengan metode tag (menandakan akun lain).

Demikianlah pentingnya gerakan parlemen media sosial sebagai gerakan kesadaran bersama dalam upaya membangun kehidupan sosial, budaya dan politik yang adil. Tentu saja gerakan parlemen media sosial ini hanya bisa tercapai dengan efektif manakala para insan-insan media sosial sadar juga akan ketentuan hukum dan norma yang berlaku.

* : Penulis adalah pegiat Fatsoen Politika Institute.

Fatsoen Politika Institute adalah lembaga think thank yang focus pada wacana pembangunan politik dan demokrasi berkeadaban.


17/05/2023

Tantangan Penyelenggara(an) Pemilu di Era Post Truth

Oleh: Oki Sukirman, S.Sos, M.Si*

Tak salah memang jika tahun 2024 disebut sebagai tahun pesta besar demokrasi Indonesia. Sebagaimana ditetapkan oleh KPU, tahun 2024 akan digelar Pemilu dan Pilkada secara serentak. Jika tidak ada aral melintang, tanggal 14 Februari 2024 akan dilakukan pemungutan suara untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Kemudian untuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yaitu pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota, akan digelar serentak pada 27 November 2024.

Sejatinya harapan besar masyarakat, pelaksanaan Pemilu 2024 bisa terlaksana lancar dan sukses dengan prinsip mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif, dan efisien (Pasal 3 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017).

06/03/2022

Suhu politik Menjelang 2024 Mulai Memanas, Oki menawarkan Gerakan Moderasi Politik.


Perhelatan pesta politik tahun 2024 memang masih terhitung 3 tahun lagi. Namun suhu politik sudah mulai memanas. 

Seperti diketahui pada tahun 2024 bakal digelar pemilu serentak di mana Pemilihan Legislatif (pileg), Pemilihan Presiden (Pilpres) dan sebagian daerah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dilaksanakan bersamaan pada tahun 2024.

 Mulai memanasnya suhu politik tersebut ditandai dengan mulai banyaknya tokoh politik yang sudah memasang kuda-kuda untuk kontestasi 2024. 

Menurut Direktur Jaringan Versi Indonesia, Oki Sukirman,  ancang-ancang untuk perhelatan 2024 ini memang tidak bisa dihindari, mesin harus muai dipanaskan dari sekarang. 

"Tahun 2024 memang masih tinggal 3 tahun lagi. Tapi hal yg wajar jika tokoh politik saat ini sudah mulai muncul untuk kandisasi 2024," ucap Oki. 

Saat ini sudah ada beberapa tokoh yg secara malu-malu kucing, muncul  untuk tujuan politik 2024. Bahkan beberapa pendukung masing-masing tokoh sudah mendeklarasikan dan pembentukan tim pemenangan. 

Prospektus Partai Baru pada Pemilu 2024

Menyongsong Pemilu 2024 berbagai pihak sudah bersiap sedia memasang kuda-kuda menghadapi perhelatan pesta demokrasi lima tahunan tersebut. Secara hitungan, hanya tinggal 3 tahun lagi pemilu 2024 digelar. Sebagaimana diketahui Pemerintah dan DPR menyepakati Pemilu 2024 adalah Pemilu serentak, di mana  pemilihan Presdien (Pilpres), Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dilakukan secara serentak pada tahun 2024.

Terlepas dari berbagai tokoh dan politisi yang muncul ke publik yang berpotensi bertarung pada ajang Pilpres 2024, ajang Pileg juga cukup menjadi perhatian yang menarik. Selain sempat menjadi perdebatan yang cukup alot tentang Parliamentary Threshold (PT) yang akhirnya PT tetap pada angka 4%. Ini dikarenakan muncul partai-partai baru yang saat ini sudah mendeklarasikan diri untuk bisa ikut pada Pemilu 2024. 

Berkaca pada hasil pemilu 2019 yang lalu. Persaingan Pemilu 2024 selain akan ada peserta baru , juga bagi partai-partai non parlemen saat ini Pemilu 2024 nanti menjadi ajang pertarungan yang ketat dan sengit. Tercatat jika melihat hasil dari Pemilu 2019 yaitu PDI-P (19,33 %), Gerindra (12,57 %) Golkar (12,31 %), PKB (9,69 %), Nasdem (9,05 %), PKS (8,21 %), Demokrat (7,77 %), PAN (6,84 %), PPP (4,52 %), Perindo  (2,67 %), Berkarya (2,09 %), PSI (1,89 %), Hanura (1,54 %), PBB (0,79 %), Garuda (0,50 %) dan PKPI (0,22 %) (sumber https://pemilu2019.kpu.go.id).

Di antara partai-partai baru yang sudah muncul ke publik saat ini yaitu Partai Gelombang Rakyat (Gelora), Partai Ummat, Partai Masyumi, Partai Rakyat Adil Makmur (Prima), Partai Era Masyarakat Sejahtera (Emas), Partai Usaha Kecil Menengah (PUKM), Partai Indonesia Terang (PIT), Partai Negeri Daulat Indonesia (Pandai), Partai Nusantara, dan Partai Indonesia Damai (PID). Dan partai-partai lain yang mungkin muncul ke depannya.

Bagi partai baru tersebut tentu pekerjaan yang pertama sebelum bisa bertarung pada Pemilu 2024 adalah mendaftarkan diri di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) untuk memperoleh legalitas kelembagaan dan mendaftar ke KPU. Setelah itu tentu mengikuti tahapan verifikasi faktual untuk memastikan diri menjadi peserta pemilu 2024. 

Tahapan dan syarat-syarat verifikasi faktual tersebut bukanlah hal mudah. Pasca lolos verifikasi faktual KPU pun, partai-partai baru tersebut harus bekerja keras agar lolos ambang batas PT sebesar 4%.

Jika diliat dari partai-partai baru yang muncul saat ini, para tokoh yang menggerakan dan mendirikannya memang tidak asing  Partai Ummat misalnya yang merupakan "pecahan" dari PAN yang diprakarsai oleh Amien Rais dengan Ridho Rahmadi sebagai Ketua Umum yang juga memantunya.  Kemudian ada juga Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal yang menginisiasi berdirinya Partai Buruh. Dan Terbaru ada Partai Pandai yang diketuai oleh Farhat Abas dan rekan-rekan lawyer lainnya seperti Elza Syarief. Tentu jangan dilupakan juga ada Partai Gelora yang digawangi oleh Anis Matta dan Fahri Hamzah.

Lalu bagaimana prospek dan peluang partai-partai baru tersebut. Apakah dengan modal ketokohan yang populer cukup untuk mengantarkan partai-partai baru tersebut ke senayan? Sejauh mana kekuatan yang dibangun agar bisa bersaing pada Pemilu 2024?

Dalam analisis penulis, setidaknya ada 3 catatan penting terkait eksistensi partai-partai baru pada Pemilu 2024 mendatang. Pertama, partai-partai baru yang saat ini sudah mendeklarasikan diri perlu effort yang sangat besar. Dari mulai membangun popularitas partai, kemudian meyakinkan konstituen untuk meneguhkan pilihan terhadap partai mereka sampai ketersediaan logistik yang kuat. 

Seperti diketahui, nyatanya tidak ada diferensiasi yang cukup signifikan antara partai lama dan baru yang muncul saat ini. Irisan idiologi maupun program jika tidak mau dikatakan sama, malah condong seperti partai satelit dari partai yang sudah ada. Contohnya Partai Gelora dan Partai Umat yang keduanya adalah partai yang didirikan karena para Founding Fathers partai tersebut adalah tokoh-tokoh yang mundur  -jika tidak mau dikatakan tersingkir- di partai sebelumnya. Anies Mata yang mundur dari PKS dan Amien Rais dan gerbongnya yang kalah pada kongres PAN di Kediri pada tahun 2020 kemarin.

Oleh karenanya, partai-partai baru ini selain membutuhkan logistik yang cukup besar untuk mengdongkrak partainya juga perlu usaha besar untuk bisa keluar dari bayang-bayang induknya.  

Kedua, sebelum bertarung dan jadi peserta pemilu 2024 dengan Parliamentary Threshold (PT) sebesar 4%, partai-partai baru pun sangatlah kesulitan untuk minimal bisa menjadi peserta pemilu melalui tahapan verifikasi faktual oleh KPU. Apalagi jika sudah ditetapkan menjadi peserta Pemilu 2024, partai-partai baru pun haru bersaing dengan partai-partai non parlemen saat ini (yang tidak lolos di Pemilu 2019). 

Penulis ambil satu contoh bagaimana Perindo dalam pemilu 20219 kemarin. Dengan dukungan logistik dan publikasi media yang masif, masih belum cukup untuk meloloskan partai tersebut . Hary Tanoe sudah mencurahkan semua daya politik yang dia milik. Namun nyatanya, Perindo hanya mendapatkan suara 2,67 dan menjadi juara harapan 1 pada pemilu 2019 kemarin.

Ketiga, Popularitas dan ketokohan partai-partai baru. Popularitas tokoh politik pendiri atau ketua umum partai politik sangatlah penting. Namun ternyata tokoh politik atau ketua umum yang populer belum cukup menjadi garansi untuk bisa meloloskan partai tersebut . Amien Rais sebagai Bapak Reformasi kenyataanya tidak mampu memberikan efek terhadap kebesaran PAN. PAN pada Pemilu 2019 kemarin hanya menjadi partai papan bawah dengan suara sebesar 6,84  %  dan menduduki peringkat ke 8 dari 9 partai yang dinyatakan lolos ke senayan. 

Setali tiga uang dengan Partai Gelora, jika ceruk konstituennya adalah irisan PKS cukuplah berat. Persoalannya soliditas di akar rumput para kader PKS cukup bisa diuji waktu dan keadaan. Permasalahannya apakah para tokoh Partai Gelora saat ini mempunyai basis kuat di tataran grassroot?

Dengan demikian sampailah pada simpulan dari analisis di atas yaitu partai-partai baru yang akan bertarung pada Pemilu 2024 jika tidak mau dikatakan mustahil untuk lolos pada pemilu 2024, perlu keajaiban yang sangat besar untuk bisa bersaing atau bahkan bersanding dengan partai-partain incumbent. Diperlukan effort yang sangat besar, baik dari segi logistik, pembangunan popularitas tokoh dan juga pembentukan mesin partai yang tersebar di seluruh nusantara hingga pelosok desa.

Dalam pandangan penulis, perhelatan Pemilu 2024 masih "belum pantas" menjadi arena keikutsertaan partai-partai baru yang disebutkan di atas. Setidaknya dengan waktu yang tinggal 3 tahun lagi partai baru ini sudah kalah segalanya. Dari mulai start, popularias tokoh, soliditas mesin partai dan tentu saja logistik.

Setidaknya partai-partai baru yang saat ini muncul jika diproyeksikan adalah pada pertarungan Pemilu 2029. Tentu saja dengan beberapa catatan, diantaranya bahwa partai-partai baru tersebut mulai dari sekarang harus sudah menegaskan positioning mereka. terutama perihal ideologi dan kepentingan yang akan diperjuangkan. 

Prof Firmanzah, Ph.D dalam bukunya Mengelola Partai Politik (2011:99-100) menjelaskan pentingnya kejelasan ideologi. Masyarakat membutuhkan penanda yang memudahkan mereka untuk mengidentifikasi tiap-tiap informasi. Penanda juga membantu pemilih dalam menentukan partai politik yang akan mereka pihaki. Penanda ini tidak hanya bersifat sementara dan sektoral, melainkan holistik dan melingkupi identias politik secara keseluruhan. Dan penanda yang sangat berguna dalam politik adalah ideologi.

Selain itu juga partai baru ini pun harus mampu memunculkan tokoh sebagai simbol partai yang menjual dengan daya tawar tinggi dari mulai popularutas, kredibilitas sampai integritasnya. Branding tokoh sebagai simbol partai diperlukan karena dalam politik dikenal istilah efek ekor jas (coat-tail effect). 

Efek ekor jas berarti  merujuk kepada hasil yang diraih oleh suatu pihak dengan cara melibatkan tokoh penting atau tersohor, baik langsung maupun tidak langsung, melalui suatu perhelatan. Karena pemilih cenderung melihat tokoh siapa yang diusung, yang pada akhirnya turun pada kepercayaan untuk partai mana yang dipilih. 

Dan tak kalah terpenting adalah partai-partai baru tersebut haruslah konsisten untuk mengembangkan jaringan, membangun sistem dan kaderisasi yang jelas dan terukur. Mesin partai organik yang solid adalah modal utama dalam menggerakan partai untuk ke depannya.

Jika sudah konsisten dijalankan, tidak mustahil pada pemilu 2029 partai-partai baru tersebut akan mendapatkan posisi dan diperhitungkan untuk bisa lolos dan dipercaya oleh masyarakat menjadi partai anggota parlemen. Wallahua'lam.

*: Pegiat Fatsoen Politika insitute, Konsultan Komunikasi Politik Jaringan Versi Indonesia.



Oleh Oki Sukirman, S.Sos. M.Si*



30/05/2012

Menyoal Etika Komunikasi Politik Politisi Kita; Studi Komunikasi Marzuki Alie, Ketua DPR RI


BAB I PENDAHULUAN

 1.1.Latar Belakang 

Sudah jatuh tertimpa tangga. Begitulah kira-kira nasib Partai Demokrat (PD) dalam beberapa bulan terkahir. “Episode Nazaruddin” yang tak usai-usai, “Andi Nurpati” yang terus tersudut, dan diperparah oleh buruknya tingkah laku para politisinya, menambah daftar panjang sejarah kelam Partai Pemerintah ini. Sepertinya masih segar dalam ingatan kita bagaimana perdebatan Ruhut Sitompul dengan Amir Syarifudin yang secara terang-terangan saling serang opini pada sebuah acara di TV Swasta. 

Seolah mereka lupa bahwa mereka hidup dalam satu rumah, namun perseteruan tersebut tidak bias dihindarkan. Tentu ini menjadi preseden buruk, tidak saja bagi keutuhan partai namun juga bagi kestabitaln politik bangsa ini. Namun, tak sampai disana perilaku controversial yang lakukan oleh para politisi kita ini. Acap kali para politisi kita, memunculkan bahkan menggelindingkan pernyataan /statemen ke public secara kontrversial sehingga menimbulkan resistensi dan kecaman dari berbagai khalayak. Bila kita cermati, hal inilah yang sering kita temui pada seorang politisi senior PD yang juga Ketua DPR RI yaitu Marzuki Ali. Pada dasarnya, sebuah pernyataan tidaklah menjadi soal, sebab itu menjadi hak asasi manusia yang dilindungi dalam Undang-Undang (UU) bahwa setiap orang dilindungi dan diberi kebebasan dalam mengeluarkan pendapat baik lisan maupun tuli\san. Tetapi, yang menjadi permasalahan adalah kapasitas siapa dia yang sedang mengeluarkan opini tersebut. Statemen seorang Ketua DPR RI tentu akan menjadi lain jika disamakan dengan statemen dengan seorang tukang becak pada satu isu, misalnya. Tentu bobot statemen seorang Ketua DPR RI menjadi lebih penting (walaupun tidak selalu berbobot. 

Oleh karenanya, di sinilah titik permasalahannya, sesungguhnya pola dan strategi komunikasi politik seorang politisi sesungguhnya haruslah hati-hati, penuh pertimbangan, tidak asbun (asal bunyi), karena dari statemen itulah akan mencitrakan dan menggambarkan konsepsi public tentang dirinya secara personal sebagai politisi dan secara institusi yang sedang dia duduki. Dalam hal ini. Marzuki Alie memang sosok politisi yang berbeda. Bisa dibilang, dia tidak pandai memoles citra dirinya, seperti kebanyakan politisi kita. Paradoks Marzuki misalnya dalam masalah pembubaran KPK dan pengampunan koruptor atau soal musibah Tsunami di Mentawai, sungguh diluar logika akal sehat politik. Menimbulkan riuh dan keganduhan politik. Yang tentu saja tidak saja merugikan secara personal, namun juga secara komunal baik institusi DPR maupun Demokrat. 

Dalam konteks komunikasi politik, elemen integritas personal seorang politisi sesungguhnya tak hanya menyangkut kualitas pernyataan yang ia wartakan, namun juga mencakup kapasitas dalam meletakkan pernyataan sesuai konteks suasana batin yang hidup di masyarakat. Di dunia politik praktis, Marzuki memang the rising star, yang melesat ke puncak pimpinan DPR. Sebab, di internal Demokrat sendiri, Marzuki tak banyak dikenal. Bahkan Marzuki sendiri mungkin tak percaya, bahwa saat kursi Ketua DPR, yang merupakan salah satu karir puncak dari seorang politisi, kini telah ia raih. Ekspektasi publik terkait sosok pimpinan DPR yang lebih baik dari periode Akbar Tandjung dan Agung Laksono pun kandas. Ketenangan, kemampuan diplomatis, dan kehati-hatian dalam membuat pernyataan yang dimiliki Akbar dan Agung tampaknya absen dalam kepemimpinan Marzuki. Padahal, dalam sistem demokrasi, kepercayaan publik terhadap parlemen mutlak diperlukan. 

09/04/2010

Polisi dan Demokrasi kita.

Oleh: Oki Sukirman Dzil-Akhwaini*

Polisi..polisi…polisi…
Kenapa kau kejam sekali,
Mahasiswa kau pukuli,
Koruptor kau lindungi,
Polisi…Polisi..polisi..

Penggalan lirik lagu diatas memang sudah tidak asing lagi, setidaknya bagi para mahasiswa atau demontrans yang setiap kali aksi turun ke jalan mendengungkan lagu tersebut. Tulisan ini hanya sedikit catatan seorang demonstran yang prihatin melihat realitas penegakan hukum di Indonesia yang mana polisi sebagai aktor utamanya.

Tentu saja, tidak serta saya merta menyertakan ”lagu wajib” aksi tersebut. Refleksi saya, lagu tersebut sangatlah relevan dengan fenomena yang terjadi saat ini, khususnya dengan kasus perusakan Sekretariat Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Makasar yang dilakukan oleh oknum kepolisian atau dengan kasus yang sedang hangat saat ini yang menimpa Gayus Tambunan, seorang pejabat eselon golongan III A Dirjen Pajak yang terseret kasus penggelapan pajak senilai 25 Miliar yang melibatkan pada petinggi Polri. Jadi mungkin memang benar penggalan lagu tersebut, mahasiswa kau pukuli, koruptor kau lindingi.

Adalah Susno Duadji, Mantan Kabareskrim Polri yang mengungkapkan tentang adanya mafia kasus dalam tubuh kepolisian dalam kasus penggelapan pajak oleh Gayus Tambunan tersebut. Sungguh hal yang sangat ironis sekali, begitu menyakiti hati masyarakat Indonesia, satu sisi masyakarat percaya terhadap kepolisian sebagai penegak hukum, namun bersamaan dengan itu masyarakat pun dikecewakan dengan tindakan aparat kepolisian yang ”bermain mata” dengan pegawai pajak hanya untuk kepentingan pribadi semata.

13/11/2009

Rekonstruksi Budaya Organisasi Di Sekolah yang Dinamis


Oleh. Oki Sukirman Dzil-Akhwaini*

Kekerasan dan tawuran antar siswa, ulah gank-gank motor yang sangat meresahkan masyarakat, serta kehidupan bebas para remaja yang terjerumus pada kehidupan bebas; seks bebas, penyalahgunaan obat-obatan terlarang adalah sebagain kecil dari output pendidikan yang yang sudah sangat keluar dari semangat keteraturan moral dan supremasi nilai kemanusiaan (Tilaar dalam Ma’arif, 2005:77) Inilah salah satu indikator gagalnya pendidikan di Indonesia. Dalam hemat penulis, hal ini terkait belum terciptanya budaya organisasi di sekolah yang mampu menjawab tantangan zaman saat ini.

Bagaimanapun budaya organisasi di sekolah adalah hal yang urgen dan vital. Budaya organisasi sendiri dimaknai sebagai kerja sama yang terjalin antar elemen anggota organisasi yang memiliki unsur visi dan misi, sumber daya, dasar hukum struktur, dan anatomi yang jelas dalam rangka mencapai tujuan tertentu.

Stephen Stolp (1994) dalam beberapa penelitiannya yang diterbitkan melalui ERIC Digest mengungkapkan bahwa budaya organisasi di sekolah berkorelasi dengan peningkatan motivasi dan prestasi belajar siswa serta kepuasan kerja dan produktivitas elemen-elemen sekolah.

Dalam hal ini posisi kepala sekolah sebagai ”leader” dan ”manajer” di sekolah mempunyai peranan sangat penting. Kepala sekolah hendaknya mampu melihat lingkungan sekolahnya secara holistik. Melalui pendalaman pemahamannya tentang budaya organisasi di sekolah, maka ia akan lebih baik lagi dalam memberikan penajaman tentang nilai, keyakinan dan sikap yang penting guna meningkatkan stabilitas dan pemeliharaan lingkungan sekolahnya.

Dalam upaya membangun kembali budaya organisasi sekolah yang lebih dinamis, penulis berpedoman pada tesis Fred Luthan dan Edgar Schein (1995) yang mengetengahkan enam karakteristik penting dalam membangun budaya organisasi yang dinamis dan efektif disekolah diantaranya; dominant values, philosophy, rules, dan organization climate.

Negara dalam Cengkraman Mafioso.


Oleh. Oki Sukirman Dzil-Akhwaini*

Diperdengarkannya percakapan (hasil sadapan Komisi Pemberantasan Korupsi) antara Anggodo, keluarga, pengacara, dan jaringannya oleh Mahkamah Konstitus telah membuka mata rakyat Indonesia. Ada pelajaran yang sangat berharga dari rekaman tersebut dari mulai modus para mafia dalam “merampok” uang negara sampai upaya mereka membentengi diri agar terhindar dari jerat hukum.

Bisa jadi saat ini masyarakat sudah “mati kutu” dan kehabisan akal dalam usaha sekedar mengingatkan dan menegur para aparat penegak hokum agar jangan tebang pilih. Setidaknya ini ditandai dengan dukungan oleh para Facebookers kepada Wakil Pimpinan KPK, Bibit dan Chandra yang ditahan karena diduga melakukan penyalahgunaan wewenang pada awalnya, lalu berubah menjadi kasus pemerasan dan penyuapan. Aksi protes para Facebookers telah mencapai angka 1 juta orang lebih hanya dalam beberapa minggu saja. Ini bagaikan bom waktu yang siap meledak, setidaknya jika melihat aksi-aksi proses tersebut yang belum memperlihatkan mereda bahkan berkesudahan.

Sikap para penegak hokum yang seolah telah “tertutup” mata batinnya (jika tidak mau dikatakan sudah dibutakan mata fisiknya oleh kekuasaan) mencari-mencari pembenaran dalam rangka mempertahankan “image” dan “gengsi” lembaga bersamaan dengan oknum-oknumnya yang terlibat dalam jejaring Mafioso.

Sikap para wakil rakyatpun setali tiga uang, Bahkan justru lebih parah. Harapan masyarakat agar wakil rakyat menjadi garda terdepan dalam menyampaikan aspirasi rakyat, belum terwujudkan. Ini terlihat dalam sikap wakil rakyat; Komisi III DPR dalam dengar pendapat dengan Polri Kamis (5/11).

Komisi III DPR seolah melawan arus tsunami resistensi masyarakat dalam kasus penahanan Bibit_Chandra, bahkan mempertontonkan sikap yang bertolakbelakang dengan hujatan-hujatan masyarakat. Tepuk tangan yang dilakukan oleh anggota Komisi III DPR dan diikuti dengan foto bersama seusai rapat tersebut bukan saja memunculkan tanda tanya di mata publik, tetapi juga membuat hati rakyat dan nurani reformasi teriris-iris.

Refleksi Hari Pahlawan dan Kisruh DPRD Kabupaten Bandung.


Oleh.Oki Sukirman*
Konflik yang terjadi dalam tubuh DPRD Kabupaten Bandung yang berkepanjangan dan tidak kunjung usai sungguh sangat memprihatinkan. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang menjadi jembatan dan medium yang bisa meminimalisasi kesenjangan aspirasi antara rakyat dan pemimpinnya tidak bisa secara ideal diwujudkan. Ini bertolak belakang sekali dengan semangat para pahlawan dahulu yang memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia.
Tepat hari ini, tanggal 10 November 2009 kita memperingati sebagai hari Pahlawan. Perjuangan para pahlawan dalam merebut kemerdekaan dari kolonial penjajah hendaknya mampu dimaknai betul oleh kita semua. Tulisan ini sekedar pesan moral terutama kepada para wakil rakyat di Kabupaten Bandung yang sedang berkonflik.
Konflik itu sendiri berawal dari rapat pembentukan alat kelengkapan DPRD Kabupaten Bandung yang baru dilantik. Pertarungan kepentingan koalisi-koalisi yang ada dalam tubuh DPRD sudah sangat terasa. Konflik ini disebabkan oleh ketidakhadiran dua pimpinan DPRD yang berasal dari partai Demokrat dan Golkar yang juga tergabung dalam Koalisi Lanjutkan Karya Nurani Bangsa dalam rapat tersebut. Namun rapat pembentukan alat kelengkapan dewan tersebut tetap berjalan yang dihadiri sebagian besar fraksi-fraksi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih yang terdiri dari Fraksi PDIP, Frasi PKS, Fraksi PAN dan Fraksi Madani (minus F-Hanura memilih bergabung dengan F-D dan F-Golkar yang tidak hadir).
Hasil Rapat Paripurna DPRD yang dilaksanakan pada Jumat (2/10) malam tersebut, menetapkan pimpinan alat kelengkapan DPRD jatuh ke tangan empat fraksi seluruh yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih. Dan fraksi Demokrat dan Golkar tidak memperoleh kursi pimpinan alat kelengkapan sebab tidak memasukkan nama-nama anggotanya dalam komposisi alat kelengkapan tersebut.
Disinilah kekisruhan terjadi, satu pihak mengklaim bahwa rapat tersebut tidak sah karena tidak mengindahkan dari tata tertib DPRD, serta telah melakukan pelanggaran kode etik dan mengabaikan kewajiban anggota dewan. Namun pihak lain rapat tersebut dianggap sah sebab ketidakhadiran sebagian besar anggota DPRD merupakan pilihan mereka dan rapat tersebut telah memenuhi syarat quorum dalam rapat.
Karena kekeukeuhan dua pihak yang berseteru inilah yang menyebabkan kebekuan dan kemandegan proses kerja DPRD saat ini. Hal ini terbukti dari beberapa agenda dan permasalahan penting banyak yangterbengkalai. Misalnya masalah guru honorer yang hingga sekarang masih belum jelas solusinya. Banyak di antara mereka yang sudah puluhan tahun mengabdi sebagai pendidik, hingga sekarang belum diangkat pegawai negeri sipil (PNS). Atau permasalah periodisasi kepala sekolah seperti yang sudah disiapkan di Kota Bandung, juga pengangkatan Kepala Dinas Pendidikan, serta BOS Provinsi, dan Porda yang di depan mata, dll.
Penulis disini tidak menyoroti pihak mana yang benar ataupun salah. Sebab hal tersebut bersifat subjektif dan bersentuhan dengan aroma politis. Penulis berharap adanya kedewasaan para wakil rakyat dalam proses berpolitik. Sebab penulis sebagai seorang aktifis pergerakan pun menyadari, bahwa konflik kepentingan dalam politik adalah hal yang lumrah. Namun hal itu jangan sampai menjadi penghambat dari subtansi politik itu sendiri yaitu mensejahterakan rakyat.