24/03/2024
20/05/2023
Menguatnya Parlemen Media Sosial
Oleh: Oki Sukirman, S.Sos., M.Si
Akademisi Ilmu Politik asal Universitas Aachen, Emanuel Ritcher
menjelaskan globalisasi dengan sangat gamblang, globalisasi merupakan jaringan
kerja global secara bersamaan yang menyatukan masyarakat yang sebelumnya
terpencar-pencar dan terisolasi dalam saling ketergantungan dan persatuan
dunia.
Salah satu anak kandung yang terlahir dari rahim teknologi yang
sangat berpengaruh adanya globalisasi adalah media sosial. Media sosial
merupakan masterpiece terbaik yang dihasilkan oleh teknologi, di mana manusia
mau tidak mau dipaksa untuk saling terkoneksi, terbuka secara cepat.
Benar saja pendapat yang dikemukakan oleh Van Dijk dalam Nasrullah
(2015) bahwa media sosial adalah platform media yang memfokuskan pada
eksistensi pengguna yang memfasilitasi mereka dalam beraktifitas
maupun berkolaborasi. Karena itu media social dapat dilihat sebagai
medium (fasilitator) online yang menguatkan hubungan antar pengguna sekaligus
sebuah ikatan sosial. Maka skurang-kurangnya bagi orang yang sudah
melek teknologi pasti mempunyai media sosial sebagai sarana mengaktualisasikan
diri.
Kehidupan sosial, budaya, ekonomi bahkan politik sangatlah
dipengaruhi dengan adanya media sosial. Saat ini setiap orang bisa mengakses
ruang public kemudian membagikan kepada khalayak banyak baik sebagai informasi,
hiburan ataupun control sosial.
Dalam kehidupan sosial misalnya sudah banyak peristiwa-peristiwa
yang dulu mungkin tidak terbayangkan menjadi konsumsi massal. Kini setiap orang
melalui media sosialnya mampu merekam setiap kejadian-kejadian sosial di
sekitarnya kemudian menjadi viral.
Ketimpangan sosial, ketidakadilan dalam penegakan hukum atau
bahkan aspirasi-aspirasi politik yang selama ini tersendat, mampu disuarakan
dan digemakan melalui media sosial. Manakala saluran-saluran politik formal
(parlemen) tidak bekerja dengan semestinya, maka hadirnya media sosial menjadi
alternatif utama dalam membangun kehidupan sosial politik yang berkeadilan.
Itulah yang kini disebut dengan Parlemen Media Sosial.
Jika dahulu ada yang disebut dengan parlemen jalanan, di mana
kanal menyuarakan aspirasi-aspirasi dilakukan dengan cara demontrasi turun ke
jalan. Parlemen media sosial bisa dilakukan melalui sebuah dadget yang dimiliki
oleh setiap orang.
Kasus yang menjerat Rafael Alun Trisambodo seorang pegawai Ditjen
Pajak Kementerian Keuangan yang didakwa dengan pencucian uang adalah kerja dari
parlemen media sosial. Dimana warganet dengan kritis membuka tabir kehidupan
Rafael Alun melalui media sosial anaknya yang memposting barang-barang dan
kehidupan mewah. Masyarakat merasa heran, sebagai Pegawai Negeri Sipil
mempunyai kekayaan yang tidak wajar.
Peristiwa lain di mana masyarakat Lampung dengan kritis,
mengkritik pembangunan infrastruktur jalan di Provinsi Lampung yang tidak
kunjung diperbaiki. Dengan kekuatan parlemen media sosial, Presiden Jokowi
sampai turun ke Provinsi Lampung yang akhirnya Presiden Jokowi mengambil alih
perbaikan jalan oleh Kementerian PUPR.
Walaupun parlemen media sosial ini terbentuk dengan alamiah dan
bergerak secara sporadis, namun bisa dikatakan bahwa parlemen media sosial ini
menjadi solusi efektif manakala suara-suara dan aspirasi-aspirasi masyarakat
yang seharusnya tersalurkan mandeg dengan procedural-prosedural politik yang
rumit.
Namun demikian ada beberapa catatan dalam gerakan parlemen media
sosial ini agar berjalan efektif dan mempunyai kekuatan yang menggema menjadi
isu public. Pertama, sampaikanlah isu dan peristiwa dengan
informasi yang utuh berdasarkan fakta dan realita. Penting saat mengangkat
sebuah isu atau peristiwa menampilkan informasi yang utuh, tidak secara parsial
karena kepentingan terselubung.
Kedua, pergunakalah kalimat
yang sopan, tidak tendesius dan jangan melakukan doxing. Doxing adalah
penyebaran informasi pribadi seseorang yang bertujuan untuk menjatuhkan
orang tersebut. Alih-alih sebagai kritik sosial, namun jika dilakukan justru
tidak tepat malah akan berhadapan dan melawan hukum.
Ketiga, lakukanlah dengan
terus-menerus dan terhubung dengan akun-akun yang bergerak dengan gerakan yang
sama. Gerakan parlemen media sosial sebagai control sosial memang harus
dilakukan dengan konsisten dan simultan. Tidak menyerah karena isu yang
diangkatnya tidak menjadi viral misalnya. Lakukanlah keterhubungan dengan
akun-akun media sosial yang concern pada gerakan yang sama dengan metode tag
(menandakan akun lain).
Demikianlah pentingnya gerakan parlemen media sosial sebagai
gerakan kesadaran bersama dalam upaya membangun kehidupan sosial, budaya dan
politik yang adil. Tentu saja gerakan parlemen media sosial ini hanya bisa
tercapai dengan efektif manakala para insan-insan media sosial sadar juga akan
ketentuan hukum dan norma yang berlaku.
* : Penulis adalah pegiat Fatsoen Politika Institute.
Fatsoen Politika Institute adalah lembaga think thank yang focus
pada wacana pembangunan politik dan demokrasi berkeadaban.
17/05/2023
Tantangan Penyelenggara(an) Pemilu di Era Post Truth
Oleh: Oki Sukirman, S.Sos, M.Si*
Tak salah memang jika tahun 2024 disebut sebagai tahun
pesta besar demokrasi Indonesia. Sebagaimana ditetapkan oleh KPU, tahun 2024
akan digelar Pemilu dan Pilkada secara serentak. Jika tidak ada aral melintang,
tanggal 14 Februari 2024 akan dilakukan pemungutan suara untuk memilih Presiden
dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Kemudian untuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yaitu pemilihan gubernur dan
wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota, akan
digelar serentak pada 27 November 2024.
Sejatinya harapan besar masyarakat, pelaksanaan Pemilu 2024 bisa terlaksana lancar dan sukses dengan prinsip mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif, dan efisien (Pasal 3 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017).
06/03/2022
Suhu politik Menjelang 2024 Mulai Memanas, Oki menawarkan Gerakan Moderasi Politik.
Perhelatan pesta politik tahun 2024 memang masih terhitung 3 tahun lagi. Namun suhu politik sudah mulai memanas.
Seperti diketahui pada tahun 2024 bakal digelar pemilu serentak di mana Pemilihan Legislatif (pileg), Pemilihan Presiden (Pilpres) dan sebagian daerah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dilaksanakan bersamaan pada tahun 2024.
Mulai memanasnya suhu politik tersebut ditandai dengan mulai banyaknya tokoh politik yang sudah memasang kuda-kuda untuk kontestasi 2024.
Menurut Direktur Jaringan Versi Indonesia, Oki Sukirman, ancang-ancang untuk perhelatan 2024 ini memang tidak bisa dihindari, mesin harus muai dipanaskan dari sekarang.
"Tahun 2024 memang masih tinggal 3 tahun lagi. Tapi hal yg wajar jika tokoh politik saat ini sudah mulai muncul untuk kandisasi 2024," ucap Oki.
Saat ini sudah ada beberapa tokoh yg secara malu-malu kucing, muncul untuk tujuan politik 2024. Bahkan beberapa pendukung masing-masing tokoh sudah mendeklarasikan dan pembentukan tim pemenangan.
Prospektus Partai Baru pada Pemilu 2024
Menyongsong Pemilu 2024 berbagai pihak sudah bersiap sedia memasang kuda-kuda menghadapi perhelatan pesta demokrasi lima tahunan tersebut. Secara hitungan, hanya tinggal 3 tahun lagi pemilu 2024 digelar. Sebagaimana diketahui Pemerintah dan DPR menyepakati Pemilu 2024 adalah Pemilu serentak, di mana pemilihan Presdien (Pilpres), Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dilakukan secara serentak pada tahun 2024.
Terlepas dari berbagai tokoh dan politisi yang muncul ke publik yang berpotensi bertarung pada ajang Pilpres 2024, ajang Pileg juga cukup menjadi perhatian yang menarik. Selain sempat menjadi perdebatan yang cukup alot tentang Parliamentary Threshold (PT) yang akhirnya PT tetap pada angka 4%. Ini dikarenakan muncul partai-partai baru yang saat ini sudah mendeklarasikan diri untuk bisa ikut pada Pemilu 2024.
Berkaca pada hasil pemilu 2019 yang lalu. Persaingan Pemilu 2024 selain akan ada peserta baru , juga bagi partai-partai non parlemen saat ini Pemilu 2024 nanti menjadi ajang pertarungan yang ketat dan sengit. Tercatat jika melihat hasil dari Pemilu 2019 yaitu PDI-P (19,33 %), Gerindra (12,57 %) Golkar (12,31 %), PKB (9,69 %), Nasdem (9,05 %), PKS (8,21 %), Demokrat (7,77 %), PAN (6,84 %), PPP (4,52 %), Perindo (2,67 %), Berkarya (2,09 %), PSI (1,89 %), Hanura (1,54 %), PBB (0,79 %), Garuda (0,50 %) dan PKPI (0,22 %) (sumber https://pemilu2019.kpu.go.id).
Di antara partai-partai baru yang sudah muncul ke publik saat ini yaitu Partai Gelombang Rakyat (Gelora), Partai Ummat, Partai Masyumi, Partai Rakyat Adil Makmur (Prima), Partai Era Masyarakat Sejahtera (Emas), Partai Usaha Kecil Menengah (PUKM), Partai Indonesia Terang (PIT), Partai Negeri Daulat Indonesia (Pandai), Partai Nusantara, dan Partai Indonesia Damai (PID). Dan partai-partai lain yang mungkin muncul ke depannya.
Bagi partai baru tersebut tentu pekerjaan yang pertama sebelum bisa bertarung pada Pemilu 2024 adalah mendaftarkan diri di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) untuk memperoleh legalitas kelembagaan dan mendaftar ke KPU. Setelah itu tentu mengikuti tahapan verifikasi faktual untuk memastikan diri menjadi peserta pemilu 2024.
Jika diliat dari partai-partai baru yang muncul saat ini, para tokoh yang menggerakan dan mendirikannya memang tidak asing Partai Ummat misalnya yang merupakan "pecahan" dari PAN yang diprakarsai oleh Amien Rais dengan Ridho Rahmadi sebagai Ketua Umum yang juga memantunya. Kemudian ada juga Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal yang menginisiasi berdirinya Partai Buruh. Dan Terbaru ada Partai Pandai yang diketuai oleh Farhat Abas dan rekan-rekan lawyer lainnya seperti Elza Syarief. Tentu jangan dilupakan juga ada Partai Gelora yang digawangi oleh Anis Matta dan Fahri Hamzah.
Lalu bagaimana prospek dan peluang partai-partai baru tersebut. Apakah dengan modal ketokohan yang populer cukup untuk mengantarkan partai-partai baru tersebut ke senayan? Sejauh mana kekuatan yang dibangun agar bisa bersaing pada Pemilu 2024?
Dalam analisis penulis, setidaknya ada 3 catatan penting terkait eksistensi partai-partai baru pada Pemilu 2024 mendatang. Pertama, partai-partai baru yang saat ini sudah mendeklarasikan diri perlu effort yang sangat besar. Dari mulai membangun popularitas partai, kemudian meyakinkan konstituen untuk meneguhkan pilihan terhadap partai mereka sampai ketersediaan logistik yang kuat.
Seperti diketahui, nyatanya tidak ada diferensiasi yang cukup signifikan antara partai lama dan baru yang muncul saat ini. Irisan idiologi maupun program jika tidak mau dikatakan sama, malah condong seperti partai satelit dari partai yang sudah ada. Contohnya Partai Gelora dan Partai Umat yang keduanya adalah partai yang didirikan karena para Founding Fathers partai tersebut adalah tokoh-tokoh yang mundur -jika tidak mau dikatakan tersingkir- di partai sebelumnya. Anies Mata yang mundur dari PKS dan Amien Rais dan gerbongnya yang kalah pada kongres PAN di Kediri pada tahun 2020 kemarin.
Oleh karenanya, partai-partai baru ini selain membutuhkan logistik yang cukup besar untuk mengdongkrak partainya juga perlu usaha besar untuk bisa keluar dari bayang-bayang induknya.
Kedua, sebelum bertarung dan jadi peserta pemilu 2024 dengan Parliamentary Threshold (PT) sebesar 4%, partai-partai baru pun sangatlah kesulitan untuk minimal bisa menjadi peserta pemilu melalui tahapan verifikasi faktual oleh KPU. Apalagi jika sudah ditetapkan menjadi peserta Pemilu 2024, partai-partai baru pun haru bersaing dengan partai-partai non parlemen saat ini (yang tidak lolos di Pemilu 2019).
Penulis ambil satu contoh bagaimana Perindo dalam pemilu 20219 kemarin. Dengan dukungan logistik dan publikasi media yang masif, masih belum cukup untuk meloloskan partai tersebut . Hary Tanoe sudah mencurahkan semua daya politik yang dia milik. Namun nyatanya, Perindo hanya mendapatkan suara 2,67 dan menjadi juara harapan 1 pada pemilu 2019 kemarin.
Ketiga, Popularitas dan ketokohan partai-partai baru. Popularitas tokoh politik pendiri atau ketua umum partai politik sangatlah penting. Namun ternyata tokoh politik atau ketua umum yang populer belum cukup menjadi garansi untuk bisa meloloskan partai tersebut . Amien Rais sebagai Bapak Reformasi kenyataanya tidak mampu memberikan efek terhadap kebesaran PAN. PAN pada Pemilu 2019 kemarin hanya menjadi partai papan bawah dengan suara sebesar 6,84 % dan menduduki peringkat ke 8 dari 9 partai yang dinyatakan lolos ke senayan.
Setali tiga uang dengan Partai Gelora, jika ceruk konstituennya adalah irisan PKS cukuplah berat. Persoalannya soliditas di akar rumput para kader PKS cukup bisa diuji waktu dan keadaan. Permasalahannya apakah para tokoh Partai Gelora saat ini mempunyai basis kuat di tataran grassroot?
Dengan demikian sampailah pada simpulan dari analisis di atas yaitu partai-partai baru yang akan bertarung pada Pemilu 2024 jika tidak mau dikatakan mustahil untuk lolos pada pemilu 2024, perlu keajaiban yang sangat besar untuk bisa bersaing atau bahkan bersanding dengan partai-partain incumbent. Diperlukan effort yang sangat besar, baik dari segi logistik, pembangunan popularitas tokoh dan juga pembentukan mesin partai yang tersebar di seluruh nusantara hingga pelosok desa.
Dalam pandangan penulis, perhelatan Pemilu 2024 masih "belum pantas" menjadi arena keikutsertaan partai-partai baru yang disebutkan di atas. Setidaknya dengan waktu yang tinggal 3 tahun lagi partai baru ini sudah kalah segalanya. Dari mulai start, popularias tokoh, soliditas mesin partai dan tentu saja logistik.
Setidaknya partai-partai baru yang saat ini muncul jika diproyeksikan adalah pada pertarungan Pemilu 2029. Tentu saja dengan beberapa catatan, diantaranya bahwa partai-partai baru tersebut mulai dari sekarang harus sudah menegaskan positioning mereka. terutama perihal ideologi dan kepentingan yang akan diperjuangkan.
Prof Firmanzah, Ph.D dalam bukunya Mengelola Partai Politik (2011:99-100) menjelaskan pentingnya kejelasan ideologi. Masyarakat membutuhkan penanda yang memudahkan mereka untuk mengidentifikasi tiap-tiap informasi. Penanda juga membantu pemilih dalam menentukan partai politik yang akan mereka pihaki. Penanda ini tidak hanya bersifat sementara dan sektoral, melainkan holistik dan melingkupi identias politik secara keseluruhan. Dan penanda yang sangat berguna dalam politik adalah ideologi.
Selain itu juga partai baru ini pun harus mampu memunculkan tokoh sebagai simbol partai yang menjual dengan daya tawar tinggi dari mulai popularutas, kredibilitas sampai integritasnya. Branding tokoh sebagai simbol partai diperlukan karena dalam politik dikenal istilah efek ekor jas (coat-tail effect).
Efek ekor jas berarti merujuk kepada hasil yang diraih oleh suatu pihak dengan cara melibatkan tokoh penting atau tersohor, baik langsung maupun tidak langsung, melalui suatu perhelatan. Karena pemilih cenderung melihat tokoh siapa yang diusung, yang pada akhirnya turun pada kepercayaan untuk partai mana yang dipilih.
Dan tak kalah terpenting adalah partai-partai baru tersebut haruslah konsisten untuk mengembangkan jaringan, membangun sistem dan kaderisasi yang jelas dan terukur. Mesin partai organik yang solid adalah modal utama dalam menggerakan partai untuk ke depannya.
Jika sudah konsisten dijalankan, tidak mustahil pada pemilu 2029 partai-partai baru tersebut akan mendapatkan posisi dan diperhitungkan untuk bisa lolos dan dipercaya oleh masyarakat menjadi partai anggota parlemen. Wallahua'lam.
*: Pegiat Fatsoen Politika insitute, Konsultan Komunikasi Politik Jaringan Versi Indonesia.